Sebelum kau bertanya, “Hubungan
apa yang tepat untuk karang dan buih?” Senja telah berwarna kelabu di
Alexandria.
Bagiku, Alexandria adalah cerita
tak berujung. Seperti jalan raya tepi pantainya yang panjang dan meliuk-liuk,
ia punya pelbagai kisah yang terulur berliku. Salah satu ceritanya adalah kamu,
yang alurnya naik turun menyiksa perasaan. Oh iya, sebelum kau datang, aku membaca
berulang-ulang cerita lama setiap senja di Mandarah.
Senja telah lebih dulu kelabu
sebelum kau datang. Kau hanya satu dari sekian orang yang menghamburkan warna
hitam pada langit. Tapi cakrawala mencampur hitam dengan biru, dan senja
menebarkan merah sore. Karena itu langitku selalu berwarna kelabu.
Seperti kemarin, ketika aku mengantarkan kau dan suamimu berbulan madu di Montazah. Aku membantu kalian
melengkapi album keluarga bahagia, mengambil foto-foto romantis di depan Istana
Raja Farouq, juga di jembatan ujung taman. Waktu itu matahari tengah redup,
pesona merahnya merona langit. Tapi tetap saja, langitku sore itu kelabu.
Aku masih ingat saat kita
jalan-jalan sore di sini. Kala itu laut tengah pasang, ombak-ombak menyerang
karang yang menjorok ke laut. Buih-buih bertebaran, sebagian menerpa kulit
putihmu. Rambut hitam sebahumu juga turut basah.
“Kau adalah karang, karena kau
hanya diam ketika ombak-ombak silih berganti menghajar ketahanan hatimu,” katamu
sambil menunjuk bongkah karang yang sedikit tinggi menjulang.
“Tapi kau buih. Kau membiarkan
hidupmu terombang-ambing oleh kehendak orang tuamu,” aku menunjuk ke arah yang
sama. Tapi maksudku adalah busa-busa ombak yang memutih.
“Lalu, hubungan apa yang tepat
untuk karang dan buih?” Mata lentikmu mengerjap. Bola mata birumu yang
bergerak-gerak membuat desir darahku terpacu.
“Tak tahulah. Biar senja selalu
kelabu bagiku,” jawabku ketus. Lalu kita sama-sama terdiam.
Sebenarnya aku tahu, aku yakin
kau juga begitu, karang dan buih tak pernah bersatu, meski keduanya sama-sama
pasrah pada nasib. Karang patuh untuk menerjal keras di tepi laut tanpa perlu
dianggap bendungan yang bentuknya selalu dirapikan. Buih pun taat pada hukum
alam yang menitahkannya terhempas ke mana-mana. Sepertinya kita memang begitu,
ditakdirkan untuk berpisah meski berdekatan.
Pertama kali kita bertemu, es
krim Azza-ku leleh. Aku mematung dengan mulut mengangga karena takjub melihat
kelereng biru bisa mengendap di matamu. Aku baru tersadar ketika kau meminta es
krim yang ada di tanganku. Hari itu pukul 12 malam, stok es krimnya telah
habis, kata sang penjual, sementara kau sangat ingin mencicipi Azza setelah
puluhan tahun.
Kita lalu berjalan menyusuri
pantai. Aku membeli popcorn sebagai pengganti es krim. Kau mengenalkan diri, namamu
Esperana. Kau baru menyelesaikan sarjana musikmu di Madrid. Ayahmu asli Mesir
dan ibumu peranakan Spanyol. Kau tinggal di belakang stasiun Asafirah.
“Cari saja gedung yang paling
mewah, gerbangnya kaca. Lantai tiga!” Katamu sambil menyisakan manis
tersungging di tepi bibir.
Aku memberanikan diri main ke
rumahmu, tapi orang tuamu tak pernah antusias begitu tahu aku hanya anak
penjaga gerbang meski berkali-kali aku bilang prestasi kuliahku lumayan bagus. Rana
punya Villa di Casablanca dan Palermo, sementara kau punya rumahpun tidak, kata
Ayahmu. Kau hanya menangis, tapi itu hanya membuat langitku semakin kelabu.
Aku hampir melupakanmu setelah
lima tahun kau kembali ke Madrid. Selama itu pula aku membatukan diriku,
menolak semua harapan yang datang. Aku tak ingin perasaanku menghancurkan
kehormatanku sebelum aku mampu mencukupi persyaratan menikah. Karena itu, aku
bekerja siang malam seperti kesetanan. Pagi hingga sore aku menjadi pemandu
wisata di salah satu travel asing. Malamnya aku mengantar sayur mayur ke Kairo.
Mataku selalu sayu karena kurang tidur. Barangkali itu juga yang membuat senja
selalu tampak kelabu.
Suatu pagi aku tersentak karena
klienku ternyata kamu, bersama suamimu yang pemain Real Madrid itu. Tapi sebagai
professional, aku tak mau mengecewakan klien. Aku mengantarkan kalian menyusuri
Mesir.
“Aku adalah penggemar Atletico. Tapi
kita tak perlu bermusuhan kan? Sepakbola hanyalah arena bersenang-senang,”
kataku menggoda suamimu.
“Tentu saja, tak ada benar atau
salah dalam membela tim olahraga. Mengapa terlalu serius? Hahaha,” Karim,
suamimu, tergelak. Aku ikut terbahak.
“Kecuali jika kita bersaing untuk
seorang wanita, hahaha!” ia kembali tergelak, kali ini aku tak ikut, ada rasa pahit
yang tiba-tiba tertelan.
Lalu, di tempat ini, di atas jembatan yang
menjorok ke laut. Suamimu menyatakan sesuatu yang membuatku bingung.
“Mister, seandainya seluruh
manusia seperti karang dan buih. Patuh pada titah alam kepadanya, maka seisi
dunia akan damai.”
Menurutmu, bagaimana?