Cermin |
Pernahkah kau berkaca selain
kepada cermin? Bukan, bukan pada kubangan air jernih yang juga bisa memantulkan
bayangan. Yang aku maksud, adakah kalanya di dunia ini kau menemukan dirimu
dalam sosok yang lain?
Aku pernah. Suatu sore, saat
duduk di tepi jendela bus, dan seperti biasanya mengedarkan pandangan ke luar, aku
terkejut. Mataku menangkap sosok yang sangat familiar. Aku sangat mengenalinya.
Tak salah lagi, itu aku.
Aku melihat diriku berjalan
menyusuri trotoar. Sendirian. Cuek sekali. Sesekali ia menyipitkan mata,
memperhatikan sekeliling dengan muka terdongak. Orang bilang cara berjalan
seperti itu angkuh. Akhirnya aku menyaksikan sendiri bagaimana langkah-langkah
gontai yang biasa ku ayunkan menderap. Cepat dan pasti. Acuh dan sedikit
congkak.
Lalu, ada momen yang kuanggap
paling berharga dan berkenan dalam hidup. Ketika aku duduk bertatap muka dengan
diriku. Waktu itu, kebetulan bulan sedang berpurnama, aku dan diriku
dipertemukan Tuhan untuk menghabiskan separuh malam bersama. Di sebuah toko
minuman, ditemani dua buah koktail yang dalam beberapa kesempatan saling
tertukar. Aku rasa, tiada skenario yang lebih kebetulan dari malam itu.
Aku dan diriku saling
berpandangan. Sama-sama menikmati setiap kerjapan mata yang begitulah cara kami
berkedip, mengaguminya. Lalu lewat pintu bola mata itu, masing-masing mencoba
menyelami apa saja yang menjadi misteri hati, menebak-nebak isi palung nurani.
Begitulah cara kami semalaman berkomunikasi. Karena waktu itu, mengucapkan
kata-kata seperti perbuatan terlarang. Tiba-tiba saja bibir ini seperti berada
dalam freezer, beku. Dan lidah ini seperti diberi pemberat, kelu.
Malam itu, kata-kata terkebiri
oleh sebuah ketakjuban. Aku tersentak dengan adanya "aku" lain di
alam nyata. Anehnya, "aku" yang satu ini berbeda bentuk, walaupun
sangat similar. Dan sejak saat itu, aku bersusah payah mengelak adanya sosok
yang 90% refleksi diriku, meski dalam bungkus yang lain versi. Aku menahan diri
untuk tidak mengungkapkan kekaguman secara gamblang, serta lucunya, menertawai
kekurangan yang sebenarnya adalah nilai minusku.
Kemiripan itu bukan karena kami
kembar. Tidak, bukan kembaran. Ibuku tak pernah cerita kalau aku punya saudara
kembar yang terpisah. Lagipula, kami sebenarnya berbeda jika patokannya adalah
fisik. Aku lebih tinggi belasan centimeter. Kemudian, jika kulitku benar-benar
tipe melayu, sawo matang, maka kulitnya lebih mirip durian setengah matang,
kuning keputih-putihan. Lalu, aku menemukan di beberapa bagian mukaku, antara
hidung dan bibir, dagu hingga mendekati leher, rambut-rambut tipis tumbuh,
sementara kulit wajahnya benar-benar mulus dari rambut-rambut nyasar seperti
itu. Ya, kalian tahu, itu karena aku laki-laki dan dia seorang perempuan.
Persamaan antara kami lebih
bersifat internal daripada tampilan luar. Kami sama-sama punya perasaan yang
sensitif, mudah tersinggung tapi juga pengkhayal yang hebat. Dari
tindak-tanduk, aku juga menyimpulkan keseragaman karakter dengannya. Kami
sama-sama tak suka menjadi sorotan publik. Lebih suka duduk di belakang jika
perkumpulan dan hanya berbicara sedikit saja jika diperlukan. Tapi kami juga
sebenarnya bukan pendiam. Kami usil, iseng, ceroboh bahkan terlalu heboh jika
bersama orang-orang yang membuat kami nyaman.
Tetang persamaan, dosenku pernah
bilang, manusia cenderung mencintai apa yang mirip dengannya. Pak Mahmud, nama
dosenku itu, juga bercerita. Suatu ketika ada dua ekor burung tak sejenis, gagak
dan merpati, berbarengan selalu. Orang-orang takjub, bagaimana bisa burung yang
tak ada persamaannya itu bersama-sama. Lalu, seketika dua ekor burung itu
berjalan, nyatalah bahwa keduanya ternyata sama-sama pincang. Demikianlah,
persamaan-persamaan seringkali menjadi awal sebuah kebersamaan.
Suatu ketika, karena
kesamaan-kesamaan yang di mataku semakin gamblang terlihat, aku menceritakannya
kepada seorang sahabat, Satria namanya. Tahukah kalian apa komentarnya?
“Itulah jodohmu, Ray. Dialah
potongan puzzle yang akan melengkapimu.”
Semenjak mendengar pendapat
Satria itu, aku banyak menghabiskan hari-hariku dalam sepi. Menyendiri
memikirkan apa yang harus aku perbuat selanjutnya. Menghabiskan malam bersama
bergelas-gelas kopi hanya untuk menuliskan puisi. Untuknya tentu saja, buat
siapa lagi. Nyaris satu minggu aku tak keluar rumah. Lalu tibalah saatnya aku
keluar, aku pura-pura siap mendengarkan apa saja yang akan menjadi jawaban dari
pertanyaanku kepadanya. Oia, namanya Mary.
“Mary, will you marry me?”
Aku membawa setangkai mawar
merah. Kubungkus tangkai bunga itu dengan kertas merah marun bertuliskan puisi
terbaikku. Lututku bertekuk di hadapannya. Pandanganku menunduk. Hanya
menengadahkan sang mawar.
“Ray bagunlah! Tataplah mataku!”
Hatiku sumringah mendengar
jawaban itu. Segera saja lekat-lekat ku pandang bola matanya. Amboi, dia
tersenyum.
“Aku rasa kita lebih baik menjadi
sahabat. Persahabatan lebih suci dari cinta. Karena cinta adalah persahabatan
yang telah dikotori nafsu.”
Aku tak kuat berkata-kata
mendengar semua itu. Dia benar. Dan selalu benar. Jawabannya benar-benar telak
menusukku. Menghujam tepat di jantungku. Aku kalah. Tapi setidaknya, luka itu
tergores di dada. Para malaikatpun menyaksikan, aku sudah bertarung.
Tapi, nyatanya, dia tak sesuci
yang mulut manisnya ucap. Beberapa hari setelah itu aku saksikan ia jalan
berdua dengan teman yang ku kenal baik. Dan yang menyedihkan, dalam
pandanganku, pria itu tak cukup baik untuknya.
“Justru karena kita sama, maka
kita tak mungkin bersatu. Dalam ilmu listrik, kita sama-sama positif. Kita
butuh tegangan negatif untuk menghidupkan lampu-lampu kehidupan, untuk
menerangi dunia.
Mungkin kata-katanya ada
benarnya. Mungkin selama ini aku terlalu narsisnya, berlebihan mengagumi
bayanganku sendiri. Mungkin ada baiknya kami terpisah. Terpencar ke arah angin
berbeda, mencari pasangan yang tak sama. Untuk lebih berguna hidup di dunia.
Tapi,