Meja dan kursi masih sama. Tatanannya
persis. Ada empat kursi untuk setiap meja. Sementara di kedai ini tersedia enam
meja. Empat meja terjejer rapi di bagian dalam kedai, terletak di masing-masing
sudut. Dua lagi di teras, mengambil tempat di tepi pagar pengaman. Dari sana,
seluruh isi mall dapat ditelisik dengan satu sapuan pandang.
Namun, tempat ini tak pernah
benar-benar sama. Bentuk dan warna meja kursi sudah berganti. Sekarang warna
biru. Dulu merah muda. Aih, dahulu kala perkara warna bahkan kuanggap penting.
Aku berkhayal kita sedang memainkan peran dalam naskah cerita cinta yang Tuhan persembahkan
untuk kita. Dan waktu itu adalah segmen awal dari skenario nan indah. Setting-nya
begitu memesona. Perkakas yang serba merah muda, suasana sepi nan syahdu, dan entah apa yang terjadi hingga
lampu mall sempat padam untuk beberapa lama, hingga ongokan lilin sempat
menemani kita bercerita dalam remang. Dan lagi, ketika lampu kembali nyala,
mengapa irama yang terlantun tiba-tiba lagu Gita-Gutawa.
Kau begitu sempurna, di mataku
kau begitu indah…
Sempurna...
Aih, dahulu semua kebetulan itu
memberiku keyakinan bahwa cerita ini akan berakhir happy ending. Kebetulan-kebetulan
itu tidak mungkin terjadi secara kebetulan. Pastilah semuanya terjadi untuk
sebuah alasan. Bagiku, alasan itu adalah kita. Tapi aku salah.
Kini, kita duduk lagi di sini.
Sama percis seperti lima tahun lalu. Di kedai nasi goreng super mahal ini. Di tepi
pagar pengaman sehingga kita bisa memandang seluruh isi etalase kapitalis ini. Dulu,
kamu yang takut ketinggian memilih duduk di sisi yang lain. Sesekali kau kugoda
untuk melihat air mancur di dasar mall. Matamu mengerjap-ngerjap, tak kuasa
menahan ngeri. Tapi justru itu yang ku suka. Matamu yang menyipit dan rona
merah di pipimu membuatmu tampak cantik sekali.
Tapi, kini berbeda. Kita tidak
sedang berdua. Kau masyuk menyuapi Reza, anakmu. Sementara aku memusatkan
pandang pada cincin di jari manisku, sibuk mengingatkan diri sendiri bahwa
bulan depan aku akan menikahi Ratih, tunanganku.
“Minumannya, tuan, nyonya!” Mbak
pramusaji datang mengagetkanku. Kamu juga terperanjat. Sendok yang disodorkan
ke mulut Reza terjatuh. Kamu nampak gugup.
Pramusajinya masih sama. Wanita
sawo matang berlesung pipit dalam. Wajahnya yang khas Jawa membuat kita
otomatis memanggilnya mbak. Sebenarnya, dia lebih tepat dipanggil Ibu. Apalagi
kini beberapa kerut telah bersemai di rautnya. Usai meletakkan minuman, Mbak pramusaji
menundukkan badan sedikit, lalu berlalu.
Dulu, kita menertawai pramusaji
itu. Karena begitu polosnya. Sebentar-sebentar ia minta izin. Percis dengan yang
disampaikan Raditya Dika dalam joke stand up comedi-nya, bahwa
semua pramusaji restoran adalah orang paling baik sedunia.
“Eh, sebentar mbak!” Kali ini aku
ingin membuat lelucon.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?”
Mbak pramusaji berbalik badan, mengernyitkan kening, matanya menyapu setiap
inti meja.
“Nggak ada yang kurang, kok,” aku
tersenyum, “Cuma mau nanya, kok nggak minta izin ke belakangnya?” Godaku. Aku
lalu tergelak, mbak pramusaji tersipu, lalu pergi.
“Haha,” kamu ikut tertawa kecil,
”Kamu ini sekarang lucu ya. Masa mbaknya digodain,” ujarmu diakhiri dengan
senyum.
“Waktu mengajari kita hal-hal
baru,” aku merespon cepat, agar curi-curi pandangku ke lesung pipimu tak
ketahuan.
“Mbak itu juga berubah ya, Vit,”
lanjutku, “dulu kan, setiap mau apa-apa pasti minta izin,” aku nyengir.
“Times passed, people changed,”
kau mengerling, menyahut sembari memegangi gelas Reza.
“Ah, sejak kapan kamu fasih
ngomong Inggris?” aku terkesiap.
“Since you’re gone,” kau
tatap mataku.
“No, im never. You did!”
Aku mengelak, mataku kembali tekuri jemari.
“Eh, Za, air mancurnya beda ya
sekarang, tambah tinggi. Lihat deh!” Kamu berdiri, membelakangi aku dan Reza,
menatap air mancur.
“Hei, kamu nggak takut ketinggian
lagi, Vit?”
“Jangan parno gitu dong,”
lagi-lagi kau tersenyum lebar, “Aku sempat kerja jadi mandor proyek bangunan.
Awalnya takut, lama-lama terbiasa dengan tempat-tempat tinggi,”
“Apa, ka.. kamu kerja jadi kuli
bangunan?” Aku tak habis pikir.
“Eh, enak aja. Bukan kuli ya,
mandor. Di kontraktor pamanku. Ya terpaksa, semenjak cerai dengan Rizal aku
harus menghidupi diriku dan Reza. Sekarang aku jadi guru bahasa Inggris, my
English is good enough, isn’t it?”
“Rizal kenapa?” kataku lirih, sebenarnya
tak tega ku tanyakan ini.
“Dia ternyata sudah punya istri.
Ah, semua laki-laki sama saja. Kecuali kamu.”
Kamu lalu bercerita tentang Romeomu.
Tentang lelaki yang menyelamatkan hidupmu dalam artian sebenarnya. Mengawinimu,
membiayai kuliah, memberi makan, dan selalu berada di sisimu untuk melindungi.
Hal ihwal yang mustahil ku beri waktu itu. Semua yang ku bisa lakukan untukmu hanyalah
jadi pendengar yang baik untuk keluh kesahmu, menyajikan simpati dan senyum di
akhir setiap kisahmu, lalu menceritakan bualan-bualan pemancing senyummu.
Bodohnya, dulu aku merasa itu semua cukup bagi wanita.
Tapi ternyata wanita tak selugu
dan semulia itu. Wanita butuh uang untuk membiayai rias cantiknya. Perlu pria
tangguh untuk menjaga keamanannya. Ingin kepastian lebih dari semua gombal
rayu. Aku tak bisa beri semua itu dulu. Aku butuh waktu. Jika wanita butuh
bukti dari laki-laki, maka laki-laki butuh waktu untuk memberi bukti.
Dahulu, ketika aku tengah
meyakinkan diri bahwa ketulusan cinta akan memudahkan segala ketidakmungkinan,
aku diuji dengan kehilangan. Engkau menghilang tanpa kabar. Nomormu tak dapat
dihubungi. Kau pun tak pernah lagi datang di meja nomor lima kedai ini, tempat
kita menghabiskan malam. Tak pula ke rak buku-buku fiksi tempat kita pertama
bertemu. Tololnya aku tak pernah tahu rumahmu.
Lalu kau datang lagi dengan
singkat, tapi hanya untuk pamit, dengan kalimat selamat tinggal pahit.
“Aku akan menikah. Eksekutif muda
bernama Rizal meminangku. Dia berjanji akan menanggung seluruh kehidupanku,”
kau mengguman lirih dalam sambungan telepon.
Aku tak ingin menangis, tapi air
mata bukan kehendak. Ia akan mengalir ketika hati tak kuasa lagi menahan sayat.
Kesedihan terdalam adalah ketika diacuhkan orang yang kita yakini sangat
bergantung pada kita. Karena itu mendedah ketololan kita.
“Maaf, aku memang salah. Tapi
kita berdua lebih pantas disalahkan. Kita sama-sama membiarkan yang tidak
mungkin bersatu bercampur. Air dan minyak hanya saling merusak jika bersama,”
kau juga terisak.
“Kau bukan Romeo. Kata-kata
indahmu lebih mencerminkan Sharkespeare. Aku juga bukan Juliet. Aku hanya satu
dari pengagum semenjana Sharkespeare. Lagipula, Sharkespeare tak perlu Juliet.
Ia lebih butuh wanita macam De Beauvoir-nya Sartre, yang saling memahami isi
kepala.”
Aih, kamu selalu pintar berdalih,
dan aku selalu kalah. Aku selalu salah.
Selanjutnya kau pergi, dan aku
menghabiskan hari-hari dengan separuh energi, setengahnya lagi tersita untuk
menahan getir-getir di hati. Pagiku banyak terbuang hanya untuk melupakan mimpi
yang terlalu sering menghadirkan dirimu sebagai lakon. Belajarku banyak
terganggu dengan bayangan wajahmu yang tiba-tiba menyela diantara teori-teori.
Tidurku sering telat karena aku tak jua mampu menjawab pertanyaan yang selalu terngiang menjelang malam, “Jika
kita sama-sama salah, mengapa kau renda bahagia saat ku rajut duka? “
Matahari lagi dan lagi terbit, burung
bahagia bercicit, aku malu jika sebagai manusia tak jua bangkit. Waktu membawa
perkara-perkara baru, tapi bagiku bukan ia yang mengobati nestapa, memori
sempit manusialah yang berjasa. Otak manusia pada akhirnya tak kuasa menampung
semua, lalu lamat-lamat terlupalah kenangan, suka dan dukanya. Aku bersyukur
dicipta Tuhan sebagai manusia yang fitrahnya lupa.
Luka juga terobati karena
hari-hari membuat kita makin tua. Lambat laun idealisme romantis masa muda
tergerus kenyataan praktis kehidupan. Lagipula, aku belum sudi menyerahkan
hidup sampai di sini. Aku tak tahu, apakah ini adalah kekuatan hati, atau
keputusasaan paripurna.
Aku memutuskan untuk melangkah.
Tuhan mempertemukanku dengan Ratih, gadis polos yang awalnya tak pernah
terpikir di benakku untuk jatuh hati padanya. Keangkuhan intelektualku membutuhkan
wanita-wanita cerdas sepertimu. Sedangkan Ratih hanya wanita penuh sahaja. Dia
lebih cocok menjadi istri Kyai yang penurut daripada jadi pasangan petualang
sepertiku. Tapi, seperti yang sudah-sudah, aku selalu salah menilai wanita.
Ratih memang bersahaja, tapi ia
tiada dungu. Ia mungkin tak mampu membantah ide-ide liarku, tapi dia mengerti.
Bedanya dengan kau, dia tak pernah meledak-ledak. Ratih menyatakan
ketidaksepakatan dengan santun, menimpali ketidaksetujuan dengan anggun. Di
hadapannya, aku bukan lagi sosok bestari berilmu tinggi, tapi seorang
temperamen yang diajari budi pekerti. Karena itu, aku luluh.
Maka, ketika tadi kau sampaikan, “Faza, Reza tampak menyukaimu.
Aku kira inilah saatnya cinta kita bersatu. Ia telah mengalir berliku. Melewati
gunung, bukit, lembah. Inilah muaranya. Ini waktunya, menikahlah denganku.”
Ah, sebenarnya tak tega kukatakan
ini, “Bukan lantas karena cinta semuanya usai. Cinta tak membawa keniscayaan.
Ia datang dengan pilihan. Sementara kita menentukan, mana yang lebih mungkin
dalam menghadapi perubahan-perubahan. Aku telah putuskan, Ratihlah yang
kuyakini mampu bertahan.”
Kau menangis, air mataku pun jatuh.
Tapi jika air mata adalah senjata pamungkas wanita, maka martabat adalah
perisai lelaki yang paripurna.
Semua masih sama, tapi tak
benar-benar serupa. Sejatinya, aku masih mencinta, tapi keadaan terkadang
memaksa kita bersikap beda pada kasus yang sama.