Al-Ghazali adalah pemberani.
Maka, julukannya kurang lebih bermakna tameng, atau perisai. Terjun ia ke
kubangan filsafat dengan berani. Keluar dengan gagah, meski bajunya kotor.
Al-Ghazali tahu, kotor tak sama dengan najis. Analogi ini saya pinjam dari Soe
Ho Gie. Bedanya, lumpur Gie adalah politik.
Padahal, bagi Ibnu Taymiyyah,
filsafat itu dari Yunani, harus ditolak. Masalahnya, paket ini adalah pengejewantahan
dari kungkungan sosio-teologis negara ujung selatan semenanjung Balkan sana, yang
tuhannya berarak-arak, beranak-pinak. Syaikh al-Islam paham, keadaan
sosial ikut berperan dalam menelurkan produk intelektual suatu kaum. Lagipula,
ia berdalih, semua orang lahir dengan nalar. Tanpa filsafat Yunani pun, manusia
bisa berpikir. Maka, dengan sinis, Ibnu Taimyyah menyindir filsafat Yunani dengan
segala perangkatnya sebagai produk gagal. Termasuk di dalamnya, ilmu Logika.
Katanya, Logika Aristoteles ini tak bermanfaat bagi orang cerdik, tak pula
memberi faedah orang tolol.
Tapi, al-Ghazzali tak sependapat.
Baginya, filsafat ada maslahatnya. Dengan cerdik dan detail, ia pilah
bagian-bagian filsafat, dibaginya jadi tiga: perkara yang mengafirkan; perkara
bid’ah; perkara yang tak mengandung masalah. Menurut al-Ghazzali, pendapat yang
mengeneralisir filsafat sebagai produk setan juga tak bijak. Dari Yunani,
orang-orang jadi tahu bahwa gerhana adalah fenomena geografis. Dari negrinya
Socrates pula, umat manusia mengenal matematika.
Menurut saya, Al-Ghazzali juga
bukannya tak paham kalau manusia punya naluri berpikir alamiah, tapi ia
menghargai jasa Aristoteles dalam membangun pondasi kerangka berpikir. Sang
Pembangkit ilmu-ilmu Agama maklum bahwa hubungan pengaruh-mempengaruhi antar
peradaban adalah sunnatullah. Tak bisa dinafikan.
Barangkali sistem Aristoteles
memang tak sempurna. Namun jasanya meretas penyusunan pakem penalaran Tidak
bisa tidak diapresiasi. Barangkali, akan selalu ada orang-orang skeptis
terhadap logika Aristoteles, terutama setelah dua Bacon, Roger dan Francis,
serta John Stuart Mill datang dengan pendekatan logika yang justru berlawanan.
Secara teoritis, logika lama –silogisme- terlihat tidak membawa sesuatu yang
baru. Tapi, realitanya, hubungan antara benda-benda tak selalu jelas, di
sinilah peran silogisme.
Tikus bisa jadi contoh. Boleh
jadi, semua mafhum kalau mamalia menyusui. Namun, tahukah Anda bahwa tikus
adalah hewan menyusui? Karena kita tak pernah menyaksikan bayi tikus menyusu
layaknya sapi atau domba. Nah, dengan pengetahuan bahwa tikus adalah mamalia,
kita bisa membuat kesimpulan.
Karena fungsi didaktisnya,
al-Ghazzali membela logika Aristoteles. Ilmu ini sangat penting, katanya.
Bahkan di buku Ushul Fiqh-nya, al-Mustashfa, al-Ghazzali menyimpulkan
terlalu berani, “Barangsiapa yang tidak mendasari ilmunya dengan ilmu logika
–Aristoteles-, ilmunya tidak bisa dipertanggungjawabkan.”
Al-Ghazzali agaknya telah
berlumuran filsafat. Seorang muridnya, Qadhi Ibnu al-Arabi, melukis sang guru
dengan sebuah metafora: al-Ghazzali telah menelan filsafat, dan tak kuasa
memuntahkannya. Tapi karena filsafat pula, al-Ghazzali mampu menyelamatkan umat
muslim pada masanya. Kala itu, muslimin tengah chaos. Masalah-masalah
teoritis, terutama filsafat sendiri, dialektika mutakalim, dan doktrin Syiah
Bathiniyyah, bukan cuma mengacaukan pikiran umat, tapi juga mengobrak-abrik
dimensi sosial politik.
Tentang ini, al-Ghazzali mengatakan
dalam otobiografinya, al-Munqidz min al-Dhalal: “Aku mendalami setiap
misteri, menelisik setiap permasalahan, menyisip ke dalam semua problematika,
meneliti akidah setiap kelompok, memperhatikan inti ajaran masing-masing
golongan, untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang
seseuai dengan sunah dan mana yang merupakan bidah.”
Dari sini, teranglah keberaniannya. Ia
tak seperti kebanyakan cendekiawan masa kini, yang selalu parno dengan produk
impor, tapi menutup mata terhadap kebenaran yang datang. Pun, tak tahu cara
membantahnya. Ilmuwan-ilmuwan macam itu, akhirnya cuma ditertawakan fakta dan
perkembangan zaman. Dalam buku yang sama, al-Ghazzali sendiri menjelaskan
pentingnya keberanian.
“Sungguh, perselisihan manusia dalam
agama dan aliran, perbedaan madzhab-madzhab, dalam keragaman kelompok, dan
cara-cara yang bertentangan, adalah samudra berpalung dalam, tenggelam di
dalamnya banyak orang, dan hanya selamat segelintir saja…Maka, aku terjun dalam
tantangan samudra ini, dan berlayar di atasnya bukan dengan sikap pengecut…”
Penulisan al-Munqidz min al-Dhalal
sendiri adalah perbuatan berani. Ia singkap semua misteri tentang kehidupan
intelektualnya. Agar semua orang tahu, beginilah al-Ghazzali. Apa adaya. Ia
tanggalkan wibawa intelegensinya. Ilmu pengetahuan benar-benar membawa
al-Ghazzali menjadi arif.
Tindakan demikian, menulis otobiografi
dengan jujur, sangat jarang ditemukan dalam dunia intelektual. Lebih jarang
lagi di kebudayaan Timur. Menurut Dr. Abdul Halim Mahmud, hanya al-Harits
al-Muhasibi - sufi - yang dengan bukunya al-Washaya mendahului
al-Ghazzali.
Seorang Imam Abu Hamid Al-Ghazzali
bukannya bersih dari persengketaan. Tapi, darinya kita dapat belajar tentang
keberanian. Keberanian adalah keniscayaan bagi seorang bestari.