Gambar: www.illustrationsource.com
Setahuku, wanita cantik selalu
berhati kelabu. Kalbu mereka adalah sore berkungkung mendung yang enggan
menitikkan gerimis. Kelopak mereka diganduli beban-beban kesedihan yang
menggumpal. Mata mereka memancarkan api kehidupan yang redup. Dan jika kalian
perhatikan, di antara ceruk-ceruk molek di dua sisi pipi mereka kala tersenyum,
yang membuat sungging mereka semanis gulali, tersimpan beberapa butir gundah gulana.
Ini berbeda dengan apa yang ku
baca di tatal dongeng-dongeng. Dalam hikayat, putri-putri jelita selalu berona cuaca
pukul tujuh pagi di kampung lereng gunung, sejuk, lembab dan teduh. Hati mereka
pun selalu meriah. Berhiaskan manik-manik tawa bahagia, seringai yang
memahligai, dan pijar-pijar membara dari kedua pelita mata.
Aku baru tahu perbedaan antara
wanita sempurna mitos dengan mereka yang ada di alam nyata suatu hari. Ketika sesosok wanita berdiri mematung di depan jejeran buku bekas jualanku, waktu aku
sedang memilah-milah buku yang tak laku. Ketika itu hari masih pagi, matahari
belum tegak berdiri. Rambutnya yang panjang sepunggung melembai-lembai diterpa
angin. Melihatnya, aku teringat bendera berkibar dan tiangnya yang kaku di
tengah lapangan. Kebetulan, sekilas ia memang mirip bendera merah putih.
Kulitnya putih bersih, sementara warna merah
menyemburat di beberapa sisi, terutama di bagian antara pelipis dan
pipi. Oh iya, ia juga semampai.
“Nyari buku apa, Mbak?” Tiang pancang
itu akhirnya bergerak, sementara rambutnya
tetap berkibar.
“Oh, ada Romeo dan Juliet Shakespeare?”
Keningnya berkerut, sembari matanya melompat-lompat menyusuri buku-buku. Aku
bisa menangkap getar-getar kegundahan dari matanya.
“Wah lagi kosong stoknya, Mbak,”
Tanganku menggaruk kepala yang tak gatal, sedikit kecewa. Entah kenapa naluri
laki-laki selalu ingin menyenangkan wanita yang tengah bersedih.
Ia hanya menghembuskan nafas, sepertinya
kecewa juga.
“Baca buku-buku itu aja Mbak,
asyik-asyik lho ceritanya!” Ujarku sambil mengarahkan telunjuk ke tumpukan
novel-novel teenlit.
“Ah, aku tak suka buku-buku
Indonesia kontemporer. Lebih mirip permen daripada buku. Kemasannya
warna-warni. Kebanyakan menawarkan manis, sedikit menyajikan rasa lain, dan
semuanya tak pernah membuatku kenyang.”
Amboi, baru kali ini kutemukan
wanita cantik yang begitu mengerti metafora.
Kemudian entah kenapa awan-awan
mengerumun, mungkin semesta turut berempati, tak sampai hati menyaksikan kemasygulan
mengotori paras wanita cantik. Mendung pelan-pelan menebal, membentuk
gempal-gempal hitam. Angin turut bersiut pilu, petir meneriakkan simpatinya,
dan langit segera termehek-mehek.
Dalam kungkungan gerimis yang
menjelma lajur-lajur jeruji itu, kami menghabiskan hari di toko bukuku. Aku
menyuguhinya teh panas dan biscuit jatah makan malamku. Lalu kami bercerita, membelah
kisah hidup masing-masing menjadi potongan-potongan yang dapat dicerna.
Terutama tentang buku-buku dan asmara. Sebenarnya aku hanya bersikap
sekedarnya, menimpali ceritanya tanpa pretensi. Tapi entah mengapa dia begitu
antusias terhadapku. Barangkali karena para wanita cantik sudah sangat muak
dengan terlalu banyaknya lelaki yang menggumbar rayu.
“Mengapa kau namakan tokomu
Anak-Anak? Sepertinya dulu kamu terobsesi menjadi guru TK,” Ia memandang plakat
nama tokoku yang bergambar dua bayi membaca buku.
“Hahaha, tidak juga, ini
berhubungan dengan asmara. Aku pernah mencintai buku dan anak kecil. Karena itu
aku rasa menjadi penjual buku dengan menamai tokonya “Anak-Anak” akan menjadi
penjaga kenangan yang baik,” Aku menjawab sembari memalsukan senyum, menahan
getir-getir masa lalu yang tiba-tiba menyeruak.
“Apa, kau mencintai anak kecil?
Pe..o..hahaha!!” Ia menuding-nudingku dengan dengan senyuman sarkastis,
menggantung kalimatnya dengan tawa nyaring yang lepas sekali.
“Tidak, aku lelaki normal, namun
kadang-kadang beberapa wanita dewasa memiliki anak kecil dalam dirinya, dan aku
mencintai salah satu dari mereka,” pelan saja aku menjawab, biarlah ia puas
menertawakanku, aku cukup senang membuat orang lain bahagia.
“Haha, kamu lucu,” Ia berkata
demikian sambil menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari.
“Tentu orang yang kau cintai
sangat cantik. Memangnya apa yang menarik dari anak kecil?” tanyanya usai
menyeruput teh yang sudah agak dingin.
“Ah, tidak juga, ia tak cantik,
tapi sangat periang, melihat polahnya saja membuatku merasa hidup ini telah
lengkap. Apalagi yang dicari dari hidup selain kebahagiaan?” jawabku dengan
senyuman lebar. Tapi hei, dia malah tiba-tiba murung.
“Kamu kenapa?” Ia hanya
menggeleng, lalu tak dinyana air matanya meleleh, bagai lilin dilahab api yang
menggelepar-gelepar.
Aih, laki-laki selalu kikuk dalam
keadaan begini. Di satu sisi kelaki-lakian mengharuskan memberi rasa tenang
bagi wanita yang tengah bersedih, tapi aku tahu, bagaimanapun ia adalah wanita
asing bagiku. Aku membiarkannya menangis hingga usai, lalu menyodorinya
selembar tissue.
“Aku iri dengan anak kecil itu,
bagaimana ia begitu riangnya,” dia mulai berbicara ketia sengguknya telah
benar-benar usai. Matanya masih lebam.
“Bukankah kamu adalah wanita yang
memiliki semuanya untuk bahagia? Kamu beruntung dianugrahi paras cantik yang
tidak semua wanita punya,” Ujarku berusaha menenangkan. Sebenarnya aku paling
anti memuji wanita, aku tahu hati mereka terlalu rapuh.
“Kecantikan membuatku lelah, aku
capek menghadapi lelaki yang tertipu oleh kecantikan. Aku ingin diperlakukan
sebagai wanita yang ingin bahagia, bukan sang jelita yang selalu memesona,”
lanjutnya, tangannya menyapu sisa-sisa air mata di sudut-sudut mata.
“Bukankah wajar manusia menyukai
keindahan?” tanyaku.
“Tapi yang demikian menyusahkanku
menemukan lelaki yang benar-benar baik, benar-benar tulus, karena semuanya
berlomba menunjukkan kebaikan-kebaikan palsunya,” ia menatapku, “aku belum
pernah menemukan orang secuek dirimu kala menghadapi wanita cantik,” ia
tersenyum. Ah, inikah pikat yang membuat para lelaki memasang kepalsuan itu.
Barangkali demikian, karena senyuman itu lebih indah dari temaram senja yang
merona Parang Tritis. Selama ini, bagiku tak ada yang lebih indah dari sore
hari di pesisir Yogyakarta itu.
Semenjak saat itu, seringkali aku
menutup tokoku lebih awal. Karena ia mengajakku menghabiskan sore mengitari
Malioboro. Membincang sejarah Indonesia di pelataran monumen Serangan Umum 1
Maret, menyantap es degan di depan benteng Vredenburg, menelusuri gang-gang pasar
Beringharjo sekedar membeli selembar kain batik, adu piawai menawar barang di
trotoar Malioboro dan mengakhiri malam dengan sepiring gudeg di seberang
stasiun Tugu. Ia membuatku melupakan buku dan anak kecilku.
“Kenapa kau ingin membaca Romeo
dan Juliet?” tanyaku dalam salah satu petualangan sore kita.
“Karena aku ingin mencari seorang
pangeran yang menjagaku setulusnya.” Dan kalian tahu, semenjak itu aku merasa
diriku adalah Romeo.
***
Aku masih menutup toko lebih
awal, berjalan-jalan di pusat kota Jogja, tapi sudah tiga bulan ini tanpa
Julietku. Ia menghilang entah kemana. Barangkali ia sedang ada kesibukan,
pikirku. Lalu kuberniat memberinya kejutan. Ku ubah tatanan toko bukuku.
Plakatnya kuganti dengan nuansa romantik, seperti hatiku yang tengah dijejal-jejal
rindu. Sebuah tulisan “Romeo dan Juliet” kini menjadi penghias muka kios kecil
ini sekaligus menjadi cetakan di atas kanan kwitansi. Di samping tulisan itu
ada kopian lukian Bernard Diksee.
Di tengah segala setting
yang tengah ku persiapkan sebagai kejutan untuk Julietku. Suatu hari, kala
mendung menggantung, seorang Pria tampan berdiri di depan kios kecilku. Ia baru
saja turun dari sedan Mercedes peraknya. Ia mengedarkan pandang ke plakat
kios-kios yang ada, seperti tengah mencari sesuatu.
“Nyari toko apa, Mas?” Aku
menegurnya.
“Eh, ini Mas, toko buku
‘Anak-anak’ dimana ya?” Tanyanya sambil menimang-nimang selebaran kecil.
“Oh, toko itu sudah tutup, Mas,
memangnya kenapa?”
“Eee, ada titipan untuk
penjualnya,” Ia memperlihatkan selebaran itu.
“Sini Mas, nanti saya sampaikan
ke orangnya,” aku ingin tahu selebaran apa itu.
“Ini!” ia menyodorkannya, lalu
segera mohon diri. Sebentar lagi hujan, katanya. Aku segera tersadar bahwa
selebaran itu adalah adalah sebuah undangan pernikahan. Tertulis di muka dengan
font cantik, Julia dan Rama, mohon doa restu. Aku ingat Julia adalah Julietku, tapi siapa Rama?
“Mas, mas!” tergopoh-gopoh ku
kejar pria tampan tadi. Ia berbalik, air mukanya menyiratkan tanda tanya.
“Mas namanya Rama?” tanyaku.
Ia tersenyum, segera saja lututku bergetar. Aku hanya bisa berdiri
mematung menatapnya pergi. Argh, beginikah hati wanita-wanita cantik. Baru
kemarin ia melenguh seolah ia satu-satunya korban kekejaman dunia, dan sekarang
ia berulah tanpa sadar bahwa ia adalah kekejaman itu sendiri.
Aku pesimis pria parlente itu
mampu mejadi Romeo untuknya, ia juga bukan Juliet. Tapi jika mereka memang
Romeo dan Juliet, artinya mereka harus mati.
Tanganku mengepal.
3 komentar:
Super sekali...
Memang benar2 "Pria yang hanya ingin jadikan wanita Inspirasi"...
(Loh KOk)... heheh
#Masih menunggu inspirasi dari wanita selanjutnya :)
haha, lgi bljr nulis cerpen aja caul,
doanya saja semoga byk inspirasi, hehe
Subhanallah kakak... Bagus banget ^_^
Posting Komentar