Aku dipaksa berlutut dengan tangan terikat, mata pedang
terasa dingin di tengkukku. Mau tak mau aku gentar juga, aku belum pernah
dihadapkan pada situasi pertaruhan hidup mati seperti ini. Rambut-rambut
kudukku berdesir, nafas menyengal, telapak kaki hingga sebatas lutut dengan
sendirinya bergetar. Tapi sang filosof yang berdiri satu depa samping kiriku
malah tersenyum-senyum.
“Jangan bohong! Aku tahu persis, kulit warna tanah liat
kering orang ini serupa dengan kulit Ratu Ahia. Hamba sudah melihat mumi Ratu
Ahia di taman Semiramis paduka. Orang ini dari Nusantara, dia pasti mata-mata
Mongol!” orang tua berjanggut putih mengerut-ngerutkan dahinya, mencoba
meyakinkan yang dipanggilnya paduka, telunjuknya mengacung ke mukaku.
“Tapi banthal-nya dari goni, labih masuk akal
mengatakannya sebagai pengintai Romawi. Ia barangkali berasal dari Timur, tapi
orang Timur tak akan memakai goni.” Orang tua lain berjanggut merah bara memukul-mukulkan
tongkat kayunya ke pahaku. Aih, ini celana jeans, bukan goni, batinku. Dan
kalian perlu tahu bahwa di zamanku semua orang Timur mengekor apa saja yang
dikenakan Barat, termasuk jeans ini.
Yang dipanggil paduka kini menatap sang filosof, ronanya
meminta penjelasan.
“Kau adalah anggota masyarakat yang baik Abu Nasr, setidaknya
kau tulis begitu di bukumu. Abbasiyah sedang dalam ancaman, aku harap kau
bertindak bijaksana!”
Namun sang filosof lagi-lagi hanya tersenyum, “Maaf paduka, hamba tak mengikuti perkembangan politik. Namun menurut hemat hamba, kalau pun Abbasiyah dalam
bahaya, maka itu karena orang-orang Turki, Kurdi, Persia dan keturunan
Buwaih, bukan bahaya dari luar.”
Serentak seisi istana gaduh, semua orang mencabut pedangnya.
Segera sang raja mengangkat tangan, mengisyaratkan hadirin untuk tenang.
“Teruskan!”
“Biar anak muda ini membela dirinya, paduka!” sang filosof
memegang bahuku, sang raja hanya mengangguk.
“Hamba memang dari Nusantara, Paduka, ta..pi bukan
ma..ta-ma..ta. Hamba datang dari masa de..pan. Mongol ketika itu hanyalah
negara kecil, tak punya ke..kua..tan.”
Aku terbata karena disela sengal. Ku tarik nafas agar kata-kataku
selanjutnya teratur.
“Hamba benar-benar tak punya ikatan dengan Romawi.
Satu-satunya alasan hamba datang ke masa ini adalah karena hamba ingin
mengalahkan Romawi, yang ketika itu sudah berpindah ibukota ke Amerika.
Matahari sudah terbit dari Barat di masa hamba hidup, paduka. Semua orang
melihat Barat seperti menyaksikan matahari menyingsing. Hamba hanya ingin
belajar filsafat dari pak tua ini, ada beberapa muskil yang perlu
dijelaskannya.” Huftt, aku lega karena akhirnya bisa menaklukkan rasa gentarku.
“Tapi orang ini mengendap-endap di dinding istana, prajurit
memergokinya!” Si janggut putih mendengus, nampak tak puas dengan keteranganku. Ia terlihat bernafsu sekali ingin
memenggal kepalaku.
“Paduka, hamba jamin anak muda ini bukan mata-mata. Kepala
hamba jaminannya. Dia benar-benar datang dari masa lalu, tapi hamba tak bisa
menjelaskan dengan gamblang saat ini bagaimana itu bisa terjadi. Fisika telah
berkembang luar biasa di masa itu tuanku!” Sang filosof membuka-buka lembaran
buku.
“Barangkali penjelasan sederhananya adalah relativitas waktu
paduka, pelajaran yang bagi hamba sendiri masih menyisakan beberapa perkara
muskil,” Sang filosof menutup bukunya. “Ah, bukankah hamba sudah menjanjikan
untuk menunjukkan perkembangan qanun hamba tuanku. Hamba sudah berhasil
menemukan masalahnya, ternyata jarak antar dawai pada percobaan sebelumnya
terlalu lebar!” Tangan sang filosof mengambil sesuatu di keranjang, lalu mengeluarkan alat semacam gitar atau kecapi.
“Ah, benarkah? Kalau begitu mari kita lihat bagaimana
hasilnya.” Sang raja nampak sumringah, hadirin yang lain pun ikut melongo, mendekatkan
pandang pada barang di tangan sang filosof.
Sang filosof siap memainkan alatnya, tapi ia tiba-tiba
berhenti sejenak, menoleh ke arahku. Ia lalu merogoh sakunya dan memampatkan
kapas di telingaku. Hei, kenapa kau sumpal telingaku. Aku juga ingin mendengar musik kalian,
sergahku dalam hati. Aku hanya bisa merenggut tak karuan, tanganku masih
terikat.
Lalu aku menyaksikan dawai-dawai dipetik pelan, ia hanya
memakai telunjuk dan ibu jari, tangan filosof mengedar seperti gerakan menekan tuts
piano. Aku tak bisa mendengar apa-apa. Tapi aku heran karena semua orang dalam
ruangan itu tertawa. Beberapa bahkan terpingkal, memegang perut, terjengkang.
Kemudian jari tangan sang filosof mendadak bergerak cepat,
kali ini seluruh jarinya ambil bagian, meliuk-liuk seperti gerakan tarian
samba. Dan, hei, ini aneh, semua orang serta merta menangis. Sepertinya sedang
dinyanyikan lagu syahdu. Kucoba goyang-goyangkan badan untuk melepas ikatan, demi
mengambil penyumbat telinga. Aku ingin turut mendengarkan keajaiban ini. Namun
usahaku sia-sia. Ini simpul mati.
Sang filosof seperti mengerti maksudku. Ia memandangku, melotot. Matanya seperti bola bilyar yang siap meluncur jatuh. Air
mukanya menyuruhku untuk diam.
Lalu ia pindahkan alat musiknya, leher alat itu didekatkan ke mulutnya. Hei, dia memainkan kecapi seperti main seruling saja, meski tangannya juga ikut bermain. Aku melihat fret kecapi tidak rata, tetapi cekung beberapa milimeter, di dasarnya ada semacam pita. Mungkin itu yang ditiup sang filosof. Ah, alat ini memang aneh.
Lalu ia pindahkan alat musiknya, leher alat itu didekatkan ke mulutnya. Hei, dia memainkan kecapi seperti main seruling saja, meski tangannya juga ikut bermain. Aku melihat fret kecapi tidak rata, tetapi cekung beberapa milimeter, di dasarnya ada semacam pita. Mungkin itu yang ditiup sang filosof. Ah, alat ini memang aneh.
Tapi keanehan terbesar adalah ketika aku sadar bahwa
sekelilingku tiba-tiba jadi taman tidur. Semua orang yang tadi meneteskan air
mata kini terlelap. Sang raja tersandar di singgasananya, kepalanya
mengayun-ayun. Pengawal yang menjagaku tak dinyana sudah tersungkur, mulut mereka terbuka, sepertinya mendengkur. Tangan mereka mendekap gagang tombak. Sementara dua orang tua berjenggot lebat tadi
terduduk di kursinya, badan mereka terhuyung ke depan namun tak jatuh karena
tertahan perut yang besar. Kembang kempis nafas membuat perut mereka terlihat seperti bola basket yang coba di tenggelamkan, turun dan selanjutnya naik. Aku hendak tertawa melihat pemandangan ini. Tapi
buru-buru mulutku di sekap.
Sang filosof melepaskan kapas kemudian berbisik, “diam! Ayo
kita pergi!”
Kami berjingkat-jingkat agar tak membangunkan mereka. Aku
berjalan dengan raut tergantungi banyak pertanyaan. Sesampainya kami di
alun-alun, sang Filosof langsung berujar,
“Kamu harus kembali ke masa depan! Ingat, kalian harus pakai
pakaian kami jika ingin kembali lagi!” Lalu ia meraih tanganku, menekan tombol
mesin waktu di perglangan tanganku.
“Hei, aku belum selesai denganmu!” Aku kaget karena dia
tiba-tiba mengirimku kembali, padahal ada banyak pertanyaan yang ingin
kutanyakan.
Kakiku mulai tercerabut. Argh, sakitnya luar biasa. Tapi
kesempatan bertemu sang filosof harus dimanfaatkan.
“Faraby, dapatkah kau terangkan bagaimana teori emanasi?”
Argh, tak terperi sakitnya. Kini sel-sel badanku mulai
terlepas.
“Biarlah misteri tetap menjadi misteri!” Faraby tersenyum, dan itu
adalah hal terakhir yang kuingat.
0 komentar:
Posting Komentar