Credit picture, www.illustrationsource.com
“Bunga tulip warna-warni bermekaran, kali
ini kau harus melihat tepi jalan!” Stefano menggamit lenganku. Aku tetap tak
bergeming, menutup mata.
Aku dan Stefano sedang bertaruh,
jika ia bisa membuatku memandang ke luar bus saat perjalanan Madrid-Amsterdam,
aku harus membayarinya minum kopi di Cannabis, naik yacht menyeberangi selat
Channel, serta tiket home Manchester United.
Tentu saja aku terima taruhan itu.
Jika tak berhasil, Stefano membayari minum kopi. Aku bisa cuti sehari tak
berpanas-panas di depan Amsterdam Arena menggesek biola karena akan ada
pundi-pundi Euro dari Stefano.
Kelihatannya remeh, tapi Stefano sangat
penasaran. Sudah satu semester ini aku selalu menunduk jika tengah naik bus.
Sahabat karibku itu tahu ada yang aneh dengan diriku. Biasanya, aku selalu
antusias dengan apa yang ada di tepi jalan. Susunan batu trotoar yang unik,
nama-nama pohon yang memagari jalan, sampai ihwal remeh macam bentuk kotak uang pengemis selalu menjadi
obyek celotehku.
Kami telah melewati kanal-kanal
bersejarah Amsterdam, museum Van Gogh, museum Amsterdam, distrik lampu merah,
dan Stefano gagal membuatku menoleh jendela.
Kami turun di Grasshopper, mampir
di salah satu Coffee Shop dan memesan dua cangkir kopi Bengkulu.
“Kopi saja, jangan campur dengan
Cannabi!” Aku mengingatkan pramusaji.
“Sebenarnya, apa yang terjadi
dengan dirimu?” Muka Stefano terlihat kesal karena kalah taruhan.
Karena ia terus memaksa, akhirnya
kuceritakan juga sebab-musababnya.
Sore itu aku baru saja pulang
dari Veldebebas. Setelah membereskan semua perlengkapan -mengumpulkan
bola-bola, mengangkat gawang ke gudang, memasukkan jersey ke kantong laundry-,
seperti biasa aku langsung pulang menaiki bus. Dan kau tahu, Stefano, selama
perjalanan, aku kembali masyuk membelalakkan mata menyelusuri setiap inchi
jalan.
Tapi kali itu ada yang berbeda,
ada yang menarik perhatianku. Bukan penggemis Arab di depan gereja yang sering
kita perdebatkan -apakah dia pengungsi Suriah atau Libya-, bukan pula Evergreen
di perempatan Barajas yang akarnya semakin membesar hingga membuat jalanan
retak. Di tepi jalan Asenjo, ada penguin melompat-lompat.
Tentu saja bukan benar-benar
penguin. Tapi gadis itu memakai cardigan hitam dan kaos putih, celananya juga
hitam, langkahnya lebar dengan terkadang melompat-lompat, seperti penguin. Aku
tak bisa menahan tawa awalnya, kemudian tak bisa menahan diri untuk tidak turun
dari bis.
Aku membuntutinya, mengikuti cara
jalannya yang aneh. Lalu, eh, kenapa tiba-tiba ada kebahagiaan menghujam dadaku
setiap usai melompat dua tiga kali. Aku tergelak keras sekali, sialnya karena
tawaku yang nyaring tapi sumbang –kau selalu menutup telinga setiap aku
tertawa- penguin, eh gadis itu menoleh. Ia memergokiku menguntitnya.
Anehnya, dia tak marah, tak
peduli malah. Dia hanya mengerutkan kening setiap kali menoleh ke arahku. Air
mukanya memang ketus, tapi pipi gembung yang menyemburat bagai apel merah itu
membuat tampangnya terlihat lucu. Aku lalu memberanikan diri berkenalan, lalu
pertemuan pertama kami berakhir di Coffee Shop, sama seperti saat ini.
Duduk bertatapan dengannya
membuatku mengerti bahwa selain gembung apel merah, Veronique –nama gadis itu-
juga memiliki sepasang kelereng biru di dalam bola matanya. Alisnya yang tebal
dan menukik ke atas semakin menyatakan bahwa matanya adalah mahakarya. Semua
pesona itu membuat rambutnya yang dibiarkan acak tak tersisir, kusam dan
beberapa rontok di bahu dan lengan, aku acuhkan. Gadis ini adalah sekuntum
mawar berdebu, hanya perlu disiram untuk memikat mata siapa saja memandangnya.
Esoknya, aku kembali turun di
halte Asenjo, gadis itu kembali menjadi alasannya. Ia masih berjalan dengan
langkah-langkah besar dengan sesekali melompat dua-tiga kali lompatan setiap
lima enam langkah. Dan aku kembali tertawa geli usai meniru gerakannya.
Hari-hari berikutnya, aku
memutuskan berjalan dari markas latihan karena gadis itu ternyata bekerja di Coffee Shop tak jauh dari sana. Kami memulai langkah penguin kami lebih
awal. Dan itu lumayan menguras tenagaku. Tapi keriangan reflektif atas
kekonyolan sederhana, barangkali juga karena desir-desir aneh di dalam dada
ini, membuatku kuat. Hubungan kami semakin lekat karena ternyata ia juga
merupakan penggemar kopi dan Bengkulu.
“Aku suka menghirup dalam-dalam
aroma kopi panas. Segelas kopi panas mengirimkan harum ke seluruh urat nadi, ia
membawa jiwaku membubung,” bibir tipis Veronique bergerak-gerak menjelaskan
alasan cinta kopinya.
“Dan, kau tahu Alfredo?
Orang-orang Bengkulu selalu bangun pagi untuk menyiangi kebun kopinya.
Terkadang mereka mengenakan mantel jika turun hujan. Mereka menaiki bukit-bukit
hijau kebun kopi dengan topi lebar dan keranjang besar di punggung. Terkadang
mereka menemukan Rafflessia Arnoldi di sela-sela batang kopinya,” kelereng biru
itu berpijar-pijar, antuasias sekali ia bercerita.
“Ya, dan aku selalu merindukan
perjalanan mengitari Bukit Barisan. Dulu bus yang aku tumpangi hampir
terperosok jurang ketika memutari bukit menuju Kepahyang, tapi itu semua tak bisa mengalahkan sensasi teduh menatap mata air mengucur di kanan kiri
jalan serta bunga-bunga liar yang tak bisa kau temukan di taman manapun di
Eropa,” Aku menimpalinya. Aku memang pernah mengunjungi Bengkulu sekali.
Kemudian bersama bertambahya
kebersamaan kami, desir-desir aneh itu semakin sering saja menyela
ketenanganku. Mulanya ia hanya menyeruak kala Veronique tersenyum. Lama
kelamaan kedipan matanya pun mengundang desir itu. Lalu, setelah melihat diriku
memberinya sekuntum mawar merah dalam mimpi, aku tahu apa yang harus aku
lakukan.
Tapi, semuanya tak seperti mimpi.
Ia tak mau menerima mawar merahku. Ia bilang cinta adalah persahabatan yang
dikotori nafsu, karena itu ia memilih menjadi sahabat saja. Tapi aku tak pernah
percaya retorika wanita. Belakangan aku tahu kalau alasannya adalah karena aku
anggota klub Real Madrid sementara dia adalah fans Atletico.
Semenjak saat itu, aku tak pernah
menatap keluar jendela bus. Aku tak mau melihat perihal-perihal unik mencuri
perhatianku. Aku takut jika perkara unik itu hanya akan membawaku pada
perjalanan-perjalanan cinta panjang yang sulit untuk diakhiri. Demikianlah
Stefano.
Tak ada sahutan.
“Fano!!” Aku berteriak kesal
ketika tahu bahwa Stefano tertidur.
2 komentar:
klo ente ke AMsterdam, jangan lupa ane nitip beliin jersey Ajax. Uangnya ane transfer :)
Hehe, insyaallah, :) Btw ntm ini fans Sampdoria apa Ajax ust? wkwk
Posting Komentar