Ia adalah lelaki sempurna, setidaknya untukku. Tapi ia jauh
dari tampan. Kulitnya coklat, lebih dekat ke gelap. Apalagi jika berpanas-panas
di bawah terik matahari, menjelma merah kehitam-hitaman. Rambutnya
Pria ini memiliki pribadi unik. Terutama karena dia tahu
bahwa dia menarik. Atau apakah dia memesona karena dia tahu momen dan cara agar terlihat menarik? Aku tak tahu pasti. Yang jelas, pria ini pandai menyelubungkan narsisnya. Tunggu dulu, aku bukan wanita otak
dangkal yang bisa kau tipu dengan permainan sederhanamu. Tapi, dengan kesadaran
akan muslihatmu, mengapa aku tetap tak bisa mengelak untuk mengagumimu?
Tapi ia juga menyebalkan karena pandai mempermainkan
suasana. Suatu ketika jelas-jelas ia memancarkan rasa suka. Tak ada
alternatif lain untuk menerjemahkan tindak-tanduknya yang begitu kentara.
Namun, ah, hanya dengan satu dua komposisi baru kata-kata, ia berkelit begitu
mudahnya.
“Wanita adalah sekuntum mawar yang memesona tapi juga
mengancam dengan durinya, maka mengagumi mawar tidak berarti bersedia
memetiknya,” ungkapnya ketika kutanya tentang wanita.
Dan, kalian tentu tahu, perempuan paling tidak suka
diperlakukan seperti itu. Mereka tidak suka keangkuhan intelektual dibawa-bawa
dalam hubungan asmara. Ini soal cinta, bukan matematika. Bagi wanita, pria
dengan tingkah ortodoks adalah lebih jantan. Kejujuran membuat pesan laki-laki
ditangkap dengan lebih sederhana. Kegigihan membuat kita yakin terhadap mereka.
Karena cinta, bagi kami para wanita, adalah penyerahan paripurna untuk sesuatu
yang telah kami usahakan seumur hidup. Kami tak ingin semua pesona yang kami
rintis dicerai beraikan oleh lelaki yang menganggap kami hanya satu dari sekian
opsi.
Karena itu, tak ada yang lebih marah daripada wanita yang
diombang-ambingkan di atas debur-debur perasaan. Mereka bukan hanya akan pergi,
tapi juga tersulut untuk menuntut balas. Tentu saja dengan cara yang khas
perempuan. Halus, rapi, tapi menyakitkan.
Maka, aku buat ia kalang kabut. Aku ingin dia tahu bahwa
wanita bukanlah gaya menulis yang bisa ia ganti berdasarkan tuntutan rubrikasi. Kami bukan diksi yang bisa dibongkar pasang untuk membuat rangkaian baru. Bukan juga pembaca cerpen yang menikmati dentuman-dentuman ritme yang ia
munculkan. Kami justru buncah.
Wanita adalah puisi yang diresapi sebagai sebuah kesatuan.
Wanita adalah buku yang dinikmati dengan menjaganya dengan rapi. Memberinya
sambul, mengusir debu-debu yang merecoki, menaruh dalam buffet berpintu kaca
sehinga terlindungi.
Lalu, sederhana saja, aku tahu sebuah undangan pernikahan
cukup menjadi serangan balasan dariku. Benar kan, cara khas perempuan selalu halus, rapi, dan menyakitkan? Bagi
sebagian orang juga mematikan. Tapi bagaimanapun aku tak mau ia mati karena
perkara ini. Aku tak sampai hati. Aku ingin menyaksikannya membuktikan
kata-katanya dulu:
“Suka dan duka adalah keniscayaan stiap manusia, tetapi
menjadikannya inspirasi adalah kemahiran golongan istimewa.”
Aku harap itu bukan kata-kata kosong.
Hei, hei, apa ini? ia memang tidak mati, seperti dugaanku,
ia justru tumbuh semakin liar saja. Ia membalasku bertubi-tubi. Melalui
bangunan logika tulisannya, lewat intisari puisi-puisinya, dari deskripsi
karakter tokoh cerpennya, aku tahu ia mencoba menyampaikan pesan, sebuah
serangan.
Ia menyatroniku dengan pesan-pesan yang menggetarkan hati,
menghantam kekeras kepalaanku, mengoyak prinsip-prinsip pribadi. Dia membuatku
terkadang mempertanyakannya kembali. Dia seperti membangunkan tidur nyenyakku
dengan menyiramkan seember air es. Aih.
Yang membuatku tersiksa adalah karena ia tahu aku mampu
membaca kelebat-kelebat pikiran yang ia haturkan. Ia memahami titik-titik dimana aku tak bisa
menyangkal bahwa kita punya persamaan yang patut diperjuangkan. Ia membawaku
pada kebenaran yang kami berdua saling terima. Ia berbicara dengan bahasa yang
tak bisa tidak aku mengerti.
Maka, aku ingin dia tahu bahwa kata-kata bukan hegemoni para
pria. Bahwa penyusun kata-kata di dunia ini bukan dia semata. Karena itu aku
tulis ini. Dan, kau di sana, selamat mencerna setiap kata!