Pembaca sekalian, kalian tentu
pernah masyuk dalam serenade hujan, hanyut dalam melodinya. Tapi pernahkah
kalian berpikir bahwa hujan yang selama ini membasuh kerontang, meredam isak tangis,
menyamarkan air mata dan membubungkan aroma tenang, memiliki hati yang tak bisa
ia selamatkan?
***
Kau hujan pertama lepas
musim kerontang, tapi kau adalah mala jika hanya menguap di interval kemarau
panjang.
Kusebut kau rinai, karena kau
penyebab derai yang hingga kini tak kunjung usai. Tapi mulanya bukan lantaran
itu.
“Namaku hujan!” ujarmu sambil
mengibas rambut basahmu. Aroma lavender mengudara. Aku tertawa.
“Namamu aneh. Wanita biasanya
bernama puspa, melati atau nama bunga lain,”
“Tapi aku lahir ketika rintik. Saat
gerimis di atap rumah kami mendetik. Ibuku suka hujan. Lagipula, bukankah aku
mirip hujan, segar, sejuk dan syahdu,“ kau mengedipkan sebiji matamu. Aih,
bagiku itu halilintar, menggelegar dan menyusupkan gentar.
“Ya sudah, kupanggil kau rinai
saja, ya. Karena tak semua hujan menyegarkan,” kupalingkan muka karena
tiba-tiba saja adrenalinku berdesir.
Itu adalah pertemuan pertama
kita. Dalam hujan yang tiba-tiba membanjur Bintaro siang itu, di tengah musim
kering, kau tiba-tiba mampir berteduh di kios koranku. Kita lalu berbincang
dalam guyur, tentang para petani yang berharap dengan hujan deras siang itu
tanamannya subur. Kutawarkan koran-koran daganganku, nahasnya kau tak tertarik
beli. Tapi aku bahagia waktu matamu berbinar saat kutunjukkan koleksi bukuku.
“Penjual koran sepertimu punya
Don Quite De la Mancha?” alismu mengernyit. Bulunya yang tebal hitam terlihat
lucu dengan polah itu.
“Haha, kau meremehkanku. Tidak
semua penjual koran berkulit sawo matang dan pendek tak tahu buku bagus. Aku
tercatat mahasiswa pasca sarjana sastra Inggris di UNY.” Kutunjukkan kartu
mahasiswaku.
“Aku juga punya Anna Karennina
Tolstoy, Ghaire Baire Tagore. Eh sebentar, kau pasti suka ini..” Aku membuka
kardus di bawah meja kasir.
“Hah, Mo Yan!” kau langsung
merebut Red Sorghunn Clan dari tanganku. Hampir saja kovernya sobek.
“Dasar China!” umpatku diakhiri
tawa kecil. Kau ikut tertawa manis sambil menjitak kepalaku.
Siang itu adalah metafora pas
untuk dirimu. Seseorang yang membasahi hatiku usai lama kering tak terbasuh. Aku
sudah lama menutup hati, selepas ditinggal Sarah, kekasihku yang tiga tahun
lalu meninggalkanku karena alasan yang sangat berperikewanitaan, materi. Seorang
cukong rumah makan Padang melamarnya dan ia tak bisa mengatakan tidak. Waktu itu
aku cuma mahasiswa semester empat yang hanya bisa menulis puisi, tak bisa
memberi makan bahkan untuk diri sendiri.
“Sudahlah, barangkali dia memilih
juragan itu karena lebih cocok dengannya!” komentarmu saat kuceritakan masa
lalu.
“Cocok apanya? Aku sudah setahun
bersama Sarah dan ia seperti benalu yang tak bisa lepas dari dahanku. Tapi bisa
jadi sih, filosofi hidup mereka cocok. Mereka pasangan peternak dan ayam
petelur. Laki-lakinya memberi makan dan sang perempuan kerjaanya hanya
bereproduksi. Ayam petelur memang tak tahu indahnya berbalas puisi.” Aku
menumpahkan semua keluh kesah yang selama tiga tahun tak pernah kuceritakan.
Kau terkekeh-kekeh sampai menunduk-nunduk memegangi perut. Katamu aku lucu,
konyol dan bodoh.
“Kalau ia memang ayam petelur,
mengapa pula kau tak sadari dari dulu? Laki-laki memang munafik. Kau pasti tak
bisa lihat ayam petelur berparas cantik kan? Hahaha,” Kau kembali tergelak,
menyebalkan sekali. Ingin kutonjok mukamu tapi bersitan-bersitan merah di
sekujur muka dan mata sipit yang memejam saat tertawa itu menggagalkan
semuanya. Aku malah jadi melongo menikmatinya.
“Ngomong-ngomong, menurutmu
Rinai, ada tidak, sih, wanita yang tidak matre?”
“Uhuk. Bokapku sebenarnya tak
kalah kaya dari Hari Tanoe, Surya Paloh atau ARB, bedanya daddy nggak main di
politik aja. Kalau aku matre, mana mungkin anak bilioner mau duduk dengan
pribumi gembel sepertimu?” Kau bersedekap, mengangkat dagu. Kali ini aku yang terpingkal-pingkal.
Selanjutnya karena kita-sama
sarkas, nyambung dan antusias (oia, maaf kalau aku sedikit lebih cerdas) kita
berkelindan. Sebenarnya tidak pula secepat itu. Kita lebih dulu menyocokkan
kepala dengan berbincang tentang pemikiran-pemikiran Sartre, Camus, dan
Chomsky, serta berdiskusi panjang tentang karya-karya Gabriel Garcia,
Hemingway, Kafka, dan Pamuk.
“Kata Chomsky Israel itu rasis.
Bagiku konsep negara satu ras itu kolot. Masa di dunia modern seperti ini
mereka masih saja mengajukan alasan primordial. Buktinya, di Indonesia, kau
China dan nyaman-nyaman saja hidup di Jakarta,” selorohku.
“Eit, pemerintah sudah melarang
penggunaan kata China lo, jadi mulai sekarang kau harus sebut aku Tionghoa,
haha,” kau menuding-nuding seperti polisi menemukan pengendara motor tak bawa
SIM.
“Kata-kata tak perlu dibunuh,
mental buruk orang yang perlu dibenahi,” jawabku. Kami sepakat.
Saat kucecar perihal asmara, kau
bilang masih sendiri. Kutanya mengapa, kau bilang menikah itu bukan soal dengan
siapa kita jatuh cinta.
“Belum nemu yang cocok saja. Kita
bisa bertemu dengan seseorang dan jatuh cinta. Tapi menikah adalah tentang menjalani
sisa hidup kita, ini tentang skill membuat keputusan.”
“Apakah orang-orang di
sekelilingmu bodoh semua? Kau terlalu sempurna untuk dilewatkan.”
“Haha, tentu saja banyak eksmud
yang mendekatiku. Dari yang sok gentle sampai yang menelpon tiap malam. Tapi
aku mencari laki-laki yang menjalani hidup seperti ia menikmati lawak, banyak
orang terlalu obsesif dengan hidup ini, terutama di komunitas kami,” kamu
tersenyum, matamu hampir menghilang, haha.
“Tapi jangan banyak berharaplah.
Kamu pendek, hitam dan dekil,” ejekmu. Kami lalu sama-sama terhuyung menahan
tawa.
Ya, aku merasa kita sama, sarkas.
***
Bahwa hidup ini absurd, seperti
kata Camus, aku baru sadar kemudian.
“Seno, aku ini hanya mayat hidup.
Hatiku telah dicangkok. Jika kau melihatku begitu riang sekarang, semua itu
karena seseorang yang telah hampir mati akan jadi lebih kuat. Aku dulu wanita
payah dan peminum, hatiku rusak. Jika masalah hatimu adalah perasaan, hatiku
benar-benar bermasalah secara medis.” Kau sesenggukan, baru kali ini kulihat wajah
beningmu dibanjiri air mata.
“Tapi kau masih bernafas, kan.
Teknologi telah banyak membantu manusia,” kubelai rambut hitam panjangmu.
“Teknologi tak bisa mengubah
takdir. Sayangnya jodoh termasuk hal yang tak bisa diubah,” kau tiba-tiba memasang
mimik serius.
“Ya, sebaiknya kau lekas tahu.
Aku mencintaimu, Seno…” Aku terburu-buru sumringah, tapi kata-katamu ternyata belum
tuntas, “tapi kau juga perlu tahu secepatnya. Ahok, taulan jauhku dari Batam
melamarku. Masalahnya tentang hati. Benar-benar perihal hati. Dialah yang
mendonorkan sebagian hatinya untuk ditranplantasikan di hatiku,” bulir-bulir
kembali membasahi pipimu. Dan kini, tanpa kusadari, ia juga mengalir hangat di
wajahku.
“Aku tak tahu harus bagaimana.
Apakah harus memilihmu karena hatiku ada untukmu, atau dia yang sebagian
hatinya telah ada di dadaku. Aku harap kau mengerti.”
Kata-kata terakhir itu hingga
kini tak lekang dari ingatanku. Setelah pertemuan itu kita tak lagi bersua.
Kabarnya kau menikah dan pindah ke China untuk menghindar dariku. Semoga di
sana kau bertemu Mo Yan. Kau memang hanya hujan monyet yang turun dalam
ganasnya kemarau, hanya menyisakan batuk, pilek dan gejala influenza lainnya.
Hingga kini aku selalu bertanya pada Tuhan, apakah Hujan turun untuk
menumbuhkan harapan baru bernama cinta, atau hanya membubungkan aroma lama
tentang luka?