“Pak Camat! Pak Camat! Ada warga dimakan macan, pak!”
Pak Harno sekonyong-konyong masuk ke ruanganku tanpa salam.
Tergopoh-gopoh sekali ia, nafasnya naik turun tak karuan. Pikiranku masih belum
fokus usai tertidur barusan.
“Ada apa, Pak?” Tanyaku memastikan, sembari mangusap-usap
muka, menghilangkan bekas kantuk. Lalu ku letakkan dagu di atas tangan yang
mengepal. Orang bilang ini memberi kesan wibawa.
“Ini, Pak Camat! Ada warga Gajah Makmur dimakan macan di
ladangnya,” jawab Pak Harno panik.
“Astaghfirullah, yang benar, Pak?” Sontak saja aku kaget,
desa pelosok itu adalah kampungku. Aku lahir dan menamatkan SD di sana. Selepas
SD, orang tuaku pindah ke desa Arga Jaya sedangkan aku merantau ke Jawa hingga
tamat kuliah.
Kami pun hanyut membincang perkara nadir ini. Belakangan
memang sering ada laporan warga melihat harimau Sumatra di Gajah Makmur, desa
yang berbatasan langsung dengan hutan rimba. Tapi kejadian orang dimakan
binatang buas seperti ini adalah yang pertama.
“Kita ke sana sekarang, Pak!” Ujarku pada Pak Harno. Dia pun
manggut-manggut.
“Saya telpon Anas dulu, Pak Camat. Pradonya dibawa dia dari
tadi pagi, nggak tahu kemana,” jelas ajudan kecamatan paling tua sekaligus
paling lugu itu. Saking lugunya, dia tak pernah melewatkan jabatan camat setiap
memanggilku.
Begitulah keseharianku sebagai Camat Kecamatan Air Rami ini.
Pekerjaanku hanya pertemuan formal dengan gubernur dan bupati beberapa kali
sebulan. Kumpul internal dengan bawahan juga bisa dihitung dengan jari. Tanda
tangan beberapa surat. Inspeksi ke desa-desa seminggu sekali. Selebihnya, aku
mendalihkan “tugas luar kota” untuk mengakomodasi hobi lamaku, pelesir.
Sebenarnya, ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh
camat sepertiku. Juga oleh para bupati, gubernur, anggota dewan, menteri dan
presiden tentunya. Pekerjaan yang lebih membutuhkan fokus daripada aktifitas
formal, juga lebih memerlukan perjuangan dan pengorbanan. Pekerjaan tulus untuk
rakyat, memperbaiki strata kehidupan mereka. Sayangnya, ketika hendak melakukan
pengabdian ini, artinya aku harus melawan sistem yang selama ini menjadi lintah
rakyat.
Sistem itu membonsai rakyat menjadi kuli yang menghasilkan
pundi-pundi uang bagi para pemilik modal. Sistem itu membayar orang-orang
sepertiku untuk bertindak normatif, tapi juga harus melindungi kepentingan
mereka habis-habisan. Terutama sekali dengan dalih undang-undang.
Tapi, karena aku mencari kenyamanan hidup. Tak usahlah cari
masalah dengan para pengatur sistem itu. Lebih baik aku memikirkan bagaimana
anak istriku bisa bahagia. Dan aku menikmati sekali jabatanku sebagai camat
yang sudah periode kedua ini. Meskipun gajinya cuma 5 juta sebulan. Tapi,
pemasukan dari proyek-proyek, uang pemulus
tender, juga bisnis-bisnis yang kubangun selama ini membuatku lebih kaya
dari petani tersukses di kecamatan ini.
“Mobilnya datang, Pak Camat!” Pak Harno buru-buru mengabari
ketika nampak Toyota Prado memasuki parkir Kantor Camat.
“Oke, mari kita berangkat!”
Kami kemudian melewati jalanan rumah-rumah penduduk. Selang
tak berapa lama, tibalah kami pada wilayah ladang-ladang penduduk. Masih 30
kilometer lagi menuju tujuan. Kami menghabiskan waktu ngobrol sana-sini.
Sebelum akhirnya kantuk menidurkan Pak Harno dan Anas harus fokus menyetir.
Jalanan mulai berkelak-kelok, jurang menganga di kanan kiri jalan. Akupun lalu
menikmati perjalanan dengan mengkhayal, membiarkan Anas menyetir ditemani sepi.
Nyamannya hidup seperti ini membuatku bisa melupakan
cuap-cuap Soni dan Rudi, dua sahabatku di teknik sipil UI. Ketika itu masa
depan dan pilihan hendak memisahkan kami.
“S2 dimana, Lim?” Tanya Soni sambil menutup Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk-nya Buya Hamka, mungkin ini kesepuluh kalinya si kutu buku
itu menamatkannya. Lecek sudah lembaran-lembarannya.
Rudi juga menatapku dengan air muka penasaran. Meski mulutnya
tetap tak berhenti mengunyah permen karet.
“Aku sudah apply ke Leiden, Boi. Rudi lanjut di UI,
dia nak besarkan dulu bisnisnya, baru lanjut di Europe, ” Kata Soni
sambil menaik-naikkan alis mata.
Aktifitas itu mukanya yang berjidat lebar semakin lucu.
“Aku pulang ke Bengkulu, bro. Orang tua tidak mampu lagi
membiayai,” aku jawab malas-malasan. Topik ini memang membuatku tak antusias.
“Lim, bukannya lo S1 juga sambil banting tulang kerja
serabutan? Apa susahnya kerja dikit lagi. Semakin tinggi cita-cita membutuhkan
kerja semakin keras,” Rudi nyerocos usai meletupkan bundaran permen karetnya.
“Cita-cita apalagi? Aku sudah jadi anak paling beruntung di
rumah. Kakak-kakakku tak ada yang jadi sarjana,” aku mengambil daun yang jatuh,
menusuk-nusuk dengan pensil. Sudah bosan aku dicerca pertanyaan-pertanyaan
seperti ini dari mereka berdua.
“Cita-cita, Boi. Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan
juga hidup. Kalau kerja sekedar bekerja, kera juga bekerja. Kita manusia, Boi!”
Soni manggut-manggut.
Aih, muak aku mendengar quote-quote Buya Hamka dari
Soni lagi.
“Yoi, man! It's not who I'm
underneath, but what I do that defines
me, Bruce Wayne, Batman Begins,” sambung
Rudi sambil menepuk-nepuk punggungku. Pria satu ini memang seorang movieholic.
“Ah, kalian bisa bilang begitu karena
kalian anak orang berada. Pada akhirnya, cita-cita besar hanya milik
orang-orang yang mampu membiayai prosesnya,” aku menjawab bujukan mereka dengan
cibiran. Kemudian ku alihkan pembicaraan kepada Rasya, gadis cerdas keturunan
Uzbek primadona kampus. Dan semuanya segera hanyut pada debat kusir tentang
warna mata, kulit dan rambut Rasya, serta perkara tak etis lainnya. Tema
tentang wanita memang komoditas pengalih isu termanjur.
Gerbang bambu berhias kertas minyak
warna merah putih menghentikan lamunanku. Sudah masuk kawasan desa Gajah
Makmur, meski untuk sampai ke pemukiman penduduk masih beberapa kilometer lagi.
Kanan-kiri jalan sekarang berupa perkebunan sawit. Beberapa tahun yang lalu ini
masih berupa ladang-ladang kopi warga desa.
Orang-orang China dan Malaysia selalu
punya uang untuk mengubah ladang-ladang penduduk menjadi sumur uang mereka.
Bahkan hutan-hutan pemerintahpun mereka beli. Belum lama ini, PT Makmur Jaya
membuka 1000 hektar hutan rimba, untuk dijadikan kebun sawit tentunya.
Positifnya, ada tips dari mereka untuk pemerintah daerah. Apartemen baruku di
kawasan Thamrin, Jakarta, kubeli dengan uang itu. Negatifnya, hewan buas banyak
berkeliaran akhir-akhir ini karena habitatnya diganggu.
Kurang lebih sebulan yang lampau, dua
rumah panggung warga yang tinggal jauh dari pemukiman dirobohkan Gajah.
Seminggu silam, seekor beruang madu dibunuh orang banyak akibat merusak
pohon-pohon kelapa milik penduduk. Hari ini, kejadiannya terbalik. Manusia dimangsa
binatang.
“Nas, siapa nama korban? Kau tahu
tidak?” tanyaku sambil menggoyang-goyangkan tubuh Pak Harno. Pak Harno membuka
mata.
“Kalau idak salah, Suraji namanyo,
orang jawo,” jawab Anas dengan logat Bengkulunya.
“Siapa? Suraji?” Aku tersentak, nama
itu lebih dari sekedar aku kenal.
“Iyo, Suraji. Lanang yang
tinggal di ujung RT 7, dekek hutan,” jawabnya lagi.
“Kenapa dengan Suraji, Pak Camat?”
tanya Pak Harno menangkap kelesuan di wajahku.
“Dia teman SD saya dulu. Teman mancing
dan jerat burung juga. Berempat dengan Muhaimin dan Hendro.” Aku menjelaskan.
Beberapa kenangan masa kecil berkelebat di pikiranku.
Kami langsung menuju rumah duka.
Jenazah sudah dikebumikan karena sudah tak berbentuk. Aku melihat kesedihan
mendalam dirasakan Santi, istri Suraji. Apalagi tiga orang anaknya masih
kecil-kecil. Aku bersimpati. Setelah mengucapkan bela sungkawa dan memberikan
sedikit santunan, kami pamit. Kemudian ku ajak Anas dan Pak Harno mampir ke
rumah Mimin, panggilan masa kecil Muhaimin, satu-satunya teman sepermainanku
yang tersisa di desa ini.
Kami diterima dengan hangat. Mimin
langsung meletakkan sabit dan berlari menuju rumah begitu istrinya mengabari
kedatanganku. Dia sedang menyiangi gulma di kebun belakang rumah kala ku tiba.
Lalu, sebuah dekapan erat seorang sahabat menjadi sambutan. Meski sebenarnya
aku agak risih karena kaos berlumuran keringatnya mengotori baju dinasku.
“Apa kabar, Min?” Ucapku
berbasa-basi.
“Ya, beginilah keadaan kami Pak
Camat, ala kadarnya,”
Ah, masih canggung saja dia dengan
teman masa kecilnya ini.
“Panggil saja seperti biasa, seperti
kau terbiasa mengolokku dulu, Udin,” balasku dilanjutkan dengan tawa.
“Ah, Zainuddin sekarang kan
berpangkat camat. Tak pantaslah aku memanggil nama itu lagi,” Mimin juga ikut
tertawa.
Aku dan Mimin lalu bernostalgia
sejenak, sementara Pak Harno dan Anas lebih tertarik dengan pohon durian di
belakang rumah.
“Boleh aku ambil duriannya, Pak?”
Tanya Anas.
“Silakan, silakan!”
Mereka lalu berhambur ke belakang.
Sementara aku dan Mimin masuk ke dalam rumah. Kami lalu membincang seputar
peristiwa Suraji. Dari Mimin aku tahu jika ternyata Suraji yang cari perkara.
Dia sengaja memancing macan itu dengan jerat. Kabarnya, ada orang dari Jakarta
yang berani bayar 50 juta jika macan ditangkap mati dan 100 juta bila Suraji
berhasil menangkapnya hidup-hidup.
Barangkali tergiur dengan uang
sepantar 10 harga Honda Supra. Boleh jadi pula insting berburunya tergoda dengan
tantangan maut itu. Suraji menerima pekerjaan gila itu. Sejak kecil kami semua
sudah menyaksikan hobi mengerikan Suraji. Dia pernah disetrap di tengah
lapangan karena membawa kucing hutan –lebih mirip harimau kecil daripada
kucing- ke sekolah. Aku –bersama Mimin- juga pernah menyaksikan sendiri dia
bergelut dengan biawak air darat di lubuk bambu yang kami takuti. Tapi,
prestasi terbaik –sekaligus pekerjaan paling mengerikan- Suraji adalah ketika
kelas 6 SD dia membeli motor Suzuki Astrea dari hasil menangkap beruang madu.
Beruang malang itu diperdaya dengan jerat bambu, kemudian dijual kepada “orang
Jakarta” seharga 12 juta.
Tapi, pada edisi kali ini, kenekatan
Suraji harus dibayar mahal. Tali jerat terlepas karena sang macan mengejang
hebat. Sialnya, dia sedang berada tepat di bawah jerat untuk mengikat macan
itu. Alhasil, dia kena terkam dan jadi santapan calon korbannya.
“Ais, sudahlah, Min! Tak tega aku
dengar cerita itu lagi,” begidik aku mendengar detil demi detil kisah sial
Suraji.
Seketika topik obrolan berpindah ke
hal lain. Tentang keadaan desa ini yang hidup enggan mati tak mau. Tentang
semakin banyak keluarga yang pindah dari desa ini. Tentang petani-petani yang
mulai membakari ladang kopi mereka. Pasalnya harga kopi sekarang cuma 3000
perak perkilo. Sedangkan harga beras saja 10.000 rupiah per cupak.
Neraca perbandingan harga komoditi
petani dengan harga bahan pokok semakin timpang saja. Wajar saja para petani
kopi putus asa. Mereka kini mulai beralih menanam wasit. Lebih menjanjikan.
Lagipula sawit tak semanja kopi yang harus sering-sering disiangi.
Masyuknya obrolan kami diganggu
dengan deru mesin kendaraan pengangkut sawit. Kami menyebutnya jonder.
Kendaraan dengan roda setinggi orang dewasa dengan bak terbuka di begian
belakang. Aslinya, kendaraan itu berfungsi mengangkut sawit di daerah yang
sulit dilewati truk-truk. Tapi, di daerah pelosok seperti desa ini, jonder bisa
beralih fungsi menjadi kendaraan angkutan pekerja perkebunan sawit.
“Salim, anakmu kerja di PT. Lino
juga?”Aku bertanya ketika dari jauh kulihat Salim turun dari jonder.
“Iya, Pak. Sejak lulus SD tahun lalu.
Lumayanlah, mengurangi tanggungan,”Jawab Mimin sambil menghembuskan asap rokok
kreteknya.
“Hei, kenapa tidak kau sekolahkan
saja, Min? Anak-anak butuh pendidikan, apalagi masih terlalu kecil untuk
bekerja,” sergahku. Miris aku melihat anak seumurannya sudah dipekerjakan.
“Sekolah kan butuh biaya, Pak.
Darimana kami dapat semua itu, untuk hidup saja susah,” jawaban Mimin membuatku
jengkel.
“Paling tidak kau bekerjalah lebih
keras! Dulu, ayahku juga petani di sini. Tapi karena ingin menyekolahkanku, dia
banting tulang mati-matian. Aku juga di Jakarta tak bersantai-santai, Min. Pagi
kuliah, sore aku jadi pedagang kaki lima. Tapi kau lihat hasilnya, aku bisa
jadi camat sekarang. Kita harus berkorban untuk anak-anak kita, Min,” Aku
ceramahi dia panjang lebar.
“Ah, cita-cita macam apalagi. Anak
itu bahkan tak mau dengar kalau aku bilang soal cita-cita. Dia malah bilang
begini, ‘cita-cita itu cuma punya orang kaya,’ mau jawab apa aku, Pak? Dia
sendiri yang sudah bebal tak mau maju.”
Mendengar itu, aku tersentak.
Tiba-tiba saja memoar perbincanganku dengan Soni dan Rudi tempo hari menyeruak.
Macam déjà vu saja.
“Min, cuma cita-cita besar yang bisa
mengubah kehidupan kita. Jangan karena kau malas mengusahakannya lantas kau
bilang mustahil. Kalau kau tak percaya keajaiban, berarti tak berguna kau
shalat lima waktu,” Aku menceramahinya lagi. Tapi kali ini, ada rasa bersalah menyeruak
di nurani. Apakah aku menjadi munafik dengan mengatakan ini?
Akhirnya aku pamit pulang. Dalam
perjalanan, kepalaku tak bisa lekang dari memikirkan Soni, yang sekarang sedang
mengambil program doktoral di University Of London, dan Rudi yang sedang
menulis thesis di Mc Gill, Toronto. Mereka, sepertinya akan menjadi lebih dari hanya
seorang camat. Dan, memang, seseorang hanya bisa berkembang sebesar keberanian
dia memperjuangkan cita-cita. Orang bisa menghebat sebesar toleransi yang
diberikan pikirannya sendiri. Seperti juga quote John Powell yang dulu
aku tulis di sampul diktat kuliahku, A person can grow only as much as his
horizon allows.
Aku menyesal.