Manusia hidup di alam materi.
Karena itu, mereka butuh simbol. Simbol mewakili sesuatu yang lebih luas,
lebar, dalam, dan rumit. Lambang penyederhanaan. Ia sekaligus solusi atas
keterbatasan nalar manusia.
Tapi simbol tidak mandiri. Ia
hanya wujud kristal dari yang abstrak. Untuk itu, bentuk-bentuk penyederhanaan
seperti ikon, lambang, slogan, dan lain-lain, harus punya ihwal yang diwakili.
Membaca jargon kampanye –simbol
visi- kandidat ketua WIHDAH tahun ini, saya mencoba menalar apa yang dimaksud.
Let’s be excellent muslimah
scholar.
Pada hakikatnya, slogan itu
menarik. Bukan cuma karena ditulis dalam bahasa Inggris, tapi juga karena
sesuai dengan ekspektasi saya pribadi. Selama ini, saya mengharapkan orientasi
organisasi yang lebih kondusif bagi kemahasiswaan, bukan yang justru menyesatkan
fokus dengan memfasilitasi perkara sekunder.
Munculnya slogan ini, setidaknya
memuaskan dari satu sisi. Bahwa kesadaran tentang pentingnya harmoni kegiatan
akademis-ekstrakulikuler ternyata cukup populer. Setidaknya para penggagas
semboyan ini melihat demikian. Semoga ide ini terhablur dari sebuah penalaran,
juga dari semangat menuju perbaikan, bukan sekadar buah pikiran yang mendadak
muncul karena persyaratan protokoler.
Kata scholar, dalam kamus
bahasa Inggris Oxford Dictionary, salah satunya bermakna a specialist in a particular branch of study, especially
the humanities. Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti seperti ini,
seorang pakar dalam satu bidang studi, terutama bidang humaniora. Sampai di sini,
maksudnya jelas. Tapi masalah datang ketika harus menerjemahkan kata scholar
dalam bahasa Indonesia. Khususnya, demi memberikan rangkaian semantis yang ideal
dari jargon di atas. Saya bimbang antara kata cendekiawan atau sarjana.
Jika terjemahannya adalah
cendekiawan –cendekiawati berdasarkan konteks-, maka saya harus memberikan
acungan jempol. Artinya, calon ketua WIHDAH tahun ini visioner. Dia –atau tim
suksesnya- mampu menalar gejolak sosial “rakyatnya”, lalu menjawab tantangan
masyarakat itu dalam sebuah visi yang segar.
Tapi membentuk cendekiawati bukan
pekerjaan mudah. Kecedekiawanan adalah ihwal elite. Kata cendekiawan dalam KBBI
salah satunya bermakna orang cerdik atau orang intelek. Sedangkan intelek
berarti daya atau proses pemikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan
pengetahuan. Sementara pengetahuan adalah perkara kompleks.
Dalam tulisannya tentang
kecendekiawanan, Al-Fakhri Zakirman (Ketua Orsat ICMI Kairo) mengutip pendapat
Syarif Shaary: seorang cendekia adalah pemikir yang senantiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk
kesejahteraan masyarakat. Karena itu, kecendekiawanan butuh penguasaan wawasan
luas dan kecakapan integral.
Untuk mencapai derajat itu,
mahasiswi berada satu arena dengan mahasiswa. Mereka saling bersaing. Tak ada hak
istimewa wanita dalam kompetisi ini. Untuk mencapai taraf yang sepadan, tak ada
pengecualian. Terutama sekali perihal kewajiban.
Namun, usaha itu terbentur dengan
tabiat wanita sendiri. Pria dan wanita punya karakter yang jauh berbeda. John
Grey, penulis yang juga konsultan hubungan antar gender, bahkan menulis buku
berjudul Men Are from Mars, Women Are from Venus. Dalam buku yang
terjual lebih dari 50 juta kopi ini, Grey mengungkapkan perbedaan-perbedaan
fundamental antara pria dan wanita.
Isu tentang perempuan juga telah menyita
perhatian para filosof sejak lama. Dalam novel filsafatnya, Dunia Sophie,
Jostein Gaarder mengutip kata-kata Hegel, “Perbedaan antara pria dan wanita
adalah seperti perbedaan antara binatang dan tanaman. Pria menyerupai binatang,
sementara wanita menyerupai tanaman, sebab perkembangannya lebih tenang dan
prinsip yang mendasarinya lebih merupakan kesatuan perasaan yang agak kabur.
Kaum wanita dididik dengan menghirup gagasan-gagasan, bukan dengan mencari
pengetahuan. Status pria sebaliknya, dicapai semata-mata melalui pemikiran
keras dan pengerahan usaha yang besar.”
Berbeda dengan Hegel, Plato lebih
detail menjelaskan tatanan menuju penyetaraan pria-wanita. Tapi pendapatnya
utopis. Sepaket dengan idenya tentang negara ideal. Plato mengatakan, wanita
bisa mencapai prestasi yang dicapai oleh pria dengan syarat mereka dibebaskan
dari tugas mengurus rumah tangga.
Ide Plato di atas sama sekali tak
masuk akal. Terlepas dari ide-ide filosofis yang rumit, kita dapat menangkap
bahwa pendidikan wanita adalah pekerjaan besar. Visi mulia tersebut, selain
membutuhkan bukti nyata, juga memerlukan kerja keras mewujudkannya. Visi itu
harus terkristal dalam program-program kerja yang sinergis. Nantinya, laporan
pertanggungjawaban tentang visi ini haruslah dapat diraba berdasarkan fakta
obyektif dan rasional.
Mengenai laporan, di Masisir
sering terjadi salah kaprah. Acapkali laporan pertanggungjawaban organisasi
mendapat nilai mumtâz, sementara fakta dilapangan menunjukkan sebaliknya.
Biasanya, strategi pengurus untuk melaporkan visinya telah tercapai adalah
terlaksananya kegiatan yang melibatkan massa besar. Padahal, tidak ada penelusuran
lebih lanjut tentang hubungan sebab akibat antara kegiatan dan efek terhadap
pesertanya.
Agaknya, untuk tidak utopis,
jargon di atas dimaknai pencetusnya dengan lebih diplomatis. Kata cendekiawan
diartikan sebagai semangat. Sesuai dengan makna lain kata cendekiawan di KBBI:
orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan
berpikirnya untuk dapat menegtahui atau memahami sesuatu.
Jika demikian, visi itu
dilahirkan dari orang-orang cerdas. Pelopornya adalah orang-orang yang dengan
jenius menemukan titik damai antara utopia dan realita.
Yang saya takutkan hanya satu,
yaitu apabila kata scholar diartikan dengan makna lain: sarjana. Kalau
sudah begitu, hilang sudah semua nilai plus pada jargon di atas. Visi itu
tinggal onggokan kata hambar, karena maknanya sangat pragmatis: mari menjadi
sarjana muslimah yang unggul. Aih, apalagi bila kata excellent
sekadar diartikan mumtâz. Lebih lagi, bila tolak ukurnya hanya nilai
akademis.
Barangkali menjadi mumtâz,
bagi para mahasiswi, adalah orientasi mulia. Tapi, menurut saya, Indonesia
lebih membutuhkan cendekiawan daripada sarjana. Sarjana sudah banyak. Mungkin
sama banyak dengan masalah yang muncul dari kesarjanaan mereka, atau dengan
angka pengangguran. Maka, kembali mengutip kata Shaary, belajar di
universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan. Juga, nilai
mumtaz tak menjamin kadar seseorang.
Mahasiswi mumtaz
sudah banyak. Tapi saya rasa para mahasiswi pun sepakat, Indonesia dan dunia
lebih membutuhkan srikandi-srikandi yang punya integritas.
0 komentar:
Posting Komentar