Coelho
bilang, bagi orang-orang yang tidak takut berada dalam kesepianyang menyingkap
misteri-misteri, hal-ihwal akan nampak (reveals) dengan rupa yang berbeda.
Saya
mendengarnya pertama kali dari guru menulis, lebih dari setahun lalu, dalam sela-sela
komentarnya terhadap cerpen milik saya. Ia bilang dengan kening berkerut. Nampaknya,
kegusaran itu bukan sekedar basa-basi pelengkap pelajaran menulis sore itu.
“Sekarang ini,
ruang komentar dalam dunia maya sudah menjadi ajang unjuk gigi. Tapi isi kepala
tak pernah bohong. Orang-orang bodoh hanya akan mendedah ketololannya lewat
komentar-komentar tak bermutu.”
Redaksi di
atas milik saya, saya lupa bagaimana tepatnya. Intinya, beliau mencemaskan
perkembangan budaya masyarakat Indonesia yang semakin vokal berkomentar.
Sayangnya, sikap ini tanpa dibarengi tanggungjawab intelektual dan moral.
Barangkali spirit
demokrasi turut membuka keran kecenderungan baru ini. Dengan kebebasan
berekspresi yang sangat dijunjung tinggi, setiap orang dewasa ini dapat bertindak
apa saja, tanpa perlu cemas ada peluru petrus yang tiba-tiba nyasar di kepala.
Sekarang, semua orang dapat berpolah seakan-akan ahli, namun tanpa berpikir
panjang akan konsekuensi.
Saya
kemudian turut terjangkit kekhawatiran itu. Apa pasal? Di tempat saya hidup,
Masisir mulai semakin cerewet. Setiap kejadian tak lepas dari tanggapan.
Masalahnya, tidak semua respon disampaikan dengan bahasa akademisi yang
menuntut renungan dan etika. Banyak kalimat-kalimat tak pantas mengotori
kolom-kolom komentar.
Saya ingin
mengatakan, bahwa dunia maya adalah pertaruhan integritas. Di saat karya-karya Masisir
belum mampu menunjukkan potensi komunitas ini, orang-orang luar tetap dapat
menilai dinamika kehidupan sosial-intelektual kita melalui dunia maya. Mereka
tidak hanya mengendapkan pemikiran Masisir dalam menilai benar-salah suatu
perkara, tetapi juga mencerna sikap dan budaya intelektual kita dalam berbeda
pandangan, debat, dan cara menghadapi masalah.
Saya
khawatir penyakit ini semakin serius. Baru-baru ini marak lagi akun-akun anonim
yang mengumbar bola liar tentang isu-isu sensitif. Bukan benar salah kultwitnya
yang utama, tetapi bagi saya, akun-akun yang tak bisa diidentifikasi adalah
bentuk ketidakbertanggungjawaban. Melihat fenomena ini, saya takut nalar kita
hanya mampu mencontek sikap-sikap buruk dari dinamika Indonesia, sementara di
saat bersamaan, gagal memberi nilai positif pada diri sendiri.
Belum lama
ini, di tengah sukarnya ujian, perdebatan kembali marak. Ada seorang kawan
mencetuskan ide bagus. Fahmi Hasan, kawan itu, meminta saya memasang foto
profil seragam, orang dengan telunjuk di bibir. Intinya pesan kepada siapa saja
untuk lebih banyak diam daripada berkomentar yang tak dapat
dipertanggungjawabkan.
Rupanya,
masalah kita ini juga pelik di tanah air. Dalam pidato kebudayaan di DKJ
beberapa waktu lalu, seorang kontestan, Karlina Supelli, mengusulkan satu
solusi:
“Ruang-ruang publik sudah terlalu gaduh dengan komentar siapa
saja yang bisa menjadi pakar apa saja di segala persoalan. Tugas kebudayaan
para budayawan dan intelektual adalah menghidupkan kembali, pada aras praktek,
perbedaan yang ketat antara komentar acak dan pemikiran yang berakar dari
perenungan mendalam.”
Lebih jauh, budayawan Emha Ainun Najib ternyata sudah melek
akan masalah ini. Karena itu dia seperti ditelan bumi, jarang sekali muncul di
media. Dalam salah satu wawancara ia berkata:
“Tapi bahwa saya jarang bicara di media, itu karena saya
melihat sebagian besar media saat ini sudah sangat tidak mengasyikkan. Terlebih
di zaman yang salah satunya melihat ketenaran sebagai kebenaran, media
berkontribusi besar menjadikan kebodohan menjadi milik masyarakat. Dan jujur
saja, kenyataan yang terjadi pada media ini menjadikan saya tidak bahagia dan
terangsang untuk kembali menulis.”
Barangkali kesadaran mental macam ini pula yang membuat saya
semakin jarang menulis. Tetapi sepertinya hal ini tepat. Sekaranglah saatnya,
orang-orang yang “benar-benar” berpendidikan dan berbudaya perlu memberi contoh
bersikap cerdas. Meski sikap itu adalah diam.
Kafa bi al-mar’I kadziban an yuhadditsa bi kulli ma sami’a
0 komentar:
Posting Komentar