Mahabharata menuturkan satu
cerita tragis tapi tak epik. Karna, seorang yang tak punya identitas jelas,
mati dalam perang tanding melawan seorang Ksatria Pandawa, Arjuna. Tragis
karena tepat sebelum tewas, Karna tahu ia akan kalah. Bukan epik karena
kematian Karna tak diratapi kasta mana pun.
Karna adalah bayi yang tak tahu
datang dari mana, hanyut di sungai dalam peti dengan hanya berselimut kain.
Tapi Begawan Bargawa merasa Karna telah menipunya ketika berguru kepadanya.
Karna dianggap telah berdusta karena tak mengaku bagian dari kasta Ksatria -yang
oleh brahmana satu ini dianggap perlu dimusnahkan. Walhasil, ia menolak
memberikan secara utuh ajian sakti yang jika diberikan dapat menyelamatkan nyawa
Karna.
Cerita di atas mengingatkan saya,
bahwa identitas dapat menjadi antagonis. Suatu identitas, pada suatu ketika
dapat melampaui fungsi defensifnya, sebagai pembentuk kesadaran untuk bekerja
sama. Ia dapat menjelma menjadi sangat beringas, bahkan kejam. Karna adalah
contoh fiktif, tapi realitanya dapat ditemukan di mana-mana.
Ihwal ini terkadang membuat saya
khawatir. Terutama karena di era globalisasi ini, di saat banyak identitas
tergoncang dan berevolusi, segelintir orang masih saja mencoba mengangkuhkan “kita.”
Kita adalah definisi yang berbeda dari “yang lain.” Kita tidak menerima yang
lain. Yang lain harus dilebur, dan jika tidak, harus diringkus. ”Tiap kesadaran,” kata Hegel, ”memburu
kematian yang-lain.”
Saya khawatir karena saya adalah
satu dari sedikit orang seperti Karna. Saya adalah orang Jawa yang tidak
dianggap Jawa karena lahir di Sumatra dan tidak bisa Kromo Inggil. Tapi orang-orang
kampung pun menganggap saya orang asing karena saya besar di perantauan.
Lagipula, logat saya terdengar beda.
Barangkali perasaan saya ini
sesuai dengan yang dirasakan Putu Wijaya. Putu lahir di Bali, tapi ia kuliah di
Yogya dan hidup di Jakarta. “Dibandingkan dengan orang-orang Bali lain,” kata
Putu, “Saya seperti sebuah disket yang sudah terkontaminasi dan salah format. Bentuk
saya sudah acak-acakan.”
Dalam cerpennya, Bali, Putu
mengutarakan kegelisahannya tentang identitas. “Bali adalah sebuah konsep.
Tidak bali juga sebuah konsep. Dan konsep-konsep itu berubah. Mungkin karena
zamannya berubah, atau karena apresiasi kita yang bergerak?” Ya, identitas tentang
siapa kita adalah produk budaya. Dan benda-benda budaya, kata Sapardi Djoko
Damono, bisa saja tidak –atau belum- selesai dibangun.
Orang Bali sekarang mungkin tidak
lagi bisa menari, tidak bisa menabuh, tidak bisa melukis atau membuat patung.
Orang Jawa sekarang mungkin sudah tidak pakai blangkon dan tidak bisa kromo
inggil. Orang Betawi barangkali sudah tak lagi mengarak ondel-ondel. Bagi saya
itu semua tak masalah. Yang jadi masalah adalah apabila di masa ketika
identitas-identitas berevolusi, pemikiran segelintir orang masih terpaku pada
mengangkuhkan identitas-identitas primordial.