Dahulu sekali, saat kita belum
terlahir di dunia ini, saat kita belum berbentuk sempurna, kita sudah mengucap
sumpah di hadapan Tuhan. Waktu itu, kita masih berada dalam rahim ibunda, dan
ruh pun baru akan ditiupkan. Sumpah itu adalah tentang kesiapan kita menjadi
manusia. Sumpah itu mengenai kesombongan kita menerima sebuah amanah berat,
menjadi pemimpin di muka bumi ini.
Aku bilang kita –manusia- sombong
karena menerima amanah itu, mengapa? Karena malaikat yang konon makhluk suci
saja tak punya nyali untuk mengatakan “iya” pada tawaran sulit ini. Mereka
–para malaikat- adalah makhluk yang sudah membuktikan mampu mengemban semua
amanah mereka selama ini tanpa cacat, tapi untuk tawaran ini, malaikat tahu
diri. Nah, kita, manusia yang punya nafsu setan, berani-beraninya ambil resiko
ini? Tapi, semuanya memang sudah tersurat demikian.
Sumpah itu, kebersediaan kita
memegang amanah itu, sudah terucap. Dan sekarang kita sedang menjalaninya dalam
kehidupan ini. Tapi, tak ada satu orang pun tahu seperti apa detailnya sumpah
yang telah kita ucap. Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai bentuk
tanggungjawabnya?
Tanggungjawab itu, Kawan, adalah
tentang bagaimana membuat dunia yang lebih baik. How to make a better world.
Dengan modal yang telah dianugrahkan dalam diri kita – panca indra, akal,
bakat, dll- Tuhan ingin melihat apa yang bisa kita lakukan di kehidupan ini. Tuhan
ingin kita menjalankan sebuah lakon dalam skenario besar milik-Nya.
Lakon itu, Kawan, demokratisnya,
bisa kita pilih dengan suka-suka. Mungkin itu rahasia Tuhan membuat kita
“amnesia” setelah bersumpah, agar kita bebas memilih peran masing-masing
semaunya. Anda boleh memilih menjadi tokoh protagonis dalam sandiwara besar ini
atau sebaliknya, menjadi sang antagonis yang dibenci. Bukan itu saja, Anda juga
boleh memilih untuk menjadi salah satu dari aktor utama sinema akbar ini atau
lebih suka sekedar pemeran pembantu. Fantastisnya, Anda bahkan boleh memilih
“gaji” yang akan anda dapatkan setelah pentas. Mau surga atau neraka?
Lihatlah, atas semua kemurahan
hati Tuhan pada hamba-Nya, betapa Tuhan begitu baik hatinya pada kita sekalian!
Lalu, mengapa masih saja ada
orang yang memilih menjadi pelengkap berjalannya dunia daripada menjadi
penggerak utamanya? Mengapa masih ada orang yang berpikiran sempit dan memilih
hidup ala kadarnya? Bukankah kesempatan sudah Tuhan buka selebar-lebarnya? Maka
nikmat Tuhan mana lagi yang engkau hendak sangsikan?
Aku tahu, karena aku sudah
menemukan dengan mata kepalaku, bahwa segelintir orang berkata: “kita sudah
tertakdir menjadi pelengkap, dan sebagian orang telah tercipta menjadi
penggerak.”
Hei, bukankah semuanya juga telah
ditentukan. Sudah tertulis di buku-Nya sana apakah aku di surga atau kau di
neraka. Tapi sekarang, siapa yang tahu? Dia begitu pemurah untuk tidak
membocorkan sedikitpun suratan takdir milik-Nya. Kita masih bisa memilih,
Kawan.
Dan bukankah perkataan itu sama
dengan perkataan seorang pencuri: “aku sudah ditakdirkan menjadi pencuri?” Kita
semua tahu, Kawan, perkataan seperti itu tak bisa dikemukakan di hadapan-Nya. Wa
huwa la yus’alu ‘amma yaf’al fahum yus’alun.
Karena itu, marilah kita memilih
takdir kita ditulis oleh apa yang telah Tuhan anugrahkan dalam diri kita
–potensi-, bukan membiarkannya rusak karena membiarkan alam, orang lain dan
keadaannya mendiktenya. Mari kita berdecak kagum dengan ini, kehebatan kita,
potensi kita. Karena ini adalah juga sebagian dari kebesaran yang Tuhan
anugrahkan pada kita. Bukan cuma berdecak kagum dengan kebesaran Tuhan yang ada
di sekeliling kita.
Mari, Kawan, bersama-sama kita
kita memilih kehidupan yang besar lagi penting, hidup yang mulia serta berpengaruh.
Karena itu juga yang Tuhan inginkan dari eksistensi kita di dunia ini.
God calls on us to shape our
uncertain destiny (Obama)
0 komentar:
Posting Komentar