Mengapa sastra?
Pertanyaan ini seperti bertanya pada penggemar kopi, “mengapa
Anda menyukai larutan hitam nan pahit itu?”
Jawabannya akan beragam. Anda mungkin mendapati jawaban yang
sangat serius: jabaran-jabaran runtut, dalam dan intelek yang sedikit banyak
menyinggung ideologi, atau malah tawa tipis di akhir guman lirih, “ini soal
pilihan, Bung!”
Seperti itu juga yang Anda akan dapatkan jika mengajukan soal
di atas kepada saya. Saya dapat membeberkan bertele-tele alasan untuk mendukung
kebijakan pribadi ini. Namun, jika pun argumen teoretis runtuh, saya akan berpaling
pada alasan paling subyektif, this is the way I choose to live. Sastra,
bagi saya, telah menjadi semacam nasi bagi orang Indonesia. Ia memiliki semua
syarat yang dibutuhkan untuk menjadi makanan pokok. Meski bagi orang-orang yang
gemar makan roti, nasi dianggap tak mengenyangkan untuk tempo yang lama, saya
akan tetap memilih nasi.
Menurut saya, sastra dapat menjadi semacam garam: sesuatu
yang menyusup dan memberi rasa pada makanan, tanpa perlu menjadi sepah-sepah
yang menganggu proses memamah. Sastra mampu merembes masuk ke alam pikiran
pembaca lalu mengendapkan ide-ide tanpa tersadar. Perihal semacam ini menjadi
vital pada suatu masa ketika jurnalisme dan tulisan ilmiah tumpul. SGA pernah menulis
sebuah buku menarik tentang ini, “Ketika Jurnalisme Bungkam, Sastra Harus
Bicara.”
Sebenarnya tak ada karya yang tak punya tendensi. Dan dalam
sastra, tendensi itu samar karena memakai baju berlapis-lapis –imaji, teknik
cerita, metaphor, dll-. Linda Christanty bilang “…sebetulnya setiap karya, ini secara sederhana saja ya,
setiap karya mengandung 'pesan politik' penulisnya, apakah itu terlihat
gamblang maupun tidak.”
Yah, tidak harus politik sih, intinya semua karya mengandung pesan.
Melalui sastra, Pamuk berani mengungkap
riwayat pembantaian etnis Armenia dan Kurdi oleh orang-orang Turki.
Lagipula, meski suaranya samar, sastra terbukti sangat sakti.
Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata –terlepas dari kontroversi kualitas
sastrawinya- harus diakui telah mengubah (pandangan) hidup banyak orang. Bahkan
dikisahkan, novel kehidupan anak-anak Belitong itu membuat seorang pecandu
narkoba menitikkan airmata, lalu insyaf. Jika julukan most powefull book
dianggap berlebihan, setidaknya sepengetahuan saya, buku-buku berjubel petuah
paling optimis pun –buku motivasi- tak ada yang mencapai cetakan 15 juta kopi.
Sastra juga sebenarnya merupakan sarana olah sosial. Hanya
saja, berbeda dengan tulisan ilmiah yang menilik masalah secara detil dan
mendasar, sastra lebih memilih untuk hanyut dalam wujud konkret masalah itu melalui
tindak-tanduk manusia. Kemudian, ia mengajukan solusi bukan dengan
rekomendasi-rekomendasi, namun lagi-lagi bersuara lewat mulut dan perilaku
manusia yang telah melibatkan emosi. Hati-hati diketuk tanpa perlu menjadi
jengah diceramahi.
Lebih dari itu, sastra bagi saya pribadi adalah pilihan
damai. Ia menggabungkan antara kecenderungan individu untuk terbang di
cakrawala imajinasi, inspirasi dari buih-buih wawasan yang menyembul-sembul, kelebat-kelebat
ingatan tentang masa lalu, dan tanggungjawab moral sebagai manusia.
Memilih sastra adalah mengenai pilihan menjalani hidup.
Bukankah hidup lebih mudah dijalani dengan ihwal yang selalu menyulut tenang?