Wanita mematut-matutkan diri ke cermin.
Ia membolak-balik badan gaya lenggok peragawati, memastikan baju kurung biru
mudanya rapi terjuntai. Jemarinya menggerayangi setiap inchi kepala. Jarum-jarum
haruslah tertanam sempurna, hingga tak menganggu kenyamanan.
Dandanannya kali ini sahaja, bukan
pashmina yang sedang ngetrend itu, yang memakainya harus diputar-putar keliling
kepala. Macam ikat kepala pendekar saja, berlebihan, pikirnya. Kerudung lebarnya
hanya dikenakan sederhana, tergerai
lebar menutupi bagian atas tubuh. Tapi Pria –lelaki yang hendak ditemuinya-
bilang dandanan macam itu lucu, karena di dua tanduk kepala terdapat sepasang
lekung, mirip lambang dua lesung pipimu, katanya. Ah, lelaki memang pintar
mencari titik lucu dari wanita. Atau, kami memang terlihat semacam badut?
Barangkali kata mancung yang
banyak di dengar dari para pria untuk hidungnya bukan bermakna molek seperti
yang ia maklumi, bisa jadi berarti lucu, seperti kita memahami hidung bulat
para badut. Atau, eh, apakah rias wajah kami tak ubahnya adonan warna pada muka
badut? Wanita tidak tahu bagaimana pendapat pria secara umum, tapi Wanita tahu,
bagi Pria demikianlah adanya.
Setidaknya demikian yang ia
dengar dari mulut pria.
“Wanita bukan bunga, beradu elok
dengan kelopak dan mahkota. Wanita punya jiwa, dari sanalah terpancar pesona.”
Dan karena itu pula, Wanita
sering memergoki Pria memerhatikan matanya dengan seksama.
“Hei, kenapa kau tatap mataku
seperti itu?” Suatu ketika Wanita tak kuasa menahan rikuh.
“Mata adalah gapura menuju kalbu.
Matamu mengisyaratkan pertanyaan pelik di palung hatimu. Aku hanya sedang
menerka,” Pria hanya tersenyum lebar saat menjawab, tapi pandangannya dilemparkan
ke jalanan.
***
“Bukunya di bungkus kertas kado
yang mana non?” Bik Ijah tergopoh-gopoh masuk kamar Wanita.
“Pakai biru donger aja bik,
jangan lupa bikin pitanya ya bi?” Wanita menoleh sejenak, tersenyum, lalu
kembali menelusuri sorot matanya sendiri dalam cermin.
Tapi, akhirnya ia membuktikan
sendiri bahwa teori Pria meski tak pernah ia dengar di semua kelasnya, adalah
benar adanya. Dalam bola mata Pria, di balik selaput tipis yang memijar-mijar
itu, ada sebuah tanda tanya. Tanda tanya itu menari-nari, berjingkat-jingkat,
melambai-lambaikan tangan memintanya mendekat. Jiwanya yang tak pernah tenang
melihat pertanyaan pun tertarik. Dan segera saja, tanda tanya itu menyedot
jiwanya masuk dalam kelopak mata Pria. Semakin masuk ke dalam, semakin banyak
pertanyaan yang membuatnya tersesat, terjerat dalam labirin kepribadian Pria.
Ah, pria ini, yang ketampanannya
tertutupi kedekilan, bagaimana bisa memiliki impresi ini? Sensasi yang terajut
dari rangkaian pertanyaan -tentang dunia, cita, dan terutama mimpi- bagi Wanita
lebih menarik daripada kekokohan bahu, kulit putih bersih, dan rambut licin
berkilap para rupawan.
Kemudian Wanita larut dalam dunia
Pria. Mengenali pertanyaan, saling membantu menjawab pertanyaan, dan yang
paling mengasyikkan adalah berusaha membuat pertanyaan-pertanyaan baru. Wanita menikmati
itu, hingga satu hal membuatnya kecewa.
Rupanya Pria tidak hanya menyusup
dalam mata Wanita saja, tapi juga mata wanita-wanita lain. Ada mata berbulu
lentik Dewi, mata sayu Syahdu, bahkan menyelinap dalam bola mata kelereng hijau
milik Angel, noni Yankee yang sedang dalam program pertukaran pelajar.
Wanita kesal, cemburu, marah. Mengapa
ketika ia telah memaknai cinta berdasarkan istilah cerdas Pria, lelaki itu
justru bertindak kuno, terbang dari satu kuntum ke kuntum lain yang lebih
semerbak dan mencolok? Mengapa pria itu berlaku layaknya mesin bodoh pencetak
keturunan yang hanya bekerja oleh pikatan rupa?
Lalu ia mendapat jawabannya.
“Tidak Nita, aku bukan hewan
penyerbuk. Aku hanya sedang meneliti sosok-sosok unik, para wanita,” Ujarnya
dengan suara dalam, nafas tercekat, nampak iba. Rupanya ia tak memperlakukanku
seburuk prasangkaku.
Tapi, argh, apakah dia pikir para
wanita adalah fauna langka? Semacam cendrawasih gitu hingga setiap helai
bulunya menarik ditelaah? Tentu saja aku marah disamakan dengan pesut Mahakam atau
badak bercula satu.
Usut punya usut, akhirnya Wanita
tahu dari Dewi bahwa perilaku Pria selama ini ternyata dilakukan untuk tujuan
pragmatis. Ia sangat terobsesi menulis buku tentang wanita. Dia memanfaatkan hubungannya
dengan para wanita selama ini serta sedikit keberuntunganya memiliki otak
gemilang untuk tujuan yang individual dan komersil. Bah, sehina itukah dirinya?
Mengetahui semua itu Wanita mendapat
ide untuk memberi pelajaran. Apalagi ia tahu proyek Pria banyak terbengkalai
karena pelbagai hal. Akhirnya Wanita tulis buku ini, buku tentang seorang pria
yang menjadikan wanita hanya sebagai inspirasi. Wanita senang membayangkan wajah
terpecundangi Pria ketika menerima buku ini.
“Ih, non ko senyum-senyum
sendiri? Lagi kasmaran ya?” Bik Ijah mencubit lenganku, membangunkan lamunanku.
“Hehe, nggak bik, lagi senang
aja.” Aku mengerling.
“Ini bingkisannya sudah beres non.
Bagus kan?” Bik Ijah menyerongkan kepalanya ke samping, dagunya di angkat naik.
“Hahaha, iya Bik Ijah yang paling
narsis,” ujarku sambil balas mencubit lengan tembam pembantuku itu.
***
Ini hari ulang tahun Pria, Wanita
mengunjungi rumahnya. Di teras, bersandarkan tiang pancang rumah, Pria masyuk
menulis di antara kertas-kertas dan buku-buku yang berserakan.
“Nita!” Pria sontak berdiri
seketika menyadari kedatangan Wanita. Raut mukanya khas, menyunggingkan pertanyaan-pertanyaan.
Wanita hanya tersenyum.
“Aku ingat kau hari ini ulang
tahun!” Kata Wanita sambil sodorkan bungkusan yang ditata Bik Ijah. Ia mengisyaratkan
untuk segera membuka.
Pria menerimanya, membuka
bungkusnya, lalu matanya sayu, tapi sekejap kemudian dia tersenyum lebar.
“Aku tak pernah tahu wanita.
Ibuku meninggal ketika melahirkan. Aku diasuh di seorang preman dalam penjara.
Masa mudaku habis di sekolah asrama yang seluruh siswanya adalah lelaki. Aku
hanya ingin mengenal wanita. Terimakasih hadiahnya!”
Mata Wanita kuyu, dia teringat
kata-kata Pria dahulu, “Penyesalan terbesar adalah ketika tersadar bahwa
perbuatan kita dibangun atas pandangan yang salah.”