Hari itu, perasaanku berdebam.
Paginya, senangku bersayap dan terbang membubung tinggi, menembus langit ke
tujuh. Keringat dingin mengkristalkan getar-getar bahagia dan tegang hatiku.
Kupastikan sudah meminang pujaan hati. Kini, Vita Marshanda, resmi menjadi
istriku.
Sorenya, jantungku macam
tersengat listrik tegangan tinggi. Nenek meninggal tiba-tiba, tanpa sakit. Air
mata yang tadi pagi karena senang gemilang, kini kembali mengucur akibat duka
nestapa.
Aku membawa setangkai mawar, tapi kali ini bukan untuk istriku yang baru kemarin kunikahi. Bunga lambang cinta dan kecantikan itu aku beli tadi di toko bunga samping pemakaman umum “Masa Depan”, untuk kemudian kutancapkan di pusara nenekku.
“Pulang, Mas! Sudah malam!” Vita
menggamit lenganku, mengajakku pulang. Aku rasa bukan egoisme pengantin baru
saja yang mendasari ajakannya itu. Ini memang sudah hampir gelap, matahari
sudah megap-megap di ufuk barat.
“Pulang saja dulu, Dek! Mas masih
ingin di sini. Sekalian jamaah Maghrib dan Isya di masjid dekat sini. Selepas
Isya mas sudah di rumah, ko.” Aku tersenyum, berusaha semanis mungkin. Tapi
kesedihan ditinggal nenek tak bisa dihapuskan begitu saja.
“Gung, hantar mbakmu pulang! Mas
masih ingin di sini,” perintahku pada Agung yang disuruh Bapak Ibu menjemputku
pulang.
Mereka berdua lantas melenggang
pergi. Aku kembali menatapi pusara makam nenek, terfokus pada bunga mawar yang
kutancapkan tadi. Menancapkan bunga mawar di pusara adalah salah satu dari
cerita-cerita nenek di sela-sela mengaji yang kuingat.
“Ngger, dulu Rasulullah
SAW menancapkan pelepah kurma pada kuburan seseorang. Beliau lalu bersabda,
‘semoga mereka diringankan siksaannya, selama pepepahnya belum kering.’” Ya,
karena disini tidak ada pelepah kurma, maka kugantikan dengan bunga mawar
merah.
Aku menguatkan diri, berusaha
untuk tidak menangis. Itu juga salah satu petuah nenek yang kuingat. Musibah
bisa datang dan pergi, tapi kesedihan yang diratapi hanya dengan tangisan
adalah kesedihan yang tak bermartabat.
Begitulah kenangan tentang
nenekku, sekaligus guru mengajiku. Menyisakan kekuatan-kekuatan yang aku juga
tak mengerti berasal darimana. Tapi, tanpa bisa kujelaskan bagaimana,
suara-suara nenek nampak nyata, wajahnya jelas terbayang, mengatakan petuah
yang tepat sekali aku perlukan. Dia adalah nenek paling bijaksana yang
beruntungnya aku miliki.
Dan, diantara seabreak
petuah-petuah itu, ada satu yang paling aku kenang.
“Ngger, mengalah itu
bukan berarti kalah. Ngalah iku pusakane poro ksatrio.”
Nasehat itu pada awalnya tak pernah
ku dengar. Maklumlah, anak kecil siapa pula yang suka mendengar nasehat. Begitu
beranjak dewasapun, aku tumbuh menjadi pria keras kepala. Jangankan mengalah,
menangpun tiada aku pernah puas.
Namun, selain karena nenek tak
bosan-bosannya mengulang nasehat itu, kehidupan juga mengajariku sedikit demi
sedikit tentang kesaktian petuah itu.
Pitak di kepalaku ini, yang tak
tumbuh rambut sampai sekarang, ya akibat melanggar nasehat itu. Waktu kelas 4
SD aku nekat meninju muka seorang anak kelas 6 karena mengambil paksa bakwan
milikku. Emosiku memuncak padahal aku masih punya uang jajan lebih. Tak pelak,
kepalakupun bocor karena dia membalas dengan hantaman batu sebesar kepalan
tangan.
Waktu SMP, kasus mirip terulang
lagi. Aku dikeroyok anak-anak geng sekolah. Penyebabnya sederhana, aku tak
terima di tekel dari belakang waktu pertandingan futsal. Aku balas menendang
lawan mainku, Beni Esoknya, habislah aku dikeroyok Beni dan komplotannya.
Akibatnya fatal, selain luka-luka lebam, ususku mengalami pendarahan. Untung
masih bisa diobati setelah opname dua minggu di rumah sakit.
Menginjak dewasa, salah satunya
karena trauma akibat kejadian di atas, pelan-pelan aku belajar menahan ego.
Dan, kalian tahu, apa akibatnya?
Saat menjemput adikku dari
Ponorogo pulang ke Jogja lewat Wonogiri, marahku sudah di ubun-ubun. Pasalnya,
Toyota Avanzaku yang baru dua bulan keluar dealer, diserempet dan ditelikung
sebuah Honda Jazz dari belakang. Mobilku sempat keluar jalan. Untungnya ada
sedikit tanah lapang di sisi jalan. Aku lantas mencak-mencak, bernafsu mengejar
mobil tadi lalu menghajarnya. Tapi Nenek memintaku istirahat sejenak, shalat
dua rekaat mohon keselamatan di perjalanan. Akupun menurut.
“Sudah ngger, sing penting
selamet!” Ujarnya.
Setelah suasana mereda, kami
melanjutkan perjalanan. Beberapa ratus meter dari situ kerumunan orang
berkumpul di tepi jurang. Setelah mencari tahu apa yang terjadi, aku mendapati
kabar sebuah Honda Jazz merah terperosok jurang.
Ada lagi kasus perebutan tender
sebuah lahan batubara di Bengkulu. Aku sudah mencium bau-bau tak sedap
konspirasi. Aku dicurangi. Sebenarnya cara klasik, pemenang tender membayar
berapa ratus miliar kepada pemerintah. Bukti-bukti sudah aku kumpulkan. Tapi
saat hendak mengajukan ke pengadilan. Tiba-tiba aku teringat nasehat nenekku.
“Orang lain nggak akan
mengambil rezeki kita, Ngger!” Dan kali ini, akupun mengalah.
Ternyata, selang beberapa waktu
setelah itu. Perusahaan tambang itu gulung tikar. Batubara yang diisukan
berlimpah, ternyata cuma ada sedikit kelumit di bawah permukaan tanah.
Selebihnya, hanya batu cadas dan batu bara muda yang baru bisa dipanen puluhan
tahun lagi. Dan lagi, penduduk pribumi banyak yang tidak terima karena lingkungan
mereka dirusak. Aksi sabotase pun sering terjadi. Alhasil, belum juga perusahaan
meraup untung, mereka terpaksa menghentikan operasi penambangan.
Tapi, diantara semua mengalah
yang pernah aku lakukan. Merelakan cinta gadis yang kucintai adalah yang paling
berat.
Gadis itu sudah seperti aku versi
wanita saja, semuanya begitu sama. Melihatnya, seperti memandang diriku sendiri
di cermin. Jalan pikiran, karakter, bahkan cara jalannya yang gontai dan acuh mirip
sekali dengan aku. Bola mata yang hitam dengan lirikan tajam seperti elang
gurun, cerocos lugas tanpa tedeng aling-aling, tapi juga diam sambil curi-curi
lirik macam kucing mengintai ikan kala berada di komunitas baru, semua itu
benar-benar aku. Hingga akhirnya aku berpikir, dia memang tercipta untukku.
Tapi, Kawan. Wanita memang
makhluk paling aneh. Menjelaskan bagaimana logika mereka berjalan sama rumitnya
dengan menerangkan bagaimana mekanika alam semesta. Dulu, hukum gerak Newton
seperti menjelaskan semuanya, tapi lantas runtuh dengan datangnya teori
relatifitas Einstein. Namun teori Einstein juga mandeg di beberapa kasus.
Seperti itulah, berputar-putar. Rumit, dan tak terduga.
Bahkan, wanita yang menyadari
sepenuhnya apa yang kita pikirkan tentang dirinya, dan juga mempunyai persepsi
sama tentang diri kita, masih saja tak sudi menerima kita. Dia lebih memilih
orang lain yang aku anggap tak lebih baik dari diriku.
Hatiku hancur bukan kepalang,
hampir saja aku kalap karenanya. Tapi, lagi-lagi, nasehat nenek mendinginkan
suasana.
“Ngger, orang yang baik itu
untuk orang yang baik juga. Jadi, orang yang nggak mengerti kehebatanmu, memang
tak pantas untukmu.”
Aku lagi-lagi mengalah, meskipun
sakit hatinya seperti tak akan bisa disembuhkan. Hingga aku bertemu Vita,
istriku sekarang, dan hilang sudah semua duka lara itu. Vita begitu sempurna
sebagai pelengkap diriku. Dan kini, aku tak pernah menyesal kehilangan
cinta-cinta semuku.
Vita memang bukanlah refleksi
diriku. Di beberapa sisi, kami justru bertolak belakang. Tapi justru karena
itu, dia adalah missing link-ku. Dia melakukan pekerjaan yang tak bisa
ku tangani. Ketenangannya mengimbangi ketergesa-gesaanku, wibawanya
menentramkan jiwa berontakku, kesabarannya mendinginkan nafsu amarahku.
Kemudian, karena aku merasa sudah
waktunya untuk menikah –usiaku sudah 27-, juga karena tabungan dari gajiku
selama ini sudah lumayan, aku memutuskan untuk meminangnya. Alasannya, akan
sulit menemukan orang seperti Vita yang menerimaku apa adanya. Apalagi nanti
jika aku semakin sukses. Meskipun, itu artinya aku harus menunda janjiku pada
nenek. Dulu, aku berjanji padanya bahwa membiayai nenek naik haji adalah
pekerjaan yang pertama kali aku lakukan jika tabunganku cukup.
“Nek, Rafi minta maaf. Rafi izin
untuk menikah dulu, baru tahun depan nenek akan Rafi daftarkan haji,” pintaku
mengiba kala mohon restu nenek.
Aku tahu nenek sangat ingin naik
haji. Dan karena ku tahu Bapak-Ibu tak mungkin bisa membiayainya, aku lantas
berjanji akan mendaftarkan beliau naik haji begitu aku mampu. Meskipun nenek
tak pernah meminta itu padaku.
“Ngger, kamu nggak perlu
mempersulit dirimu dengan janji-janjimu. Kalau rezeki nenek naik haji, biayanya
bisa datang dari mana saja.” Begitu respon nenek dulu kala aku berikrar di
hadapannya. Tapi aku tetap saja ngotot bahwa aku pasti akan membiayai nenek
naik haji.
Lantas, ketika aku meminta izin
menunda janjiku itu, nenek juga kembali hanya tersenyum dengan jawaban sangat
singkat.
“Iya, nggak apa-apa, Ngger.”
Seminggu kemudian pernikahanku
dilangsungkan. Meskipun nenek sudah tua, nenek tetap giat membantu acara
hajatan. Beliau berbaur dengan ibu-ibu muda mengurusi tetek bengek perdapuran.
Kondisi fisik nenek memang sangat prima meski sudah berusia 65 tahun. Bahkan
ibuku yang berumur 47 tahun lebih sering sakit-sakitan daripada nenek.
Aku yang sedang dilanda euforia
cinta tentu saja tak sempat berpikir mengenai keadaan nenek. Fokusku tercurah
pada bagaimana melafalkan ijab kabul dengan benar. Jangan sampai, salah satu
momen paling sakral ini malah membuatku malu.
Akhirnya, semuanya berjalan
lancar. Aku mengucap akad denga fasih, berbahasa Arab pula.
“Qabiltu nikâhaha bi
mahrin madzkûr, hâlan.” Lalu hadirinpun serentak berkata, “Sah, sah.”
Aku sangat gembira, kakiku
seperti tak menginjak tanah, atau layaknya penerjun payung berterbangan di
udara. Hingga malam harinya, aku menemukan nenek terduduk di kursi. Tak
biasanya nenek begitu, akupun membangunkannya. Dan ternyata, ketika aku
berusaha membangunkannya, nenek malah roboh ke lantai. Innalillahi wa inna
ilaihi râji’ûn, nenek wafat.
Nenek telah pergi, membawa serta
mimpinya tertinggi, naik haji. Juga bersama pusakanya, jiwa besar untuk
mengalah. Sedangkan aku, untuk pertama kalinya semenjak dewasa, aku tak mampu
melawan egoku. Akankah setelah ini Tuhan akan menghukum keegoisanku?
0 komentar:
Posting Komentar