Jika orang ramai mengatakan
terorisme bukan agama, saya setuju. Agama mana pun tak pernah menganjurkan kekerasan,
melainkan perdamaian dan harmoni. Tapi bahwa pelaku terorisme itu menjadikan
agama sebagai justifikasi, kita tidak bisa menolak fakta itu. Lantas, bagaimana?
Tak sedikit orang yang menyalahkan
agama atas fakta itu. Pada masa ketika manusia telah membangun peradaban yang
luar biasa seperti saat ini, agama tak lagi diperlukan. Salman Rusydie bilang
agama adalah produk abad pertengahan yang memang sudah waktunya ditinggalkan.
Pandangan macam ini tak melulu
bersandar pada rasionalisme. Dalam novel Rusydie kita temukan fantasi-fantasi
yang sama sekali bukan ciri rasionalisme modern. Posmodernisme memberi tempat
emosi, hasrat, spiritualitas dan sisi-sisi kemanusiaan lain. Tetapi, tidak
untuk agama.
Agama dianaktirikan karena telah memiliki citra buruk,
otoriter. Apa yang dapat kita ingat dari sejarah kemanusiaan adalah peradaban
agama, yang telah kita kuak cacatnya dan karena itu harus ditolak. Kita tak
punya ingatan tentang peradaban sebelumnya.
Kita tak pernah tahu bagaimana buruknya peradaban yang
mengagungkan hasrat. Kita mengutuk komunalisme tanpa punya data bagaimana
nahasnya peradaban individualis. Pengetahuan kita tentang hal itu tertutup
lapisan-lapisan tanah yang menguruk fosil-fosil yang kita sebut “pra-sejarah”.
Kita merasa peradaban bergerak maju. Tapi kata Focault
tidak, yang bergerak hanya pola-polanya saja. Manusia merasa melaju dengan
akalnya hanya untuk menemukan bahwa sekarang kita kembali pada hasrat, fantasi,
kegilaan, ketidaktahuan. Tidakkah kita merasa mundur?
Tentang terorisme, kita harus adil. Terorisme adalah produk
peradaban kita dan bukan salah agama. Ia adalah letupan yang muncul dari
ketidakmampuan kita mewujudkan keadilan. Ia adalah rasa frustasi dari diri kita
atas kegagalan kita menebarkan harmoni. Bagaimana mungkin orang diam saja ketika
pesawat tanpa awak membunuhi orang tak berdosa? Ketika Amerika masuk ke Irak
dengan alasan yang dibuat-buat dan membangun demokrasi dengan tumpukan nyawa,
kita tahu ada yang tak beres dengan kebijakan dunia.
Barangkali juga, para teroris memang merasa nyaman dengan “agama”
yang menyajikan kedamaian dalam komunalismenya, sementara masyarakat kita tiada
lagi menghargai kebersamaan.
Ada banyak hal yang perlu ditilik kembali dari peradaban
kita.
0 komentar:
Posting Komentar