RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Rabu, 26 September 2012

Alasan


Aku mengerti sepenuhnya jika  terkadang (bahkan sering) aku memang terlalu banyak omong besar. Jika aku memberikan orang kesempatan untuk memberikan masukan,  mungkin banyak orang akan menganjurkan aku untuk mengurangi semua itu. Karena menurut mereka, polahku yang demikian justru bisa mempersulit diriku sendiri. Aku tahu, terkadang aku terlalu idealis. Dan logikanya, terlalu idealis itu utopis dan tidak realistis.

Kehidupan yang aku khayalkan mungkin terlalu utopis dan lebai bagi banyak orang. Aku ingin kehidupan yang besar dan penting. Aku ingin eksistensiku di dunia ini memainkan peran penting bagi dunia dan umat manusia. Aku tak mau menjalani sekedar perang pendukung. Seperti biasa, visi besar selalu mengundang reaksi pesimistis.

Nada-nada pesimis memang selalu mengiringi ritme perjalanan hidup. Tapi dalam hidup ini, kita memiliki banyak sekali  alasan untuk terus maju. Alasan-alasan itu adalah apa yang pernah terjadi dalam hidup kita dan yang sangat berkesan dalam. Kita bisa mejadikannya alasan untuk terus berjuang di samping alasan utama hidup ini, menggapai ridha Allah semata. Dan, diantara banyak alasan itu kita bisa memilih beberapa yang patut dijadikan alasan istimewa.

Alasan pertama bagiku adalah karena aku adalah seseorang yang istimewa di mata ibuku. Ibuku selalu memperlakukanku layaknya anak raja. Semua inginku selalu diturutinya sebisanya. Anehnya, Ibu juga tak pernah menuntut banyak hal dari diriku. Saat para orang tua menuntut anaknya berprestasi tinggi, beliau hanya bilang: belajarlah sewajarnya saja! Beliau cuma ingin agar aku menjadi diriku, apa adanya.

Tapi, perlakuan beliau yang bisa dibilang memanjakan itu justru membuatku berazzam, “Aku harus membuktikan bahwa aku memang istimewa”.

Alasan selanjutnya adalah karena guru mengajiku, Pak Saliman, pernah bilang: “Anak ini bisa bersaing.”

Ya, kata-kata itu selalu ku kenang. Kata-kata itu yang membuatku yakin bisa lolos ke Gontor 1, meski sainganku di Gontor 2 adalah 2000an capel, yang berasal dari sekolah-sekolah berkualitas di kota-kota besar. Sementara aku, hanya lulusan sebuah sekolah dasar yang keberadaannya sekedar formalitas di pelosok Sumatra.

Kata-kata Pak Saliman pula yang membuatku yakin bisa naik kelas meski duduk di kelas 1G (kelas ketiga paling bawah) di Gontor dulu. Akhirnya, aku malah langsung naik kelas tiga karena nilaiku di kelas satu sangat tinggi.

Alasan berikutnya adalah egoisme dan egosentrisku. Ya, karena aku terlahir bukan sebagai anak raja, bukan pula ahli waris orang kaya. Aku bukan keturunan orang penting, bukan juga putra ulama. Maka setidaknya, aku harus berbuat sesuatu yang berharga.

Sebenarnya sangat sederhana untuk menjadi orang penting dan mulia dalam hidup ini, kita hanya perlu memiliki orientasi yang mulia. Semakin mulia visi kita, semakin penting dan mulia hidup kita.

Alasan lain adalah tentang seorang sahabat. Dia yang begitu tidak beruntungnya dalam kehidupan ini. Dia yang semua kesulitannya membuat aku malu jika memutuskan berhenti. I promise I will never turn back, buddy! See you at the top!

Alasan selanjutnya, emm, oia, perkataan seseorang. Seseorang pernah mengatakan: “Antum itu orang hebat, Akh. Antum harus terus maju.”

Well, itulah sebagian alasan-alasanku. Itu semua yang membuatku selalu mengusir jauh-jauh rasa bimbang, mengubur dalam-dalam rasa ragu. Itu yang membuatku merangkai kata-kata penyemangat daripada menuliskan keluh kesahku. Itu semua yang membuatku lebih memilih untuk terus berjuang dari pada berhenti.

Lakon Penting

Dahulu sekali, saat kita belum terlahir di dunia ini, saat kita belum berbentuk sempurna, kita sudah mengucap sumpah di hadapan Tuhan. Waktu itu, kita masih berada dalam rahim ibunda, dan ruh pun baru akan ditiupkan. Sumpah itu adalah tentang kesiapan kita menjadi manusia. Sumpah itu mengenai kesombongan kita menerima sebuah amanah berat, menjadi pemimpin di muka bumi ini.

Aku bilang kita –manusia- sombong karena menerima amanah itu, mengapa? Karena malaikat yang konon makhluk suci saja tak punya nyali untuk mengatakan “iya” pada tawaran sulit ini. Mereka –para malaikat- adalah makhluk yang sudah membuktikan mampu mengemban semua amanah mereka selama ini tanpa cacat, tapi untuk tawaran ini, malaikat tahu diri. Nah, kita, manusia yang punya nafsu setan, berani-beraninya ambil resiko ini? Tapi, semuanya memang sudah tersurat demikian.

Sumpah itu, kebersediaan kita memegang amanah itu, sudah terucap. Dan sekarang kita sedang menjalaninya dalam kehidupan ini. Tapi, tak ada satu orang pun tahu seperti apa detailnya sumpah yang telah kita ucap. Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai bentuk tanggungjawabnya?

Tanggungjawab itu, Kawan, adalah tentang bagaimana membuat dunia yang lebih baik. How to make a better world. Dengan modal yang telah dianugrahkan dalam diri kita – panca indra, akal, bakat, dll- Tuhan ingin melihat apa yang bisa kita lakukan di kehidupan ini. Tuhan ingin kita menjalankan sebuah lakon dalam skenario besar milik-Nya.

Lakon itu, Kawan, demokratisnya, bisa kita pilih dengan suka-suka (mungkin itu rahasia Tuhan membuat kita “amnesia” setelah bersumpah, agar kita bebas memilih peran masing-masing semaunya). Anda boleh memilih menjadi tokoh protagonis dalam sandiwara besar ini atau sebaliknya, menjadi sang antagonis yang dibenci. Bukan itu saja, Anda juga boleh memilih untuk menjadi salah satu dari aktor utama sinema akbar ini atau lebih suka sekedar pemeran pembantu. Fantastisnya, Anda bahkan boleh memilih “gaji” yang akan anda dapatkan setelah pentas. Mau surga atau neraka?

Lihatlah, atas semua kemurahan hati Tuhan pada hamba-Nya, betapa Tuhan begitu baik hatinya pada kita sekalian!

Lalu, mengapa masih saja ada orang yang memilih menjadi pelengkap berjalannya dunia daripada menjadi penggerak utamanya? Mengapa masih ada orang yang berpikiran sempit dan memilih hidup ala kadarnya? Bukankah kesempatan sudah Tuhan buka selebar-lebarnya? Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau hendak sangsikan?

Aku tahu, karena aku sudah menemukan dengan mata kepalaku, bahwa segelintir orang berkata: “kita sudah tertakdir menjadi pelengkap, dan sebagian orang telah tercipta menjadi penggerak.”

Hei, bukankah semuanya juga telah ditentukan. Sudah tertulis di buku-Nya sana apakah aku di surga atau kau di neraka. Tapi sekarang, siapa yang tahu? Dia begitu pemurah untuk tidak membocorkan sedikitpun suratan takdir milik-Nya. Kita masih bisa memilih, Kawan.

Dan bukankah perkataan itu sama dengan perkataan seorang pencuri: “aku sudah ditakdirkan menjadi pencuri?” Kita semua tahu, Kawan, perkataan seperti itu tak bisa dikemukakan di hadapan-Nya. Wa huwa la yus’alu ‘amma yaf’al fahum yus’alun.

Karena itu, marilah kita memilih takdir kita ditulis oleh apa yang telah Tuhan anugrahkan dalam diri kita –potensi-, bukan membiarkannya rusak karena membiarkan alam, orang lain dan keadaannya mendiktenya. Mari kita berdecak kagum dengan ini, kehebatan kita, potensi kita. Karena ini adalah juga sebagian dari kebesaran yang Tuhan anugrahkan pada kita. Bukan cuma berdecak kagum dengan kebesaran Tuhan yang ada di sekeliling kita.

Mari, Kawan, bersama-sama kita kita memilih kehidupan yang besar lagi penting, hidup yang mulia serta berpengaruh. Karena itu juga yang Tuhan inginkan dari eksistensi kita di dunia ini.

God calls on us to shape our uncertain destiny (Obama)

Wanita Cantik


Sebetulnya, aku tak bermaksud menulis tentang ini. Hanya saja, ketika membaca tulisan seorang kawan dengan tema yang “menarik” ini, tiba-tiba aku tak bisa melawan godaan untuk menulisnya. Kebetulan ada faktor pendukung lain, suasana hatiku memang sedang merona merah belakangan. Jika wajah bisa merona merah darah saat malu, maka hati bisa merona merah muda kapan saja ketika asmara datang menyapa, hehe.

Bila harus diwujudkan dalam bentuk permisalan, mungkin hati ini layaknya air muka anak baru gede kemarin sore ketahuan gurunya menuliskan surat cinta, lalu diberdirikan di lapangan untuk membacakan isi surat yang amat pribadi itu lantang-lantang. Lihatlah! bagaimana kalutnya emosi sang remaja ketika euforia terhebatnya harus direcoki dengan malu, marah, kesal sekaligus takut. Begitulah ibaratnya.

Mari kembali pada laptop, eh salah, wanita cantik, hehe.

Dalam pengembaraan hidup, aku sudah banyak bertemu dengan wanita cantik. Mereka –para wanita- memang diciptakan dengan keindahan. Every woman has her own beauty. Ya, setiap wanita memiliki kecantikannya masing-masing. Kecantikan itu terletak dalam titik-titik berbeda dalam setiap wanita. Ada yang berupa pesona fisik, kecemerlangan ide, keanggunan pribadi, keunikan karakter, dlsb.

Perkara-perkara di atas bagiku termasuk kriteria “cantik”. Cantik –dalam otakku- sudah tidak lagi sekedar bermakna ortodoks, yaitu semua karakterisktik rupa seperti kulit putih, hidung mancung, bulu mata lentik, atau lainnya. Cantik dengan definisi paling akhir menurutku hanyalah dimensi terendah sebuah kecantikan, dimensi fisik. Sementara sebuah kecantikan –masih menurutku- memiliki dua dimensi lagi, intelektual dan emosional.

(Karena kecantikan adalah relatif, tentunya apa yang aku ungkapkan di sini adalah cantik dari sudut pandang subyektif seorang aku. Anda boleh-boleh saja tak sepakat dengan kriteriaku.Tapi jika Anda setuju, mari kita bersulang untuk itu! hehe.)

Kecantikan intelektual adalah bagaimana seorang wanita mampu mempesona dengan otaknya. Tapi, pesona intelektual itu bukan sekedar luasnya pengetahuan. Wanita akan terlihat cantik karena otaknya apabila keluasan wawasan juga didukung dengan orientasi kreatif dan jelas, namun tetap dalam koridor kewanitaan. Adalah penting bagi laki-laki untuk memiliki wanita yang tetap berorientasikan kewanitaan. Para lelaki menginginkan ibu untuk anak-anak mereka, pelengkap mereka, bukan rival yang selalu adu argumen dalam kehidupan berumah tangga.

Dimensi selanjutnya adalah kecantikan emosional. Dimensi ini bukan sekedar sikap murah hati, murah senyum dan rajin menabung (emangnya dasa darma, hehe). Tapi lebih pada sifat-sifat emosional yang mencerminkan kewanitaan. Bagaimana seorang wanita legowo atau memiliki jiwa besar, sabar dan tidak mudah begitu saja mengikuti perasaan dan yang lain coba tanya pada para wanita, karena merekalebih mengerti, hehe. Oia, dimensi emosional juga meliputi ranah spiritualitas. Meski dalam banyak versi sering dibedakan antara EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient), tapi aku lebih suka menggabungkannya. Karena berdasarkan penjelasan psikologis, ternyata spiritualitas termasuk kecerdasan intrapersonal yang bersama interpersonal membangun kecerdasan emosional secara komprehensif.

Demikianlah kriteria wanita cantik menurutku, hehe. Dari masing-masing dimensi ada kredit poin tersendiri. Dimensi pertama (fisik) memiliki kredit poin terendah, sementara dimensi kedua (intelektual) dan ketiga (emosional) berkredit poin seimbang sekaligus lebih tinggi dari dimensi pertama. Wanita yang cantik secara fisik saja belum bisa dijadikan prioritas untuk menjadi pasangan hidup. Karena jika kecantikan fisik yang dicari, sebentar kemudian Anda akan menyadari bahwa ada rumput tetangga yang lebih hijau.

Tidak mudah memang menjadi sosok yang ideal. Tapi aku menulis ini bukan untuk meminta wanita menjadi sempurna, namun lebih pada untuk membangun kesadaran bersama bahwa ada nilai kecantikan yang tidak melulu bersandar pada fisik.

Mengenai bagaimana menjadi pribadi yang diharapkan? Aku percaya setiap wanita memiliki rumus tersendiri. Mereka mengerti sepenuhnya bagaimana harus bertindak dan bersikap. Karena, ya, salah satunya itu tadi, mereka memiliki keindahannya masing-masing. Selain itu karena mereka telah dianugerahi Tuhan perasaan yang lebih lembut sehingga lebih peka bagaimana menjadi cantik. Tentunya mereka yang cerdas tidak hanya akan mengekplorasi kecantikan fisikal, namun juga mengerti bagaimana menjadi cantik secara intelektual dan emosional.

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholihah” (al-Hadits)