Musim dingin begini, aku teringat
satu malam hangat. Aku tidak sedang berkisah tentang malam hari musim panas, ini
dongeng tentang suatu malam musim dingin yang terasa hangat. Barangkali malam
itu, di bawah bebatuan rapi yang melandasi jalan kami –aku dan satu orang lagi
akan kuceritakan nanti-, tersulut semacam tungku batu bara.
Tetapi sebelum mendedah tentang
perjalanan mesra kami malam itu, sebaiknya aku terangkan dulu perihal bagaimana
kami bertemu.
***
Satu sore, dalam dongeng yang
mirip sekali dengan kehidupan alam nyata, aku tengah belajar mempersiapkan
ujian. Karena tak suka keramaian khalayak di masjid al-Azhar, masjid Husein dan
tempat-tempat belajar lain di sekitar rumah, aku memilih belajar di masjid al-Hakim
bi Amrillah. Tempatnya tepat di belakang Bab al-Futuh, seberang Bab
al-Sya’riyah. Jika Anda adalah orang baru di Kairo, naik saja taksi menuju Bab
Sya’riyah, lalu tanyakan pada siapa saja di mana masjid itu berada!
Seperti biasa, aku belajar dengan
mulut komat-kamit karena hanya dengan begitu pelajaran bisa lekat di ingatanku,
juga sambil mondar-mandir keliling masjid karena aku gampang mengantuk kalau
belajar sambil duduk. Tiba-tiba, ketika melintas sebuah tiang, nampak sesosok
berkerudung putih merengues membaca buku cerita. Aku lalu hilir mudik
sekitar tiang itu, penasaran.
“Kenapa masa ujian begini kau
membaca buku cerita?” Tanyaku canggung. Aku terpaksa bertanya karena risih dilirik
seperti maling. Aku tahu dia memandangiku begitu karena risih dengan polahku
yang lalu lalang saja di hadapannya.
“Huh, aku sedang istirahat. Hari
ini, buku setebal 200 halaman ini baru kuselesaikan,” jawabnya sambil menunjuk
buku diktat warna biru yang tergeletak. “Memangnya, apakah membaca buku cerita
di waktu ujian adalah hal terlarang?” Ia mengernyit, di antara alisnya kini
terbentuk kerut-kerut.
“Sejatinya tidak. Hanya saja, di
sini, di komunitas yang jarang baca cerita, kau terlihat aneh,” aku ikut
mengerutkan alis, tapi cuma dalam rangka menirukan pola wajahnya yang tiba-tiba
jadi lucu.
“Tapi aku suka orang yang suka
cerita pendek. Ia mungkin tak pandai menghafal, tapi ia pasti teliti, sabar,
berwawasan luas, dan yang paling penting, tidak kaku, meski kadang-kadang
pakaiannya sedikit acak-acakan,” sambungku mencoba menghangatkan suasana.
“Enak saja, huh, busanaku selalu
rapi!”
“Haha, jangan tersinggung, aku
tengah membicarakan diri sendiri,” kuambil posisi duduk di sampingnya. Lalu
kami ngobrol panjang lebar. Namanya Rima Tharful Syi’ri, dia adalah gadis
paling cerdas yang pernah kutemui sejauh ini. Barangkali karena dia banyak
membaca cerita pendek.
Percakapan kami kemudian
berlanjut hingga perjalanan pulang. Di sinilah keanehan terjadi, sepanjang
jalan al-Moez, entah kenapa aku tidak kedinginan. Cuaca tiba-tiba menghangat. Barangkali
memang ada tungku batu bara di bawah batu-batu yang tersusun rapi.
Namun, eh, mengapa orang-orang
tetap kedinginan. Pak tua penjual jagung di bawah pohon itu mengambangkan
tangandi atas bara di sela-sela melayani pelanggan, penjual makanan kecil juga
sesekali membetulkan jaket, pasangan muda-mudi juga terlihat lebih intim, aku
yakin karena mereka kedinginan. Tungku batu bara itu memang hanya imajinasiku
saja.
Aku baru sadar bahwa kehangatan
itu karena aura. Jika Einstein, dari cerita yang kudengar, bilang bahwa dingin
adalah ketiadaan panas, maka malam itu terasa hangat karena aku menjalaninya
dengan penuh energi. Aku tak tahu sumbernya dari mana. Tetapi dia malam itu tak
ubahnya api unggun. Terang, merona dan membara. Kita lalu bertengkar tentang
musim favorit.
“Aku tak suka musim dingin,”
kataku memancing perdebatan, “kita harus mengenakan terlalu banyak aksesoris.
Sebagai lelaki, itu adalah pekerjaan menyebalkan,” mulutku tersungut.
“Ah, apa sulitnya pakai jaket. Bagiku
musim panas lebih mengerikan, keringat seperti diserap,” ia antusias menimpali,
“aku bahkan sulit tidur di panas karena lalat mengerubung,” pungkasnya.
Kami masyuk dalam obrolan,
sesekali kulontarkan canda. Ia tertawa, gingsul di ujung luar gerahamnya bak memimpin
larik-larik cahaya menari. Tawanya juga menggali dua buah relung di pipi. Itu
menjadi semacam telaga yang membawa kesegaran.
“Aku suka bertemu denganmu, tapi
sebaiknya kau tahu ini: ini tahun terakhirku di sini dan tahun depan aku
menikah dengan seorang pegawai,” kata Rima tiba-tiba saat kami mulai masuk
kawasan Khan Khalili. Sejenak kemudian kami saling membisu. Penjual gantungan
kunci menarik-narik lenganku.
“Begitukah? Aku senang jika kau
segera menikah,” kataku membunuh hening. “Tapi..” Ku pandang matanya, kucoba
baca isi hatinya melalui layar bola mungil itu.
“Tapi apa?” ia mengalihkan
pandang ke menara Husein, sepertinya sadar aku mencoba menerkanya.
“Jangan menikah dengan pegawai! Hidupmu
kan terjebak upacara dan kejumudan. Menikahlah dengan penulis! Meski mereka
belum tentu dapat memberikan penghidupan yang baik, setidaknya mereka tahu
bagaimana memperlakukan hatimu dengan baik,” lanjutku. Sebenarnya itu semacam
bahasa diplomasi.
“Baik, akan kusimpan nasehatmu
baik-baik,” ia menimpali dengan senyum. Gingsulnya kembali mengajak
kerlap-kerlip berdansa, relung pipinya lagi-lagi membentuk rawa teduh. Itulah
tarian dan kesegaran terakhir yang kuingat dari wajahnya.
***
Kami tak pernah bertemu kemudian.
Dari teman-temannya, aku tahu Rima lulus tahun itu –aku harus mengulang
beberapa pelajaran-. Informasi lain yang kudapat adalah bahwa ia benar-benar
telah menikah dengan seorang pegawai. Ihwal terakhir ini sangat kusesalkan.
Beberapa menit yang lalu, aku
mendapatkan kejutan tak mengenakkan. Rima mengirimi aku sebuah foto keluarga.
Nampak di foto itu ia bersama lelaki rupawan tengah menggendong bayi berkulit
putih dan sangat montok. Dia sertakan juga beberapa kalimat: Terimakasih atas
nasehatmu Hazin! kau benar, penulis selalu tahu cara bagaimana memperlakukan
hati kita dengan baik. Perkenalkan, itu suamiku, Faiz. Ia penulis sekaligus
editor di sebuah koran nasional. Kau dapat menghubunginya jika ingin
mengirimkan karya-karyamu. Aku masih ingat ceritamu dulu kalau kau ingin punya
kenalan editor. Semoga dia bisa membantu.
Malam ini, karena foto dan
beberapa kalimat itu, atau karena darah yang tiba-tiba banyak mengalir ke
ubun-ubun, musim dingin terasa hangat.