Kehidupan kita masih sama.
Malam-malam musim panas banyak tersita dengan rapat-rapat koordinasi untuk
acara kongkow-kongkow besok malam. Paginya, eh maaf, siangnya, kita akan melipat-lipat surat
undangan atau memfotokopi proposal untuk kemudian kita edarkan. Hari-hari musim
dingin yang pendek –menjadi semakin pendek dengan buruknya manajemen kehidupan
kita- banyak terbuang dengan kegiatan
yang mirip, ngobrol-ngobrol untuk siding-sidang
lusa depan. Paginya, eh sekali lagi maaf, siangnya, kita sibuk
melipat-lipat proposal atau memfotokopi surat mohon kehadiran untuk selanjutnya
kita sebarkan.
Kita adalah komunitas
organisatoris yang sangat dinamis. Setiap generasi berusaha menerjemahkan
progresifitas dalam kegiatan yang benar-benar lebih baik dari generasi
selanjutnya. Kita mengerti –tanpa memahami- sebuah tuntutan naluri untuk
bersosialisasi. Untuk melaksanakan itu, kita bahkan tak perlu tahu bahwa dalam
pembukaan karya besar al-‘Ibar-nya, Ibnu Khaldun mengutip ucapan
filosof: manusia adalah makhluk sosial. Kita juga tak merasa perlu membaca ‘Arâ’u
al-Madînah al-Fadhîlah-nya al-Farabi untuk mengekspresikan bahwa manusia
adalah makhluk yang tak bisa menuntaskan kebutuhan primernya tanpa hidup
berkelompok. Apalagi untuk tahu bahwa buku politik al-Farabi lain –yang oleh
sebagian pemerhati disebut lebih penting dari buku pertama- punya dua nama, al-Siyâsah
al-Madaniyyah dan Mabâdi’ al-Maujûdat, sama sekali tak perlu.
Barangkali dengan begitu kita
terlihat setara dengan kecerdasan al-Farabi, juga dalam orisinalitasnya. Namun,
nanti dulu, ada yang luput. Bagi al-Farabi, tujuan bergabung dengan sesama
manusia bukan sekedar pemenuhan kebutuhan material. Kalau hanya begitu, kita
tak beda dengan hewan. Sapi contohnya, yang melenguh-lenguh bersama disela-sela
memamah rumput. Aih, kenapa mirip sekali dengan kita yang sama-sama terbahak di
antara kunyahan-kunyahan syibsi?
Karena itu, menurut al-muallim al-tsani, tujuan bermasyarakat adalah juga pemenuhan kebutuhan spiritual,
kebahagiaan. Bagi al-Farabi, jiwa lebih mulia dari jasad. Untuk itu, pemuasan
hajat rohani lebih utama dari desakan-desakan syahwat jasmani. Salah satu
bentuk hajat spiritual adalah ilmu. Karena itu, membaca, dalam sudut pandang
al-Farabi, lebih penting dari kongkow-kongkow.
Kemudian, segelintir dari kita,
karena menganggap usulan jujur tadi terlalu semena-mena dan sinis –ah,
komunitas macam kita yang tak punya banyak waktu untuk membaca memang selalu
terlalu sentimentil- akan bereaksi keras, mereka mengerjakan fungsi antithesis
dialektika Hegel. Mereka mengatakan bahwa orang-orang yang membaca buku itu
kolot, tidak adaptif dengan keadaan sosial, dan terlalu terkekang dengan
pola-pola buatan para penulis buku. Mereka berdalih bahwa ilmu tak cuma didapat
dengan buku. Sekilas, alasan mereka terlihat mirip dengan konsep empirisme
Locke –tabularasa yang ditulis Locke dalam risalahnya, An Essay Concerning Human Understanding- yang mengatakan bahwa ilmu didapat melalui pengalaman. Tapi
saya rasa tidak, tidak juga selaras dengan konsep sufistik tentang ilmu batin.
Buku, tidak ditulis untuk kesewenang-wenangan,
ia –kecuali buku-buku komersil kontemporer- datang dari ketulusan niat para
pendahulu untuk memperbaiki masa depan. Buku berisi pengalaman-pengalaman lalu,
berhasil dan gagalnya, untuk pedoman generasi selanjutnya. Buku adalah satu
langkah lebih maju dari pembacaan-pembacaan acak manusia atas dunia ini, ia
adalah rangkuman kontemplasi. Ia merupakan perkakas yang memudahkan pekerjaan,
tapi ia tidak memanjakan pemakainya, buku justru membawa pembaca pada
petualangan-petualangan kreatif baru untuk menuntaskan pertanyaan yang belum
terjawab. Buku adalah wahana permainan yang tak ada habisnya.
Karena itu, adalah langkah mandek
bila komunitas kita ini masih menaruh buku dalam rak-rak berdebu. Terlebih bila
meneruskan kongkow-kongkow saat ini tanpa mengajak serta buku untuk ikut andil.
Yang dihasilkan nanti hanya berupa spekulasi-spekulasi acak tak berpola, hanya
menghantarkan kita pada kesalahan dan kegagalan selanjutnya.
Kita, merujuk pendapat tamu besar
kita belum lama ini, Taufik Ismail, adalah komunitas nol buku. Maka, ketika dia
mengatakan, “Saya melihat masa depan dalam diri kalian!” sebenarnya saya miris.
Saya menerjemahkan kata-kata itu sebagai sindiran. Maka, ketika kemarin saya
ikut tepuk tangan bersama, itu bukan perayaan, tapi saya menamparkan telapak
tangan satu ke yang lain selaku isyarat wanti-wanti, karena saya tak tega
melakukannya sebagai sarkasme komunitas saya sendiri.
2 komentar:
mantap :)
bidua'ikum ust, gmn kbr?
kmrin massage ym ana sampai tak?
Posting Komentar