“ Dari yang saya baca, tulisan kalian kebanyakan tentang past.” Begitu kata salah seorang staff KBRI mengenai tulisan-tulisan masisir.
Ada tiga macam manusia berdasarkan pola pikirnya. Past-minded, present-minded, dan future-minded. Orang-orang past-minded berkutat pada masalah-masalah masa lampau, mencari titik salah dan perbedaan, tapi mandeg dalam soal solusi. Manusia-manusia present minded sudah berkembang lebih baik menuju pengetahuan tentang kondisi terkini yang mumpuni. Tapi yang lebih baik tentu saja mereka yang future-minded, orang-orang berhaluan masa depan ini tidak hanya berorientasikan dengan rencana-rencana hebat tentang masa depan, mereka juga sebenarnya menguasai bidang past serta present. Yang membedakan adalah mereka, para future-minded, lebih terfokus kepada solusi daripada berkutat dalam masalah.
Pola pikir terbelakang memang selalu menjadi penghambat utama kemajuan seseorang atau komunitas. Dan dari pergerakan masisir, sepertinya kita harus khawatir dengan diri kita sendiri karena ciri-ciri past-minded terlalu banyak terlihat.
Contoh mudah, dari ribuan alumni Masisir sejak berpuluh-puluh tahun lalu telah pulang ke Indonesia, baru resmi tahun 2010 ada ikatan resmi alumni Al Azhar untuk saling bersinergi. Bandingkan dengan lulusan-lulusan barat yang bahkan sudah melakukan banyak program demi perbaikan Indonesia dengan cara yang mereka anggap benar, bahkan dengan jebolan universitas tanah airpun kita kalah langkah. Misalkan Harvard dengan Sri Mulyaninya. Yang lain, sebut saja ITB dengan para teknokratnya, satu nama dari komunitas ini adalah Aburizal Bakrie.
Sementara ini kita hanya bisa mengeluh geram menyaksikan kasus century yang tak kunjung usai, atau masalah lumpur Lapindo yang tak pernah jelas. Tapi dari semua itu, kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa gerakan-gerakan politik, sosial dan ekonomi tanah air ( bahkan semua sisi kehidupan ) memang sudah berjalan sesuai conscience benar salah orang-orang yang bergerak lebih terorganisir. Salah satu pepatah yang kita kenal di dunia bahasa arab ini juga menegaskan hal itu.
Al haqqu bila nidzomin yaghlibuhu al bathil binodzomin
Kebenaran tanpa organisasi yang baik akan dikalahkan dengan kebatilan yang lebih terorganisir.
Contoh lain, ketika Mesir sedang kalut di tengah Revolusi, banyak dari kita yang gelagapan minta evakuasi. Dengan dramatisnya membesarkan kejadian-kejadian sehingga seolah-olah sudah amat kritis. Benar kata bapak A.M. Fakhir, Dubes periode lalu, saat menghadapi evakuasi. Redaksinya kurang lebih begini;
“ Disaat-saat kritis seharusnya kita tetap tenang dan bersikap dewasa. Jangan malah panik sehingga menimbulkan masalah baru.”
Ya, sepertinya otak kita terlalu terforsir pada masalah sehingga kehilangan fokus pada solusi. Karena itu, adalah lebih baik bagi kita untuk mulai merubah hal-hal kecil seperti itu karena ternyata itulah penyebab mendasar atas stagnasi pergerakan kita.
Merubah pola pikir tak melulu soal teori rumit yang mengharuskan kajian ilmiah. Sebenanya simple, hanya diperlukan kerelaan kita untuk lebih sabar, sabar yang aktif. Sabar dalam menghadapi tekanan akibat masalah yang datang, sabar untuk bertahan dalam kesulitan, dan yang paling penting adalah sabar untuk terus berjuang mencari solusi dari masalah dan mengusahakannya.
Selasa, 14 Februari 2012
Selasa, 07 Februari 2012
Masa Muda
Hari kemarin pertama kalinya aku berkesempatan memegang bukuku. Buku itu baru sampai ke tanganku setelah seorang temanku menitipkan kepada santri yang Study Tour ke Mesir. Ada banyak kekecewaan mengetahui hasil kerja kerasku selama ini hanya sebuah buku tipis. Apalagi mendengar seorang teman berkomentar mengenai ini; buku alay ! Dan tak usah membicarakan berapa keuntungan dari buku itu sekarang. Karena aku menerbitkannya indie, dengan uang orang tua. Jangankan royalty, untuk menutup modal yang kukeluarkanpun masih jauh. Ongkos ngubek-ngubek Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, serta akomodasi-akomodasi lain masih terlalu tinggi untuk ditutupi. Bahkan aku tak mendapatkan uang yang cukup sebagai biaya print out dan fotokopi tulisanku untuk disebarkan ke penerbit-penerbit.
Begitulah, akan ada banyak kegagalan dan kekecewaan dalam hidup.
Lalu tadi pagi, aku chatting dengan kawan lama. Obrolan dengannya sedikit banyak memotivasi diriku. Dia menceritakan tentang bisnisnya yang sudah dia rintis dua tahun belakangan. Bisnisnya sederhana saja, boneka.
“ Alhamdulillah jalan.” Jawabnya ketika aku tanya bagaimana prospeknya. Mungkin dia sudah mendapatkan keuntungan, tapi dari jawabannya aku yakin semua itu masih jauh dari cukup.
“ Beginilah bro, masa-masa sekarang ini memang masa-masa gagal, masa-masa jatuh bangun, masa-masa kecewa.” Komentarku.
Ya, masa-masa sekarang, masa muda kita adalah saat untuk itu semua. Sekaranglah waktu kita untuk mencoba dan gagal lalu mencoba lagi. Inilah waktunya untuk jatuh lalu belajar bagaimana untuk bangun. Masa muda adalah saat-saat kita kecewa dan belajar membesarkan hati kita menghadapinya.
Karena sekarang atau nanti, kita harus mencoba. Dan kalau kita tidak segera mencobanya sekarang, kita harus mencobanya nanti dengan melewati proses yang sama. Sekarang atau nanti, kita akan gagal, maka alangkah lebih mudahnya bila kita gagal sekarang, karena belum terlalu banyak resiko yang dipertaruhkan dan belum terlalu banyak tanggungjawab. Sekarang atau nanti kita harus bersikap dewasa, dan tak ada ruginya berlatih dewasa dari sekarang. Terkadang kita terlalu takut untuk menjadi bijaksana karena merasa belum waktunya. Kita berpikir inilah masa muda yang harus dinikmati. Seperti akan ada yang hilang dari kebahagiaan kita jika kita bersikap bijak. Padahal sebaliknya, kita akan lebih bahagia dan lebih menikmati hidup jika kita bijaksana. Karena sekarang atau nanti kita tetap harus sukses, mari kita mulai prosesnya dari sekarang.
Begitulah, akan ada banyak kegagalan dan kekecewaan dalam hidup.
Lalu tadi pagi, aku chatting dengan kawan lama. Obrolan dengannya sedikit banyak memotivasi diriku. Dia menceritakan tentang bisnisnya yang sudah dia rintis dua tahun belakangan. Bisnisnya sederhana saja, boneka.
“ Alhamdulillah jalan.” Jawabnya ketika aku tanya bagaimana prospeknya. Mungkin dia sudah mendapatkan keuntungan, tapi dari jawabannya aku yakin semua itu masih jauh dari cukup.
“ Beginilah bro, masa-masa sekarang ini memang masa-masa gagal, masa-masa jatuh bangun, masa-masa kecewa.” Komentarku.
Ya, masa-masa sekarang, masa muda kita adalah saat untuk itu semua. Sekaranglah waktu kita untuk mencoba dan gagal lalu mencoba lagi. Inilah waktunya untuk jatuh lalu belajar bagaimana untuk bangun. Masa muda adalah saat-saat kita kecewa dan belajar membesarkan hati kita menghadapinya.
Karena sekarang atau nanti, kita harus mencoba. Dan kalau kita tidak segera mencobanya sekarang, kita harus mencobanya nanti dengan melewati proses yang sama. Sekarang atau nanti, kita akan gagal, maka alangkah lebih mudahnya bila kita gagal sekarang, karena belum terlalu banyak resiko yang dipertaruhkan dan belum terlalu banyak tanggungjawab. Sekarang atau nanti kita harus bersikap dewasa, dan tak ada ruginya berlatih dewasa dari sekarang. Terkadang kita terlalu takut untuk menjadi bijaksana karena merasa belum waktunya. Kita berpikir inilah masa muda yang harus dinikmati. Seperti akan ada yang hilang dari kebahagiaan kita jika kita bersikap bijak. Padahal sebaliknya, kita akan lebih bahagia dan lebih menikmati hidup jika kita bijaksana. Karena sekarang atau nanti kita tetap harus sukses, mari kita mulai prosesnya dari sekarang.
Persinggahan Mimpi
Mungkin aku belum mencapai titik kematangan seperti yang selalu aku impikan akan seorang aku. Prestasi akademisku tak selalu nomor satu, harus aku akui fakta bahwa selalu ada orang-orang yang lebih cerdas dariku. Intelektualitasku juga tak bisa terlalu aku andalkan, terlalu banyak momen dimana aku terlihat seperti orang bodoh. Beberapa targetkupun meleset dari yang seharusnya. Tak ada tanah bersalju eropa yang kunantikan dinginnya. Tanpa weekend ke menara Eiffel lalu berfoto ria disana, atau tidak juga melenggang bersama backpack untuk tidur di taman kota Madrid kala musim panas datang.
Sebenarnya duniaku sekarang adalah alam aneh di khayalan kanak-kanakku. Tak pernah terbersitpun di imajinasi masa kecilku akan berkutat dengan ayat-ayat Tuhan. Mempelajari kasus-kasus theologis serta hukum positif religi. Dahulu di otakku hal-hal seperti ini seperti ditakdirkan untuk lelaki-lelaki shalih bersorban macam pak Saliman. Walaupun aku pandai membaca Al- Qur’an dan tak pernah dapat nilai kurang dari 8 di pelajaran Agama waktu SD, tapi alam ide ku sudah lebih dulu familiar dengan Sir Isaac Newton, Albert Einstein, Thomas Alva Edison, serta yang paling gampang diingat adalah sang penemu telpon Alexander Graham Bell.
Dari kecil aku sudah sadar bahwa duniaku akan lebih luas dari rumah panggung kayu beratap seng. Dengan sumur timba di belakangnya yang airnya hanya dipakai untuk minum dan memasak jika musim kemarau tiba. Sementara untuk mandi, harus naik turun bukit menuju sungai. Aku tahu bahwa jalananku kelak bukan hanya jalanan koral bersiram aspal tipis yang akan membuat telapak kaki melepuh saat harus berlari. Bukan pula tanah lempung di kebun-kebun yang licin minta ampun jika hujan mengguyur. Kaki-kaki jenjangku akan menapak jalanan yang lebar, berlajur-lajur, penuh dengan kendaraan bermotor. Suatu saat yang dekat di masa depan. Aku sendiri tak tahu mengapa aku begitu imajinatoris dan merasa seolah-olah mimpi adalah esok hari saja, sangat dekat dan tinggal menunggu matahari terbit. Sepertinya baru kemarin aku menyusuri jalanan becek london dengan menggenakan topi koboy dan jas setinggi lutut, dan esok aku akan kesana lagi.
Tapi, sama sekali bukan menara-menara masjid Kairo yang berseliweran di otakku. Bukan teks teks berbahasa arab yang waktu itu nampak di terawangan persepsiku tentang buku-buku di meja belajarku. Dulu, aku mengkhayal diriku adalah professor fisika yang meneliti tumbuh kembang kosmos serta teori-teori astronomi. Bintang-bintang dan galaxy baru, atau meneliti besarnya gaya pada titik pusat black hole.
Dan ketika Tuhan menghantarkanku kesini, aku sadar bahwa inilah jalanku. Ini adalah persinggahan mimpiku. Aku harus melewati proses ini meskipun mimpi-mimpiku yang dulu belum pudar seutuhnya. Aku harus tetap menjadi seperti impianku, seorang professor fisika. Yang di alam nyata ternyata lebih hebat karena menguasai dalil dalil Qur’an dan sunnah. Memahami qodhoya-qodhoya Kalam yang membuat penelitian ilmiahku nanti punya orientasi suci, untuk mengesakan Allah.
Ternyata Allah memberikan kenyataan yang jauh lebih liar dari imajinasi kita. Dan sungguh Allah maha besar karena rahmatnya pula dia memuliakanku dengan menjadikanku sebagai seorang yang mutafaqqih fiddin. Karena bila Allah menginginkan kebaikan pada seseorang, maka Dia akan menjadikannya intelek dalam hal agama. Begitu kata hadist.
Maka kini, segala apapun yang ada pada diriku tak akan kusesali. Karena Tuhan punya rencana tak teraba tentang diri kita. Dan yang kita perlukan hanyalah mengikuti skenarionya, melakukan yang terbaik.
Sebenarnya duniaku sekarang adalah alam aneh di khayalan kanak-kanakku. Tak pernah terbersitpun di imajinasi masa kecilku akan berkutat dengan ayat-ayat Tuhan. Mempelajari kasus-kasus theologis serta hukum positif religi. Dahulu di otakku hal-hal seperti ini seperti ditakdirkan untuk lelaki-lelaki shalih bersorban macam pak Saliman. Walaupun aku pandai membaca Al- Qur’an dan tak pernah dapat nilai kurang dari 8 di pelajaran Agama waktu SD, tapi alam ide ku sudah lebih dulu familiar dengan Sir Isaac Newton, Albert Einstein, Thomas Alva Edison, serta yang paling gampang diingat adalah sang penemu telpon Alexander Graham Bell.
Dari kecil aku sudah sadar bahwa duniaku akan lebih luas dari rumah panggung kayu beratap seng. Dengan sumur timba di belakangnya yang airnya hanya dipakai untuk minum dan memasak jika musim kemarau tiba. Sementara untuk mandi, harus naik turun bukit menuju sungai. Aku tahu bahwa jalananku kelak bukan hanya jalanan koral bersiram aspal tipis yang akan membuat telapak kaki melepuh saat harus berlari. Bukan pula tanah lempung di kebun-kebun yang licin minta ampun jika hujan mengguyur. Kaki-kaki jenjangku akan menapak jalanan yang lebar, berlajur-lajur, penuh dengan kendaraan bermotor. Suatu saat yang dekat di masa depan. Aku sendiri tak tahu mengapa aku begitu imajinatoris dan merasa seolah-olah mimpi adalah esok hari saja, sangat dekat dan tinggal menunggu matahari terbit. Sepertinya baru kemarin aku menyusuri jalanan becek london dengan menggenakan topi koboy dan jas setinggi lutut, dan esok aku akan kesana lagi.
Tapi, sama sekali bukan menara-menara masjid Kairo yang berseliweran di otakku. Bukan teks teks berbahasa arab yang waktu itu nampak di terawangan persepsiku tentang buku-buku di meja belajarku. Dulu, aku mengkhayal diriku adalah professor fisika yang meneliti tumbuh kembang kosmos serta teori-teori astronomi. Bintang-bintang dan galaxy baru, atau meneliti besarnya gaya pada titik pusat black hole.
Dan ketika Tuhan menghantarkanku kesini, aku sadar bahwa inilah jalanku. Ini adalah persinggahan mimpiku. Aku harus melewati proses ini meskipun mimpi-mimpiku yang dulu belum pudar seutuhnya. Aku harus tetap menjadi seperti impianku, seorang professor fisika. Yang di alam nyata ternyata lebih hebat karena menguasai dalil dalil Qur’an dan sunnah. Memahami qodhoya-qodhoya Kalam yang membuat penelitian ilmiahku nanti punya orientasi suci, untuk mengesakan Allah.
Ternyata Allah memberikan kenyataan yang jauh lebih liar dari imajinasi kita. Dan sungguh Allah maha besar karena rahmatnya pula dia memuliakanku dengan menjadikanku sebagai seorang yang mutafaqqih fiddin. Karena bila Allah menginginkan kebaikan pada seseorang, maka Dia akan menjadikannya intelek dalam hal agama. Begitu kata hadist.
Maka kini, segala apapun yang ada pada diriku tak akan kusesali. Karena Tuhan punya rencana tak teraba tentang diri kita. Dan yang kita perlukan hanyalah mengikuti skenarionya, melakukan yang terbaik.