Aku benci mawar. Bukan tak suka
bau harum yang terkadang membuat mata kita terpejam kala bersemerbak, bukan
pula tak berselera kepada warna beranang yang merangsang mata. Barangkali
karena duri, ya, karena aku tertusuk duri ketika pesona Mawar memenjara Soni,
suamiku.
Aku juga benci Tahrir, meski aku
adalah penyokong demokrasi yang tak akan lupa bagaimana lapangan itu membahasakan makna
revolusi. Aku ingat bahwa di Ikada, September 1945, orang-orang berkerumun
meneriakkan kemerdekaan yang sebulan sebelumnya dikrarkan. Aku juga mafhum jika
di Tianmen, Beijing, Juni 1989, orang-orang banyak mati karena memperjuangkan
kemerdekaan mereka yang dikebiri.
Tapi, tak ada simpati yang sama
untuk Tahrir. Tak peduli betapa aku tahu banyak nyawa-nyawa membubung di
persimpangan jalan pinggir Nil itu. Aku tahu, ketika meminta Mubarak turun, para
demonstran dikepung militer di jembatan Kasr Nil. Diserbu dari dua sisi dengan
gas air mata, sebagian terlindas tank yang terus merangsek masuk jembatan.
Orang-orang mungkin menganggap
ini standar ganda, tapi mereka akan segera mengangguk-angguk jika tahu bahwa
aku adalah wanita. Aku adalah wanita yang harus menahan getir setiap melihat
toko bunga memasang mawar sebagai penghias utama etalase. Seperti juga aku
selalu tersayat setiap tayangan televisi menayangkan berita tentang Mesir,
Kairo, terutama Tahrir.
Seperti hari ini, ketika televisi
menayangkan khalayak ramai yang meneriakkan tuntutan politis terhadap
presidennya. Aku benci semua itu karena membuat mata Sony terpenjara dengan
tayangan itu. Pandangannya lalu menerawang, kabur, dan butir-butir hangat segera
mengalir, dan segera menetesi kepalaku yang dalam pelukannya. Aku benci detik-detik
ini, ketika kerenyahan cengkrama cinta kami yang baru tiga bulan diresmikan tiba-tiba
beku karena ingatan tentang masa lalu, Mawar.
“Mawar,” Soni berguman lirih,
masih dengan tatapan kosong. Jika sudah begini aku segera menuju ranjang,
menutup pintu, mematikan lampu, dan menyelimuti tubuhku rapat-rapat. Gelap dan
air mata adalah teman yang lebih baik dari Sony untuk saat-saat seperti ini.
Mungkin ini juga salahku. Aku
memaksanya menikah meski ia bilang belum bisa melupakan Mawar. Dulu aku
berpikir dengan menikah semuanya akan berubah. Kenangan-kenangan Soni akan Mawar
akan menguap karena bara-bara cinta kami yang membara. Aku salah.
Mawar tetaplah bunga yang mewangi
memenuhi setiap jengkal cakrawala Soni. Wanita itu ibarat legenda yang
diceritakan turun temurun, tak lekang. Ia telah mati, tetapi ikon tentang dia
tetap menggantung dalam imajinasi Soni.
***
Mawar bukan adikku, tapi Ayah
memaksaku memanggilnya adik. Ia hanya anak panti yang Ayah pungut. Ayah bilang
rambut hitam panjang Mawar mengingatkannya pada Ibu. Dan ayahku, yang selalu
terlalu imajinatif, selalu membelai rambut gadis kecil itu setiap malam
menjelang tidur. Ayah melupakan kebiasaan kami mengadu Real Madrid dan
Barcelona di arena PES. Aku benci Mawar, tapi lama kelamaan aku bisa
menerimanya tinggal bersama kami karena dia juga bisa berfungsi sebagai
pembantu. Dia mau melakukan apa saja yang aku perintah.
Waktu berjalan bagai kilat hingga
tanpa sadar kami tumbuh dewasa. Lalu, kecemburuan kanak-kanakku terhadap Mawar
lamat-lamat menghilang. Hubungan kami bahkan semakin hangat karena ternyata ia
juga sangat menyukai dunia yang kugeluti, jurnalistik. Ia banyak bertanya ini
itu padaku karena ia mengambil kuliah jurnalistik, aku sendiri tengah meniti
karier sebagai wartawan.
Lalu, ah, mengapa aku ikut
terjebak imajinasi Ayah. Rambut hitam berkilat sepunggung itu benar-benar
mengingatkanku pada ibu, bulu mata melengkung ke atasnya juga, bola mata bundar
nan sayu pula. Aku melihat ibu pada gadis muda itu. Tapi, bukan cuma perawakan
fisik saja yang menggambarkan Ibu. Kesabaran Mawar mengiyakan apa saja yang ku minta
adalah kesabaran ibu menanggapi polah nakalku. Kerja kerasnya mengerjakan tugas
kuliah hingga larut adalah kerja keras ibu menjahit gaun-gaun pengantin untuk
butiknya. Lalu, aku entah kenapa, mata bundar nan sayu dan lekukan manis di
samping bibirnya memerosokkan hatiku. Tuhan, beginikah jatuh cinta.
***
Soni terpukul karena kehilangan
Mawar, begitu kata John, atasanku, dan kau, Melati, harus membangkitkannya
kembali. Mulanya, ini masalah pekerjaan. Soni adalah wartawan teladan di
majalah kami. Ide-ide dan kerja kerasnya membuat oplah kami meningkat pesat.
Tapi, semuanya menukik semenjak ia kehilangan Mawar.
Aku menikmati pekerjaan ini,
mendekati Soni. Meski sebagai wanita, pekerjaan mengalihkan seorang pria dari
wanita pujaannya adalah pekerjaan yang sangat menyakitkan. Anda harus bersiap
tersayat setiap ia menganggap Anda adalah wanita pujaannya, atau ketika Anda
dibandingkan dengan seseorang dari masa lalunya. Tapi, karena profesionalitas
–aku diterima di perusahaan ini karena tugas ini- aku anggap angin lalu semua
rintangan. Lagipula, lama-kelamaan, aku tak bisa bertahan menghadapi pesona
seorang Soni. Ketulusannya mencintai wanita, kecerdasan selera humornya sangat
memikat hatiku, di saat kulitnya yang bersih, rambut ikalnya yang selalu rapi,
dan pandangannya yang menusuk hati menangkap insting wanitaku. Aku benar-benar
jatuh cinta.
Aku menikmati pekerjaan ini,
meski tak jarang aku harus menahan getir setiap Soni bercerita tentang Mawar.
Seperti hari itu, ketika kami makan malam berdua.
“Mawar ditugaskan meliput krisis
Mesir, ini adalah tugas pertamanya di luar negri. Aku sendiri yang
mempromosikannya. Itulah mengapa aku tak bisa memafkan diriku sendiri.” Dan
pria berambut gelombang itu, yang pandangan matanya berpijar-pijar, serta merta
terisak. Aku memberinya tissue.
“Kabar terakhir yang kami terima,
Mawar terjebak dalam bentrok massa di Tahrir. Setelah itu, ia menghilang, tanpa
jejak.” Lalu tangisnya mengeras, menyedu sedan, bak anak manja ditinggal pergi
bu tercinta.
Argh, mengapa cerita itu selalu
terngiang. Bantalku basah. Barangkali aku punya masalah dengan memori, aku
selalu teringat dengan ihwal yang ingin sekali kulupakan.
“Melati! Buka pintunya!” Soni
menetuk-ketuk pintu.
Hei, apa yang terjadi. Biasanya,
jika sudah teringat Mawar, ia akan menangis hingga pagi hari. Aku pun bergegas
membuka pintu dengan senyuman.
Soni menyeruak masuk begitu pintu
di buka, ia bergegas menuju lemari pakaian.
“Kamu mau kemana?” Aku heran
karena di tengah malam seperti ini ia berkemas.
“Lihat itu!” Telunjuk Soni mengarah
pada televisi ruang tengah.
“Aku ke Kairo malam ini, aku akan
bawa mawar pulang!”
Aku mendekati layar kaca.
Televisi menayangkan Tahrir yang ramai, lalu aku tersadar sesuatu ketika kamera
menukik ke tengah medan. Tepat di tengah tahrir, di samping pohon kurma, tumbuh
sekuntum mawar yang tengah mekar.
“Mawar,” Pekik Soni, “itu Mawar!”