Dalam lawak, tidak lucu jika lakon terbahak-bahak dalam pentas. Lebih tak lucu bila pemeran marah-marah di atas panggung. Sialnya, Indonesia adalah dagelan gagal tersebut.
“Negara ini gila!” komentar Mahfudz MD mengenai
Indonesia di salah satu acara televisi. Mantan ketua MK yang digadang-gadangkan
menjadi presiden 2014 ini terutama mengeluhkan sistem birokrasi dan ketumpulan
hukum menyikapi kongkalikong kepentingan para priyayi.
Jika Pak
Mahfudz mendasari pendapatnya atas analisa, dan membawa serta solusi konkret,
lain lagi dengan kebanyakan masyarakat awam. Orang-orang kalangan menengah ke
bawah (secara intelektual) sudah terjangkit virus kehilangan kepercayaan
terhadap negara mereka sendiri.
Sebenarnya
sikap tak acuh orang Indonesia dapat dimengerti. Selain masalah kenegaraan yang
tak pernah usai mendera, rakyat dibuat jenuh dengan polah para politisi. Setiap
hari rakyat disuguhi debat kusir mereka yang mengatasnamakan para wakil.
Buruknya, kebanyakan politisi tak mengerti tata cara diskusi dan debat yang
baik dan benar. Akibatnya, silat lidah hanya digunakan untuk membela
kepentingan golongan. Bukan kepentingan rakyat, apalagi kebenaran. Kejenuhan
terhadap sikap politisi tersebut membuat rakyat tak acuh lagi terhadap
kehidupan politik.
Sikap tak acuh
rakyat dikuatkan hasil survei. Dari jejak pendapat yang dilakukan IPI
(Indikator Survei Indonesia), 67 persen responden menyatakan tidak tertarik
dengan hal yang berkaitan dengan politik. Survei ini melibatkan 2290 responden
(sumber merdeka.com).
Apatisme macam
ini juga dapat ditelisik dari percakapan masyarakat tingkat grassroot
maupun di forum-forum dunia maya. Dalam obrolan ringan warung kopi misalnya,
rakyat sudah tak segan lagi sinis terhadap nasib bangsa sendiri. Di forum-forum
internet, masyarakat justru berlomba-lomba menertawai kemalangan mereka.
Barangkali,
asal mulanya pesimisme negatif itu adalah guyonan satire. Masyarakat lelah
menghadapi pelbagai cobaan yang datang tak henti terhadap negri ini. Bencana
demi bencana melanda, KKN menggurita, utang negara membengkak, hukum tak mempan
menebang orang besar, dan lain sebagainya. Semua kenyataan itu sudah cukup untuk
menggetarkan ketahanan mental masyarakat. Akhirnya, saking bosannya dengan
musibah, rakyat memilih menghibur diri dengan menertawakan kesengsaraan.
Tapi, entah
karena kurang terdidiknya masyarakat Indonesia, atau karena keluguan psikologis
yang sudah tertanam kuat -negri ini dijajah lebih dari 350 tahun- humor itu
malah jadi hiburan. Hiburan menjadi pentas. Pentas menjadi lomba. Dan anehnya,
lomba mengolok-olok diri sendiri malah digandrungi.
Masyarakat
Indonesia lupa (atau benar-benar tidak tahu?) bahwa tujuan utama lelucon satire
bukan untuk mengocok perut, namun untuk membangunkan kesadaran instingtif yang
kadang tak bisa dibangkitkan dengan ajakan-ajakan serius. Kita melalaikan
fungsi membangun dari guyonan cerdas itu. Satir adalah seni melucu kaum intelek,
sayangnya, di tangan masyarakat Indonesia, ia menjadi lawakan murahan.
Di saat
masyarakat luas menikmati parade mengejek diri sendiri, kita punya presiden
dengan selera humor mengkhawatirkan. Tak seperti rakyat yang terjebak dalam
sisi lucu satire, presiden malah terjangkit penyakit sulit ketawa. Saat
segelintir demonstran menyindir kelambanan Pak SBY dengan menuntun seekor
kerbau, dia justru marah-marah tak karuan. Yang aneh, perilaku sang presiden
selanjutnya tetap mengerbau. Malas, lamban dan tak tegas. Saya hampir lupa
kalau beliau adalah purnawirawan militer. Jika kerbau berleha-leha dengan
memamah rumput sembari menikmati lenguhan sumbangnya sendiri, bapak yang satu
ini terlalu banyak bersantai mendengarkan lagu ciptaan pribadi. Yang lebih
menggelitik, SBY berhasil menciptakan empat album selama periode
pemerintahannya. Produktifitas ini bahkan melangkahi karya penyanyi profesional
dalam tempo yang sama.
Hemat saya,
dua sikap di atas adalah sikap keliru dalam menyikapi masalah. Kita tak boleh
terlalu serius menanggapi ironi, justru dengan menyediakan selera tertawa kita
tergelitik, kita dapat dengan arif menerima pesan yang dimaksud. Ironi, kata
Gunawan Muhammad, membuka pintu kepada kearifan. Atau, seperti kata Anatole
France, ironi adalah keriangan reflektif dan sukacita yang bijaksana.
Jangan pula
kita tertawa terpingkal-pingkal menanggapi ironi. Ia bukan pentas lawak yang
bertujuan mengocok perut, namun, seperti saya sebutkan di atas, dalam rangka
membangunkan kesadaran alami yang tertidur. Guru mengaji saya pernah bilang,
terlalu banyak tertawa akan mematikan perasaan. Saya pikir betul juga. Secara
kasar saja, tertawa berlebihan membuat perut sakit, mata terpejam, dan
pendengaran berkurang. Dalam keadaan demikian, kita akan kehilangan kontrol
terhadap apapun di sekeliling.
Barangkali,
bangsa Indonesia belum cukup berbudaya untuk menyikapi ihwal-ihwal cerdas. Tapi
sebenarnya, masalahnya sederhana. Kita hanya perlu selera humor yang lebih
baik.
0 komentar:
Posting Komentar