Golput adalah setan bisu.
Gabriel Almond, pakar politik Amerika Serikat, membagi kalangan
yang enggan berpartisipasi dalam acara politik menjadi dua. Pertama, parochial political culture, yaitu mereka yang
memiliki budaya politik masa bodoh, acuh tak acuh atau bahkan apatis, karena
tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Kedua, subject
political culture. Kalangan ini ditandai dengan sikap masyarakat yang masih pasif meski
sebenarnya sudah relatif maju.
Pembagian masyarakat enggan politik ini, menurut saya, relevan
diterapkan dalam kasus keindonesiaan. Secara umum, mereka yang golput memang
tak keluar dari dua kalangan di atas. Masyarakat politik paroki banyak kita
temukan pada masyarakat kalangan bawah: mereka yang secara geografis terisolir
atau yang secara finansial dan pendidikan tertinggal hingga kurang mendapatkan
akses politik. Demikian menyebabkan sikap sosio-politik mereka sangat lugu
hingga acuh dan apatis terhadap dinamika ketatanegaraan.
Sementara itu, masyarakat yang dominan di Indonesia adalah kategori
kedua, mereka yang relatif telah memiliki pengetahuan politik namun masih
bersikap pasif. Dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari lintas kalangan
bahwa masyarakat kita sebenarnya cukup melek politik. Banyaknya pengamen
melantunkan lagu kritik sosial dan pemerintahan, ramainya bincang politik di
warung-warung kopi, hingga antusiasme debat ilmiah dalam lingkungan akademis, dan
lain-lain, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia sudah memiliki
kesadaran politik.
Kendati mayoritas rakyat sudah sadar politik, angka golput masih
tinggi. Mengapa demikian? Dari opini yang beredar di masyarakat saya
menyimpulkan ada dua alasan utama untuk golput.
Pertama, lantaran tidak percaya lagi dengan sistem ketatanegaraan
yang ada saat ini, yaitu demokrasi. Demokrasi dianggap telah gagal dan tak
mungkin lagi mewujudkan tujuan dari kehidupan sosial-politik Indonesia seperti
yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia…”
Kalangan ini terdiri dari mereka yang
secara ideologi bertentangan dengan ide demokrasi, baik dari fundamentalis
religius maupun kaum kiri radikal. Mengenai hal ini, saya mengutip pendapat Gunawan
Muhammad: ”tak ada satu pun sistem di dunia ini yang sempurna. Tapi, keunggulan
demokrasi adalah, memberi peluang secara terus-menerus untuk penyempurnaan.
Hanya dengan demokrasi kita bisa mengoreksi, dan memperbaiki.”
Kedua, karena putus asa dengan kondisi
politik saat ini. Maraknya kasus korupsi, tidak efektifnya pemerintah, perilaku
buruk elit politik, tidak adanya calon pemimpin yang sesuai kriteria, dan
seabrek alasan lain membuat rakyat berpaling pada golput.
Menurut saya, kekecewaan semacam ini
wajar. Tetapi yang perlu jadi catatan adalah, apakah golput akan menyelesaikan
masalah? Secara tidak langsung, tidak menggunakan hak
pilih adalah memberikan legitimasi bagi pemenang pemilu yang belum tentu
menyuarakan aspirasi kita. Lebih jauh, golput dapat menimbulkan gonjang-ganjing politik hingga mengancam persatuan
nasional.
Perlu diperhatikan bahwa Indonesia adalah
bangsa yang masih muda dalam pencarian sistem pemerintahan ideal. Sepatutnya
kita menyadari bahwa dalam proses pencarian itu akan ada trial and error.
Amerika Serikat saja pernah mengalami perang saudara sebelum menjadi negara super
power. Yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah solusi berwujud peran
aktif, bukan sikap apatis.
Kita harus optimis masalah demi
masalah dapat diselesaikan dengan sikap politik yang aktif, cerdas dan tepat.
Bukankah korupsi, efektifitas pemerintah, perilaku elit, dapat ditanggulangi
dengan memilih wakil dengan integritas baik. Pula, bila masalahnya adalah
ketidaktersediaan calon yang dibutuhkan masyarakat, mengapa tidak memantaskan
diri menjadi wakil rakyat?
Tidak menggunakan hak suara, seperti menggunakannya, adalah opsi.
Tetapi setiap pilihan memiliki konsekuensi, dan golput dapat membawa akibat
yang amat buruk. Dalam khazanah keislaman, para salaf menggunakan istilah
“setan bisu” untuk mereka yang diam dari kebenaran. Bagi saya, golput termasuk
golongan itu. Bukankah dalam demokrasi, setiap individu dijamin kebebasan
menyuarakan kebenaran? Bahkan kebenaran versi apa saja.
0 komentar:
Posting Komentar