Rasio dalam teologi menjadi
olok-olok di tangan Ockham. Kritiknya sebenarnya mengarah pada logika-logika
asbtrak: dialektika para ahli teologi Kristen dalam membuktikan hal ihwal
keimanan. Pengetahuan sejati, kata Ockham, diperoleh lewat bukti empiris. Ia
juga bilang bahwa lafal-lafal yang hanya merujuk pada esensi abstrak adalah
omong kosong.
Padahal, rasio pernah sampai pada
titik optimisme tertinggi pada masa Anselm dari Canterbury. Pastur asal Aosta
ini bilang bahwa akallah satu-satunya perkakas pengesah. Lewat akal, manusia
dapat menerangkan konsep-konsep keimanan dengan terang, semuanya, tanpa
kecuali.
Tapi pendapat Anselm tak diamini
salah satu teolog terbesar Kristen, Thomas Aquinas. Dalam beberapa kasus, hemat
Aquinas, logika manusia harus menerima fakta bahwa ia tak (atau belum?) mampu
menjelaskan semua masalah akidah. Contoh kasus yang mewakili pikiran Aquinas
ini adalah soal penciptaan, serta relasinya dengan waktu. Sementara Averroes
melogikakan keabadian alam karena ia adalah akibat dari sebab yang abadi,
Bonaventura mengecamnya; penciptaan dalam kungkungan waktu, kata Bonaventura,
justru sangat tidak logis.
Aquinas akhirnya mengambil jalan
tengah. Dua bangunan rasio yang disodorkan baik oleh para pendukung kekekalan
alam, atau yang menentangnya, sama-sama spekulatif, kata keponakan Frederick
Barbarosa ini. Karena itu kita harus menyerahkannya pada iman: bahwa alam
diciptakan dalam satu masa dan bahwa masa memiliki mula.
Masih menurut Aquinas, pengetahuan
kita tentang Tuhan sejatinya hanyalah kegiatan mendekati, juga menyucikan. Manusia,
apabila hendak sampai pada pengetahuan hakikat, lazim punya akal yang tebebas
dari kungkungan fana, materi. Tapi itu mustahil dan oleh sebab itu manusia tak
mungkin sampai pada ilmu sejati tentang Tuhan.
Lalu datanglah Ockham -sebelumnya
ada John Duns Scotus tapi tak terlalu penting- mengguncang pondasi intelektual
gereja. Kehebohan ini mirip dengan yang disebabkan Siger Brabant dengan
Averoisme-nya. Tentu saja Ockham kemudian hendak diseret inkuisisi, tapi ia
kabur ke Pisa memanfaatkan konflik antara otoritas kepausan dengan Louis IV.
Ockham menyerang bukti-bukti
logis tentang Tuhan yang selama ini diandalkan gereja, -mengenai keberadaan
Tuhan, sifat Tuhan, keabadian jiwa, dll-. Ketika itu, paparan-paparan Aquinas
bahkan dianggap sebagai pendapat yang aksiomatis, semua teolog harus menerima.
Namun Ockham menjungkirbalikkan semua itu.
Yang menarik, sebenarnya
kritik-kritik Ockham bukan upaya menuju kekafiran, ia justru membawa rasio
manusia pada tempatnya yang lebih rendah hati, tunduk pada wahyu. Pendapatnya
tentang etika mengingatkan saya dengan konsep Asy’ari, bahwa tak ada esensi
sejati dari baik dan buruk, namun Tuhan menerangkan bahwa A baik dan B buruk
melalui wahyu.
0 komentar:
Posting Komentar