Selebrasi yang berlebihan akan diganjar kartu
Lebaran adalah hari kemenangan.
Maka, seperti laiknya kemenangan-kemenangan lain, ia pantas untuk dirayakan.
Lalu, seperti jamaknya perayaan, lebaran akan dipenuhi dengan atribut-atribut
pesta pora. Sandang mewah baru yang serba mahal, makanan lezat yang serba
berlemak, serta barangkali gadget-ganget keluaran terbaru menjadi tentengan.
Perkakas-perkakas itu tentunya bertentangan
dengan semangat sederhana Ramadhan. Kita akan
berdalih bahwa bermegah-megahan pada hari istimewa ini tak mengotori kesucian
Ramadhan. Toh, ini adalah momentum yang dihadiahkan Tuhan. Pada hari ini
kemenangan ditahbiskan, setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsu.
Pertanyaannya adalah, apakah hawa nafsu dikekang untuk kemudian dibiarkan liar?
Pertanyaan selanjutnya adalah tentang
kemenangan itu sendiri. Mengapa pula kita begitu antusias merayakan kemenangan sementara
belum tentu kita menggenggam piala? Pasalnya, tidak serta merta dengan
datangnya lebaran, medali kemenangan mutlak dikalungkan. Tak ada orang yang
tahu pasti apakah Ramadhannya dilalui dengan sukses, atau dengan kekalahan.
Yang saya tahu, ada satu
barometer kemenangan sakral ini, yaitu terbentuknya pribadi yang lebih baik
usai Ramadhan. Pribadi yang demikian adalah jiwa yang semakin berkeming dari
kepentingan duniawi, semakin jauh dari nafsu kebendaan.
Dan tentunya, jiwa yang demikian
adalah jiwa yang lebih berpuas diri, yang tak terlalu bernafsu untuk
berselebrasi. Karena, walaupun orang-orang tersebut adalah sebenar-benarnya
pemenang dan berhak merayakan, mereka adalah jiwa-jiwa yang telah akrab dengan
kemenangan, sehingga tidak bersikap angkuh dan norak. Mereka sama sekali bukan
lagi pribadi yang gagap dengan titel.
Ada sebuah pepatah yang saya
dengar lagi dari seorang Mario Ballotelli mengenai perihal ini. Pesepakbola
yang jarang melakukan selebrasi ini berujar ketika ditanya kebiasaan janggalnya
itu, “Saat aku mencetak skor, aku tidak merayakannya. Itu sudah
pekerjaanku. Apakah seorang tukang pos merayakan setiap kali dia mengirimkan
surat?”
Ya, seorang
tukang pos tak perlu girang berlebihan setiap usai menghantarkan surat. Itu
adalah pekerjaannya. Begitu juga seharusnya seorang mukmin, melawan hawa nafsu
adalah kewajiban, maka, tak perlu pula merayakan usainya masa pendadaran jiwa.
Lagipula, kita sudah sering
menyaksikan, banyak saudara kita yang jatuh sakit tak lama setelah lebaran.
Penyebabnya adalah konsumsi zat gizi yang berlebihan. Kalori, lemak,
kolesterol, dan unsur-unsur makanan lain mempunyai dosis pengasupan. Setiap
individu dapat merasakan manfaatnya bila mengonsumsinya dengan seimbang. Masalahnya,
dalam hidangan-hidangan lebaran, makanan-makanan kita yang lezat punya masalah
dengan keseimbangan gizi. Pun pola makan buruk gaya balas dendam.
Ihwal makanan di atas hanya salah
satu contoh nyata. Selebihnya, euforia dalam hal apapun cenderung mengarah
pada pelanggaran. Dalam sepakbola, selebrasi yang berlebihan akan diganjar
kartu. Kebahagiaan yang kelewat batas akan membuat kita lalai.
Pada hakikatnya, kita hanya
diwanti-wanti untuk tidak merayakan secara berlebihan. Perayaan dengan makna
yang benar tak pernah dilarang. Dan sebenarnya, ada beberapa lebih yang
dianjurkan dalam selebrasi lebaran: lebih murah tersenyum dan lebih mudah
memaafkan.
0 komentar:
Posting Komentar