Ada yang menggoda saya kepada sufisme, tapi sulit jelaskan apa. Seperti mencintai seorang kekasih, mungkin Anda dapat mendeskripsikan alasannya: kecantikan, kecerdasan, sikap baik, dll. Tapi saya yakin, Anda mencintainya lantaran sesuatu yang lebih dalam dan bernuansa dari itu. Semacam sublim-nya Immanuel Kant. Sublim adalah indah tapi ia bukan keindahan, ialah “pesona yang luar biasa”.
“Pesona” pula yang membuat saya menjadi pemerhati sufisme. Saya tak mengaku seorang sufi karena saya tidak (baca: belum) terikat tarekat mana pun. Tetapi pengalaman-pengalaman sufistik yang unik selalu menggelitik saya untuk terjun menyelaminya. Barangkali saya berada dalam maqam paling rendah, untuk bertaubat pun belum mampu, tetapi terkadang di hati ini timbul rasa takut, penasaran, ketenangan, keriangan, kekalutan, dan pelbagai perasaan campur aduk yang anehnya seperti bergerak bersama dan menjadi semacam magnet yang semakin menarik saya terus mendekat.
Barangkali, ini yang disebut Rumi sebagai Isyq (kerinduan): daya adikodrati yang menggerakkan alam menuju yang dirindukan (al-Ma’syuq), yaitu Sang Pencipta. Menurut Rumi, alam raya ini bergerak dalam suatu proses evolutif menuju kesempurnaan. Tetapi, berbeda dengan Darwin, yang memilah yang baik dari yang buruk, yang mampu bertahan dari yang tersisih, bukan suatu konsep aneh bernama seleksi alam yang tak jelas muasal dan tujuannya, ia adalah Isyq, kerinduan makhluk kepada khaliqnya.
Mengapa musti sufisme? Seorang kawan bertanya.
Sebenarnya tidak harus sufisme, Anda bisa mendapatkan kebahagiaan atau ketenangan di mana-mana. Orang-orang pergi naik gunung dan di sana mereka mendapatkan saat penyingkapan jati diri atau merasakan keberadaan diri yang selama ini terasing. Ada teman satu kosan bercerita kawannya yang ateis kembali beriman dari pendakian-pendakian itu. Sastrawan menemukan kebahagiaan paripurna dalam menulis. Para pembaca puisi dan penyanyi mungkin merasakan “trance” dalam atraksinya. Bahkan ada seorang intelektual Islam yang lumayan terkenal bilang menemukan Tuhan dari arena golf.
Tapi sufisme menawarkan yang lebih dari itu. Ia tidak dimulai dari tawaran untuk meraih pengalaman bahagia yang egosentris, tetapi justru dari hal-ihwal praktis yang menjadikan kita manusia: memperbaiki diri. Sufisme adalah undakan keriangan yang harus dimulai dari anak tangga terbawah, tindakan-tindakan penyucian diri yang membuat kita membumi.
Di zaman kaburnya realitas ini, banyak orang mengklaim menemukan kebenaran (bahkan Tuhan) dengan cara yang absurd: menari, menyanyi, mabuk, berfantasi, dan kegilaan-kegilaan lain. Barangkali mereka memang menemukannya, saya tidak tahu. Tetapi jika pendedahan hakikat itu dinodai kemudian dengan sikap yang angkuh: menjelek-jelekkan agama, menyatakan ritual religi sebagai kewajiban untuk orang-orang awam bodoh, ada yang perlu diragukan dari klaim-klaim mereka. Setan mampu menggugurkan kewalian seribu orang alim dengan tipu dayanya, apalagi orang-orang yang sehari-harinya tertipu iklan, berita situs abal-abal dan pencitraan tokoh politik.