“Masyarakat yang tidak memiliki harapan akan
lumpuh,” M Fethullah Gulen.
Masisir panik. Pesta demokrasi yang sebentar
lagi dihelat menjadi akar perkara. Banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia di
Mesir tidak tahu harus berbuat apa dalam pemilu 5 April nanti. PPLN (Panitia
Pemilihan Luar Negri) telah mengadakan sosialisasi, tapi acara beranggaran
besar itu sepertinya belum cukup mengusir kebingungan.
23 Maret lalu, di Aula Limas, PPLN punya
hajatan besar, sosialisasi pemilu. Agenda dikemas dengan presentasi pemenang
lomba kolom dan dilanjutkan dengan debat perwakilan parpol. Yang unik, di
tengah presentasi, lampu mati. Menurut saya, kejadian itu menyuguhkan metafora
yang tepat sekali: di tengah glamornya usaha pemerintah mempopulerkan pemilu,
kelamnya apatisme Masisir tak dapat seluruhnya diterangi.
Belum lama ini, saya baca komentar di facebook
kerabat saya bahwa golput akan menang. Sebelumnya, seorang kawan yang lain
menulis status yang membela prinsip-prinsip golput. Teman sekamar saya juga
bilang tidak akan memilih. Dia beralasan selain tidak mengenal caleg yang maju,
kekecewaan terhadap wakil rakyat yang menjabat saat ini juga membuatnya
memutuskan abstain.
Apatisme ini sebenarnya tak jauh beda dengan wabah
pesimisme yang melanda masyarakat Indonesia secara umum. Masisir hanya cermin
kecil pemantul wajah asli dinamika politik nasional. Karim Raslan, penulis
berkebangsaan Malaysia yang sangat memerhatikan dinamika kebangsaan Indonesia,
mengatakan bahwa kampanye politik edisi kali ini adalah yang paling suram.
Karim, yang punya proyek Ceritalah Indonesia, telah mengikuti perkembangan
politik nasional sejak 1999.
Karim meneliti antusiasme masyarakat di dua
propinsi paling padat penduduk, Jabar dan Jatim. Di Sidoarjo, Karim menemukan Nugroho,
57 tahun, yang menyatakan akan golput karena muak dengan politik uang para
caleg. Di Ponorogo, ia berjumpa dengan Arif, pemulung sampah usia 31 tahun yang
bilang bahwa pemilu legislatif hanya sebuah kemubaziran. “Tak akan ada yang
berubah,” ujar Arif. Akibat keadaan ini, Karim menyimpulkan bahwa masalah utama
bangsa Indonesia saat ini bukan lagi perihal disintegrasi, tetapi kekecewaan
masyarakat yang meningkat terhadap demokrasi nasional.
Menurut saya,
kekecewaan semacam ini wajar. Kita sama-sama muak dengan maraknya kasus
korupsi, kelambanan dan tidak efektifnya pemerintah, perilaku buruk elit
politik, juga seperti yang teman sekamar saya bilang, ketidaktersediaan calon
legislatif yang ideal. Hal ihwal ini membuat orang banyak berpikir bahwa
barangkali golput adalah solusi instan.
Tetapi apakah benar
golput akan menyelesaikan masalah? Secara
tidak langsung, tidak menggunakan hak pilih adalah memberikan legitimasi bagi
pemenang pemilu yang belum tentu menyuarakan aspirasi kita. Dr Hamid Fahmi
Zarkasyi, cendekiawan Muslim tanah air, menyuarakan retorika menohok untuk
mereka yang berniat golput:
“Jika Anda tidak mau ikut pemilu karena kecewa
dengan pemerintah, atau anggota DPR, atau parpol Islam, itu hak Anda. Tetapi
jika Anda dan jutaan orang lain tidak ikut pemilu maka jutaan orang fasik,
sekuler, liberal, atheis, akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita.
Niatlah berbuat baik meski hasilnya belum tentu sebaik yang engkau inginkan.”
Lebih jauh, golput dapat menimbulkan gonjang-ganjing politik hingga
mengancam persatuan nasional. Bayangkan jika kebanyakan orang, karena putus asa
dengan keadaan saat ini, memutuskan untuk tidak ikut berpartisipasi. Akibatnya,
pemerintah akan kehilangan legitimasi, kemudian tiap-tiap kelompok –komunis,
radikal, anarkis, dll- merasa berkuasa atas negri ini. Perang saudara bisa jadi
akan menjadi masa depan buruk bangsa ini.
Bahwa demokrasi
nasional saat ini berjalan buruk, kita sama-sama mengetahui. Namun kita juga
tak boleh menutup mata bahwa masih banyak hal positif dalam dinamika kenegaraan
kita. Indonesia adalah negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Anis
Baswedan, rektor Universitas Paramadina, menyebutkan bahwa salah satu sisi
positif negara ini adalah kedewasaan politik. Peserta konvensi capres partai
Demokrat ini menjelaskan lebih jauh bahwa sebenarnya ada banyak sekali kasus
dalam pilkada. Tetapi semua kasus itu selesai di meja peradilan lalu
masing-masing pihak berbesar hati menerima putusan hakim. “Yang jadi masalah
jika setiap pihak yang tak puas turun ke jalan lalu bakar-bakaran semua -seperti
di Timur Tengah-,” ujar Anis. Sikap bangsa Indonesia yang legowo itu, kata
Anis, adalah tanda bangsa beradab.
Perlu
diperhatikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang masih muda dalam pencarian
sistem pemerintahan ideal. Sepatutnya kita menyadari bahwa dalam proses
pencarian itu akan ada trial and error. Amerika Serikat saja pernah
mengalami perang saudara sebelum menjadi negara super power. Yang
dibutuhkan Indonesia sekarang adalah solusi berwujud peran aktif, bukan sikap
apatis.
Kita harus
optimis masalah demi masalah dapat diselesaikan dengan sikap politik yang
aktif, cerdas dan tepat. Bukankah korupsi, efektifitas pemerintah, perilaku
elit, dapat ditanggulangi dengan memilih wakil dengan integritas baik. Pula,
bila masalahnya adalah ketidaktersediaan calon yang dibutuhkan masyarakat,
mengapa tidak memantaskan diri menjadi wakil rakyat?
Tidak menggunakan hak suara, seperti
menggunakannya, adalah opsi. Tetapi setiap pilihan memiliki konsekuensi, dan
golput dapat membawa akibat yang amat buruk. Dalam khazanah keislaman, para
salaf menggunakan istilah “setan bisu” untuk mereka yang diam dari kebenaran.
Bagi saya, golput termasuk golongan itu. Bukankah dalam demokrasi, setiap
individu dijamin kebebasan menyuarakan kebenaran? Bahkan kebenaran versi apa
saja.
Maka, Masisir sebagai komunitas akademis,
menurut saya perlu mempertimbangkan lebih jauh sikap politiknya. Kita bukanlah
masyarakat tak berpendidikan yang mendasari setiap pilihan tanpa pertimbangan
nalar berpikir dan landasan ilmiah. Kita adalah komunitas terdidik yang tindak
tanduknya jadi teladan. Terutama karena kita adalah entitas pelajar yang
–mayoritas- berkecimpung dengan khazanah keilmuan Islam. Tugas kita adalah
menjadi pionir yang mendorong perspektif optimis dan harapan atas masa depan
bangsa ini. Karena masyarakat yang tak punya harapan, kata Gulen, akan lumpuh.
*dimuat di buletin mahasiswa Indonesia di Mesir, Terobosan
*dimuat di buletin mahasiswa Indonesia di Mesir, Terobosan
0 komentar:
Posting Komentar