Awalnya saya tidak tahu. Saya pada
mulanya lebih menggemari tulisan-tulisan motivasi daripada cerita pendek.
Tulisan-tulisan penggugah semangat tersebut, bagi saya, lebih mudah dicerna tanpa
perlu bertele-tele, mirip fast food, cepat, enak dan simpel. Berbeda
dengan cerpen yang ketika itu saya anggap serupa dengan transmigrasinya Suharto,
pemaksaan orang-orang pindah ke tempat baru yang tak dikenal. Tentu saja, pada
mulanya, orang-orang akan lebih banyak mengeluh dan melongo di tempat baru.
Percis, saya banyak mengeluh dan melongo di awal-awal membaca cerpen.
Cerpen
membawa setting yang asing dan aneh-aneh, pelataran tempat-tempat kuno –bangsa Viking,
Prusia, atau bahkan Jawa Kuno-, detail-detail daerah asing –gang-gang di Tokyo,
tembok Berlin, dll-, atau gambaran surealis yang benar-benar di luar nalar
normal. Saya lebih banyak pusing. Itulah zaman jahiliyah dalam kehidupan
menulis saya.
Mengapa saya menamakan zaman jahiliyah?
Karena periode itu adalah masa ketika saya bisa menulis lebih banyak daripada membaca.
Guru saya bilang hanya penulis amatir yang melakukan kebodohan itu. Saya akui
saya dahulu memang sangat bodoh –bahkan sampai sekarang- dan amatir. Salah satu
dalil keamatiran saya adalah keberanian saya menulis dan memaksa menerbitkan
buku sebelum pernah sekalipun belajar menulis. Sampai sekarang saya masih
sering tersenyum ngenes mengingat kesombongan masa muda yang buruk itu
(pinjam diksi dan izin menggubah ya Mas Duta).
Tapi saya tak menyesal, karena
keluguan anak muda itulah yang mengantarkan kepada jalan hidup kepenulisan yang
luar biasa. Saya jadi tahu sekelumit tentang kenakalan penerbit, seabrek suka
(baca: duka) dan duka penulis pemula, dan bertemu dengan seorang guru. Pengalaman-pengalaman
tersebut yang pada akhirnya sedikit membuat saya mengerti apa yang mesti
dilakukan jika ingin menjadi penulis. Sebentar ya, saya kangen kembali menjadi
Mariowan Teguh Saputra; “berjalanlah terus walau pelan dan tak tahu arah, karena
Tuhan pasti menuntun langkah kita.”
Ok, karena saya sudah berjalan –setidaknya
beberapa langkah-. Mari kita kembali pada tema di atas.
Meski kemudian banyak membaca
cerpen dan belajar mencintai, saya tetap tak tahu bagaimana menulis cerpen.
Teorinya sih mudah, Pak Guru bilang awalnya harus boom (pembukaan
mengejutkan), alur ceritanya naik turun, dan penutupannya juga mengagetkan.
Tapi, pada praktiknya, menyelaraskan ide awal (baik berupa pesan maupun sekedar
imajinasi) dengan remeh temeh penceritaan macam penggambaran karakter atau
detail latar adalah pekerjaan paling berat. Dulu saya berpikir menulis itu
pekerjaan paling mudah, sekarang saya berpikir menulis adalah perjalanan menuju
Roma, panjang namun selalu ada jalur alternative. Saya katakan demikian karena
saya tak mau termasuk golongan orang-orang yang berkata: “life is easy,
writing is hard,” ini pernyataan yang salah.
Masalah saya terutama adalah
penguasaan setting. Bagaimana mungkin saya bercerita tentang Paris, Eiffel,
Camp Elysees, sementara saya tak pernah punya uang untuk berpelancong ke sana.
Saya bukan anggota DPR yang untuk jalan-jalan cuma perlu mengajuka proposal
studi banding. Apalagi terkadang, musim hujan membuat kebun karet Bapak tak
bisa disadap. Kalau sudah begitu, beli buku saja susah. Dari mana saya bisa
tahu nama jalan-jalan di dekat sungai Rhode?
Akhirnya, karena tak jua bisa
menulis saya memutuskan menaati Pak Guru, “sekarang, baca saja cerpen-cerpen
semuanya!” Saya sempat bertanya-tanya pada diri sendiri saat menerima petuah
itu, “kapan saya menulisnya kalau harus membaca semuanya!” Belakangan saya
berubah pikiran, santai sajalah, tak perlu terburu-buru, setiap orang punya
perjalanan hidup dan karier yang berbeda-beda, Plotinus si pendiri neoplatonis
saja baru belajar di umur 27 tahun.
Nah, bacaan-bacaan itu lama
kelamaan membuat saya melek (saya membaca baik cerpen-cerpen maupun curcol-curcol
penulis macam ini). Saya jadi tahu kalau dalam menulis cerpennya, Sungging Raga
sangat licik, ia dengan santai menyatut nama-nama stadion untuk setting
cerpennya. Seenaknya dia sulap Ewood Park yang sebenarnya stadion Blackburn Rovers
itu menjadi sebuah taman. Lihat pula bagaimana kejinya dia mengubah kandang
Leed United, Elland Road, menjadi seruas jalan. Sungging beralasan cerpen
adalah lahan imajinasi, tempat
untuk membayangkan sesuatu yang belum tentu ada dan tidak harus ada tapi anggap
saja ada karena memang boleh untuk ada. Saya cuma bisa manggut-manggut.
Kemudian, dari bacaan-bacaan itu
juga saya mendapati kelicikan-kelicikan penulis yang lain. Sungging, selain
mencatut stadion dan membuat Mikel Arteta –gelandang Arsenal- sebagai tokoh
cerpennya juga menjadikan obsesi pribadinya terhadap kereta sebagai bahan
cerita. Benny Arnas menyusupkan terlalu banyak bahasa daerah. Dan Yetti tak
canggung menjadikan cintanya kepada kopi sebagai panggung bagi ide-ide romantis.
Dari sana saya mulai berpikir
untuk ikut-ikutan culas. Kalau cerpen Sungging bersetting stadion, Senja di
Taman Ewood, bisa masuk cerpen pilihan Kompas, saya pikir cerita berlatar Bernebeu
atau Veldabebas boleh dicoba. Toh, saya dan Sungging punya bacaan yang sama
waktu kecil, tabloid olahraga (saya selalu merengek Bapak untuk membelikan
Bola). Saya juga dapat ide untuk mengangkat keeksotisan lokal. Benny Arnas
bangga menceritakan karet, Yetti genit menuturkan kopi, jadi dari sekarang saya
mungkin akan bercerita tentang kayu manis, kelapa sawit atau nilam.
Saya cuma ingin mengatakan bahwa tak
perlu jauh-jauh menjadi astronot untuk bercerita tentang bulan, kita bisa
meratapi kepergian kekasih lalu berimajinasi bahwa rembulan tengah berduka.
Jika Anda tak punya dayung, Anda harus berenang. Intinya, pergunakan apa saja
yang kita punya untuk melakukan apa yang kita bisa.
Ok, mungkin demikian yang bisa
saya bagi hari ini.
Apa yang Ditulis dalam Cerpen
Apa yang Ditulis dalam Cerpen
0 komentar:
Posting Komentar