Kalian tentu pernah mendengar
kisah Nabi Musa As dengan Nabi Khidhr bukan? Untuk lebih jelasnya, cerita
mengenai perjalanan mereka berdua ini terpapar dalam Al Qur’an surat Al Kahfi ayat 65-82.
Dalam kisah ini diceritakan bahwa
Musa As selalu memprotes setiap perbuatan Khidhr, karena tidak sesuai dengan “logika”nya
tentang bagaimana seharusnya semua itu terjadi. Musa tak habis pikir bagaimana
bisa seorang nabiyyullah Khidhr melubangi perahu yang mereka tunggangi. Khidir
juga kemudian membunuh anak yang masih muda belia. Dan terakhir, masalah yang
membuat keduanya berpisah, Musa mempertanyakan perbuatan Khidir membangun kembali
dinding rumah yang hampir roboh di sebuah desa, padahal penduduknya bahkan menolak
menjamu mereka. Akhirnya, kebersamaan Musa dan Khidir harus berakhir karena
Musa tidak bisa berdamai dengan rasa penasarannya.
Apakah pelajaran yang bisa kita
ambil dari kisah tersebut?
Manusia, lumrahnya, mempunyai mindset
bermacam-macam dalam memandang sesuatu. Mindset ini adalah refleksi dari
input individual selama tumbuh kembang. Kita tumbuh dalam lingkungan, pengaruh,
kecenderungan, dan pengetahuan yang tak seragam. Karenanyalah setiap insan memiliki
keunikan tersendiri dalam mindset-nya. Perbedaan inilah yang seringkali
menjadi pemicu konflik yang lebih besar. Ini juga yang tersampaikan dari ayat
Qur’an menceritakan perkataan Khidhr:
“Dia berkata : Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Bagaimana kamu bisa
bersabar atas sesuatu, sedangkan kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
hal itu?” (QS. Al-Kahfi, 67-68).
Dalam hidup, seringkali kita
dihadapkan dengan perbuatan orang lain yang menurut kita tidak masuk akal. Lalu
kita menghukumi itu sebagai sesuatu yang negatif, bahkan juga menyikapinya dengan
negatif. Padahal, belum tentu demikian adanya. Bisa jadi, masing-masing kita
benar dengan perspektif yang berbeda. Bisa juga, semuanya salah kaprah. Kalau
sudah demikian, bagaimana seharusnya kita menyikapinya?
Kisah Musa-Khidhr yang tercantum
dalam surat Al-Kahfi tersebut telah mengajarkan bagaimana seharusnya sikap
kita. Musa ‘alaihissalam tidak lekas menghukumi perbuatan Khidhr
meskipun nampak salah. Musa bertanya terlebih dahulu kepada Khidhr apakah
alasan yang membuatnya berbuat demikian.
Dari paragraf diatas dapat kita
ambil kesimpulan bahwa komunikasi antara dua pihak sangat penting untuk
meminimalisir konflik akibat kesalahan persepsi. Masing-masing memaparkan penjelasan
dari sudut pandangnya. Dari sana kemudian disimpulkan masalah sebenarnya dan
solusi bersama. Bukan sekedar komunikasi, tapi juga solusi pemecahan masalah dari
semua pihak dan kebesaran hati pihak yang salah menerima kesalahan. Jangan sampai
setelah konsiliasi tersebut muncul konflik yang lebih besar karena kesombongan.
Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak akan
masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar dzarrah dari kesombongan.”
Salah seorang shahabat lantas bertanya: “Sesungguhnya seseorang senang jika
bajunya bagus dan sandalnya baik?” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah
Dzat yang Maha Indah dan senang dengan keindahan, Al-Kibru (sombong) adalah
menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”(HR Muslim).
Kebesaran
hati juga diperlukan dari pihak yang benar. Karena untuk menyampaikan kebenaran
kepada pihak yang berbeda pendapat diperlukan cara yang baik. Dan kebaikan akan
lebih mudah terwujud jika dilakukan dengan cara yang baik. Ada kalanya
seseorang tetap bersikukuh pada sebuah kesalahan karena pendekatan yang
dilakukan tidak manusiawi. Allah Swt berfirman:
“Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran 159)
Rasulullah
Saw, selaku manusia ideal yang tindak tanduknya menjadi teladan bagi kita semua
telah memberi contoh yang luar biasa dalam masalah ini. Diriwayatkan bahwa Rasulullah
Saw mendapatkan luka pada perang Uhud, para sahabat lantas berkata: Sesungguhnya
Nuh telah berdoa kepada Allah untuk menghukum kaumnya, mengapa Engkau tidak
berdoa kepada Allah untuk hal itu. Rasulullah Saw menjawab, “sesungguhnya Aku
tidak diutus untuk mencela, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan
dan menyebarkan kasih sayang. Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka
tidak mengerti.”
Allahumma
shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa ashhabihi.
0 komentar:
Posting Komentar