RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Selasa, 02 Juli 2013

Wanita Berhati Kelabu


Gambar: www.illustrationsource.com

Setahuku, wanita cantik selalu berhati kelabu. Kalbu mereka adalah sore berkungkung mendung yang enggan menitikkan gerimis. Kelopak mereka diganduli beban-beban kesedihan yang menggumpal. Mata mereka memancarkan api kehidupan yang redup. Dan jika kalian perhatikan, di antara ceruk-ceruk molek di dua sisi pipi mereka kala tersenyum, yang membuat sungging mereka semanis gulali, tersimpan beberapa butir gundah gulana.

Ini berbeda dengan apa yang ku baca di tatal dongeng-dongeng. Dalam hikayat, putri-putri jelita selalu berona cuaca pukul tujuh pagi di kampung lereng gunung, sejuk, lembab dan teduh. Hati mereka pun selalu meriah. Berhiaskan manik-manik tawa bahagia, seringai yang memahligai, dan pijar-pijar membara dari kedua pelita mata.

Aku baru tahu perbedaan antara wanita sempurna mitos dengan mereka yang ada di alam nyata suatu hari. Ketika sesosok wanita berdiri mematung di depan jejeran buku bekas jualanku, waktu aku sedang memilah-milah buku yang tak laku. Ketika itu hari masih pagi, matahari belum tegak berdiri. Rambutnya yang panjang sepunggung melembai-lembai diterpa angin. Melihatnya, aku teringat bendera berkibar dan tiangnya yang kaku di tengah lapangan. Kebetulan, sekilas ia memang mirip bendera merah putih. Kulitnya putih bersih, sementara warna merah  menyemburat di beberapa sisi, terutama di bagian antara pelipis dan pipi. Oh iya, ia juga semampai.

“Nyari buku apa, Mbak?” Tiang pancang itu akhirnya bergerak,  sementara rambutnya tetap berkibar.

“Oh, ada Romeo dan Juliet Shakespeare?” Keningnya berkerut, sembari matanya melompat-lompat menyusuri buku-buku. Aku bisa menangkap getar-getar kegundahan dari matanya.

“Wah lagi kosong stoknya, Mbak,” Tanganku menggaruk kepala yang tak gatal, sedikit kecewa. Entah kenapa naluri laki-laki selalu ingin menyenangkan wanita yang tengah bersedih.

Ia hanya menghembuskan nafas, sepertinya kecewa juga.

“Baca buku-buku itu aja Mbak, asyik-asyik lho ceritanya!” Ujarku sambil mengarahkan telunjuk ke tumpukan novel-novel teenlit.

“Ah, aku tak suka buku-buku Indonesia kontemporer. Lebih mirip permen daripada buku. Kemasannya warna-warni. Kebanyakan menawarkan manis, sedikit menyajikan rasa lain, dan semuanya tak pernah membuatku kenyang.”

Amboi, baru kali ini kutemukan wanita cantik yang begitu mengerti metafora.

Kemudian entah kenapa awan-awan mengerumun, mungkin semesta turut berempati, tak sampai hati menyaksikan kemasygulan mengotori paras wanita cantik. Mendung pelan-pelan menebal, membentuk gempal-gempal hitam. Angin turut bersiut pilu, petir meneriakkan simpatinya, dan langit segera termehek-mehek.

Dalam kungkungan gerimis yang menjelma lajur-lajur jeruji itu, kami menghabiskan hari di toko bukuku. Aku menyuguhinya teh panas dan biscuit jatah makan malamku. Lalu kami bercerita, membelah kisah hidup masing-masing menjadi potongan-potongan yang dapat dicerna. Terutama tentang buku-buku dan asmara. Sebenarnya aku hanya bersikap sekedarnya, menimpali ceritanya tanpa pretensi. Tapi entah mengapa dia begitu antusias terhadapku. Barangkali karena para wanita cantik sudah sangat muak dengan terlalu banyaknya lelaki yang menggumbar rayu.

“Mengapa kau namakan tokomu Anak-Anak? Sepertinya dulu kamu terobsesi menjadi guru TK,” Ia memandang plakat nama tokoku yang bergambar dua bayi membaca buku.

“Hahaha, tidak juga, ini berhubungan dengan asmara. Aku pernah mencintai buku dan anak kecil. Karena itu aku rasa menjadi penjual buku dengan menamai tokonya “Anak-Anak” akan menjadi penjaga kenangan yang baik,” Aku menjawab sembari memalsukan senyum, menahan getir-getir masa lalu yang tiba-tiba menyeruak.

“Apa, kau mencintai anak kecil? Pe..o..hahaha!!” Ia menuding-nudingku dengan dengan senyuman sarkastis, menggantung kalimatnya dengan tawa nyaring yang lepas sekali.

“Tidak, aku lelaki normal, namun kadang-kadang beberapa wanita dewasa memiliki anak kecil dalam dirinya, dan aku mencintai salah satu dari mereka,” pelan saja aku menjawab, biarlah ia puas menertawakanku, aku cukup senang membuat orang lain bahagia.

“Haha, kamu lucu,” Ia berkata demikian sambil menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari.

“Tentu orang yang kau cintai sangat cantik. Memangnya apa yang menarik dari anak kecil?” tanyanya usai menyeruput teh yang sudah agak dingin.

“Ah, tidak juga, ia tak cantik, tapi sangat periang, melihat polahnya saja membuatku merasa hidup ini telah lengkap. Apalagi yang dicari dari hidup selain kebahagiaan?” jawabku dengan senyuman lebar. Tapi hei, dia malah tiba-tiba murung.

“Kamu kenapa?” Ia hanya menggeleng, lalu tak dinyana air matanya meleleh, bagai lilin dilahab api yang menggelepar-gelepar.

Aih, laki-laki selalu kikuk dalam keadaan begini. Di satu sisi kelaki-lakian mengharuskan memberi rasa tenang bagi wanita yang tengah bersedih, tapi aku tahu, bagaimanapun ia adalah wanita asing bagiku. Aku membiarkannya menangis hingga usai, lalu menyodorinya selembar tissue.

“Aku iri dengan anak kecil itu, bagaimana ia begitu riangnya,” dia mulai berbicara ketia sengguknya telah benar-benar usai. Matanya masih lebam.

“Bukankah kamu adalah wanita yang memiliki semuanya untuk bahagia? Kamu beruntung dianugrahi paras cantik yang tidak semua wanita punya,” Ujarku berusaha menenangkan. Sebenarnya aku paling anti memuji wanita, aku tahu hati mereka terlalu rapuh.

“Kecantikan membuatku lelah, aku capek menghadapi lelaki yang tertipu oleh kecantikan. Aku ingin diperlakukan sebagai wanita yang ingin bahagia, bukan sang jelita yang selalu memesona,” lanjutnya, tangannya menyapu sisa-sisa air mata di sudut-sudut mata.

“Bukankah wajar manusia menyukai keindahan?” tanyaku.

“Tapi yang demikian menyusahkanku menemukan lelaki yang benar-benar baik, benar-benar tulus, karena semuanya berlomba menunjukkan kebaikan-kebaikan palsunya,” ia menatapku, “aku belum pernah menemukan orang secuek dirimu kala menghadapi wanita cantik,” ia tersenyum. Ah, inikah pikat yang membuat para lelaki memasang kepalsuan itu. Barangkali demikian, karena senyuman itu lebih indah dari temaram senja yang merona Parang Tritis. Selama ini, bagiku tak ada yang lebih indah dari sore hari di pesisir Yogyakarta itu.

Semenjak saat itu, seringkali aku menutup tokoku lebih awal. Karena ia mengajakku menghabiskan sore mengitari Malioboro. Membincang sejarah Indonesia di pelataran monumen Serangan Umum 1 Maret, menyantap es degan di depan benteng Vredenburg, menelusuri gang-gang pasar Beringharjo sekedar membeli selembar kain batik, adu piawai menawar barang di trotoar Malioboro dan mengakhiri malam dengan sepiring gudeg di seberang stasiun Tugu. Ia membuatku melupakan buku dan anak kecilku.

“Kenapa kau ingin membaca Romeo dan Juliet?” tanyaku dalam salah satu petualangan sore kita.

“Karena aku ingin mencari seorang pangeran yang menjagaku setulusnya.” Dan kalian tahu, semenjak itu aku merasa diriku adalah Romeo.

***
Aku masih menutup toko lebih awal, berjalan-jalan di pusat kota Jogja, tapi sudah tiga bulan ini tanpa Julietku. Ia menghilang entah kemana. Barangkali ia sedang ada kesibukan, pikirku. Lalu kuberniat memberinya kejutan. Ku ubah tatanan toko bukuku. Plakatnya kuganti dengan nuansa romantik, seperti hatiku yang tengah dijejal-jejal rindu. Sebuah tulisan “Romeo dan Juliet” kini menjadi penghias muka kios kecil ini sekaligus menjadi cetakan di atas kanan kwitansi. Di samping tulisan itu ada kopian lukian Bernard Diksee.

Di tengah segala setting yang tengah ku persiapkan sebagai kejutan untuk Julietku. Suatu hari, kala mendung menggantung, seorang Pria tampan berdiri di depan kios kecilku. Ia baru saja turun dari sedan Mercedes peraknya. Ia mengedarkan pandang ke plakat kios-kios yang ada, seperti tengah mencari sesuatu.

“Nyari toko apa, Mas?” Aku menegurnya.

“Eh, ini Mas, toko buku ‘Anak-anak’ dimana ya?” Tanyanya sambil menimang-nimang selebaran kecil.

“Oh, toko itu sudah tutup, Mas, memangnya kenapa?”

“Eee, ada titipan untuk penjualnya,” Ia memperlihatkan selebaran itu.

“Sini Mas, nanti saya sampaikan ke orangnya,” aku ingin tahu selebaran apa itu.

“Ini!” ia menyodorkannya, lalu segera mohon diri. Sebentar lagi hujan, katanya. Aku segera tersadar bahwa selebaran itu adalah adalah sebuah undangan pernikahan. Tertulis di muka dengan font cantik, Julia dan Rama, mohon doa restu. Aku ingat Julia adalah Julietku, tapi siapa Rama?

“Mas, mas!” tergopoh-gopoh ku kejar pria tampan tadi. Ia berbalik, air mukanya menyiratkan tanda tanya.

“Mas namanya Rama?” tanyaku.

Ia tersenyum, segera saja  lututku bergetar. Aku hanya bisa berdiri mematung menatapnya pergi. Argh, beginikah hati wanita-wanita cantik. Baru kemarin ia melenguh seolah ia satu-satunya korban kekejaman dunia, dan sekarang ia berulah tanpa sadar bahwa ia adalah kekejaman itu sendiri.

Aku pesimis pria parlente itu mampu mejadi Romeo untuknya, ia juga bukan Juliet. Tapi jika mereka memang Romeo dan Juliet, artinya mereka harus mati.


Tanganku mengepal.


Sabtu, 22 Juni 2013

Pria yang Hanya Ingin Jadikan Wanita Inspirasi

Wanita mematut-matutkan diri ke cermin. Ia membolak-balik badan gaya lenggok peragawati, memastikan baju kurung biru mudanya rapi terjuntai. Jemarinya menggerayangi setiap inchi kepala. Jarum-jarum haruslah tertanam sempurna, hingga tak menganggu kenyamanan.

Dandanannya kali ini sahaja, bukan pashmina yang sedang ngetrend itu, yang memakainya harus diputar-putar keliling kepala. Macam ikat kepala pendekar saja, berlebihan, pikirnya. Kerudung lebarnya hanya dikenakan sederhana,  tergerai lebar menutupi bagian atas tubuh. Tapi Pria –lelaki yang hendak ditemuinya- bilang dandanan macam itu lucu, karena di dua tanduk kepala terdapat sepasang lekung, mirip lambang dua lesung pipimu, katanya. Ah, lelaki memang pintar mencari titik lucu dari wanita. Atau, kami memang terlihat semacam badut?

Barangkali kata mancung yang banyak di dengar dari para pria untuk hidungnya bukan bermakna molek seperti yang ia maklumi, bisa jadi berarti lucu, seperti kita memahami hidung bulat para badut. Atau, eh, apakah rias wajah kami tak ubahnya adonan warna pada muka badut? Wanita tidak tahu bagaimana pendapat pria secara umum, tapi Wanita tahu, bagi Pria demikianlah adanya.

Setidaknya demikian yang ia dengar dari mulut pria.

“Wanita bukan bunga, beradu elok dengan kelopak dan mahkota. Wanita punya jiwa, dari sanalah terpancar pesona.”

Dan karena itu pula, Wanita sering memergoki Pria memerhatikan matanya dengan seksama.

“Hei, kenapa kau tatap mataku seperti itu?” Suatu ketika Wanita tak kuasa menahan rikuh.

“Mata adalah gapura menuju kalbu. Matamu mengisyaratkan pertanyaan pelik di palung hatimu. Aku hanya sedang menerka,” Pria hanya tersenyum lebar saat menjawab, tapi pandangannya dilemparkan ke jalanan.

***

“Bukunya di bungkus kertas kado yang mana non?” Bik Ijah tergopoh-gopoh masuk kamar Wanita.

“Pakai biru donger aja bik, jangan lupa bikin pitanya ya bi?” Wanita menoleh sejenak, tersenyum, lalu kembali menelusuri sorot matanya sendiri dalam cermin.

Tapi, akhirnya ia membuktikan sendiri bahwa teori Pria meski tak pernah ia dengar di semua kelasnya, adalah benar adanya. Dalam bola mata Pria, di balik selaput tipis yang memijar-mijar itu, ada sebuah tanda tanya. Tanda tanya itu menari-nari, berjingkat-jingkat, melambai-lambaikan tangan memintanya mendekat. Jiwanya yang tak pernah tenang melihat pertanyaan pun tertarik. Dan segera saja, tanda tanya itu menyedot jiwanya masuk dalam kelopak mata Pria. Semakin masuk ke dalam, semakin banyak pertanyaan yang membuatnya tersesat, terjerat dalam labirin kepribadian Pria.

Ah, pria ini, yang ketampanannya tertutupi kedekilan, bagaimana bisa memiliki impresi ini? Sensasi yang terajut dari rangkaian pertanyaan -tentang dunia, cita, dan terutama mimpi- bagi Wanita lebih menarik daripada kekokohan bahu, kulit putih bersih, dan rambut licin berkilap para rupawan.

Kemudian Wanita larut dalam dunia Pria. Mengenali pertanyaan, saling membantu menjawab pertanyaan, dan yang paling mengasyikkan adalah berusaha membuat pertanyaan-pertanyaan baru. Wanita menikmati itu, hingga satu hal membuatnya kecewa.

Rupanya Pria tidak hanya menyusup dalam mata Wanita saja, tapi juga mata wanita-wanita lain. Ada mata berbulu lentik Dewi, mata sayu Syahdu, bahkan menyelinap dalam bola mata kelereng hijau milik Angel, noni Yankee yang sedang dalam program pertukaran pelajar.

Wanita kesal, cemburu, marah. Mengapa ketika ia telah memaknai cinta berdasarkan istilah cerdas Pria, lelaki itu justru bertindak kuno, terbang dari satu kuntum ke kuntum lain yang lebih semerbak dan mencolok? Mengapa pria itu berlaku layaknya mesin bodoh pencetak keturunan yang hanya bekerja oleh pikatan rupa?
Lalu ia mendapat jawabannya.

“Tidak Nita, aku bukan hewan penyerbuk. Aku hanya sedang meneliti sosok-sosok unik, para wanita,” Ujarnya dengan suara dalam, nafas tercekat, nampak iba. Rupanya ia tak memperlakukanku seburuk prasangkaku.

Tapi, argh, apakah dia pikir para wanita adalah fauna langka? Semacam cendrawasih gitu hingga setiap helai bulunya menarik ditelaah? Tentu saja aku marah disamakan dengan pesut Mahakam atau badak bercula satu.

Usut punya usut, akhirnya Wanita tahu dari Dewi bahwa perilaku Pria selama ini ternyata dilakukan untuk tujuan pragmatis. Ia sangat terobsesi menulis buku tentang wanita. Dia memanfaatkan hubungannya dengan para wanita selama ini serta sedikit keberuntunganya memiliki otak gemilang untuk tujuan yang individual dan komersil. Bah, sehina itukah dirinya?

Mengetahui semua itu Wanita mendapat ide untuk memberi pelajaran. Apalagi ia tahu proyek Pria banyak terbengkalai karena pelbagai hal. Akhirnya Wanita tulis buku ini, buku tentang seorang pria yang menjadikan wanita hanya sebagai inspirasi. Wanita senang membayangkan wajah terpecundangi Pria ketika menerima buku ini.

“Ih, non ko senyum-senyum sendiri? Lagi kasmaran ya?” Bik Ijah mencubit lenganku, membangunkan lamunanku.

“Hehe, nggak bik, lagi senang aja.” Aku mengerling.

“Ini bingkisannya sudah beres non. Bagus kan?” Bik Ijah menyerongkan kepalanya ke samping, dagunya di angkat naik.

“Hahaha, iya Bik Ijah yang paling narsis,” ujarku sambil balas mencubit lengan tembam pembantuku itu.

***

Ini hari ulang tahun Pria, Wanita mengunjungi rumahnya. Di teras, bersandarkan tiang pancang rumah, Pria masyuk menulis di antara kertas-kertas dan buku-buku yang berserakan.

“Nita!” Pria sontak berdiri seketika menyadari kedatangan Wanita. Raut mukanya khas, menyunggingkan pertanyaan-pertanyaan. Wanita hanya tersenyum.

“Aku ingat kau hari ini ulang tahun!” Kata Wanita sambil sodorkan bungkusan yang ditata Bik Ijah. Ia mengisyaratkan untuk segera membuka.

Pria menerimanya, membuka bungkusnya, lalu matanya sayu, tapi sekejap kemudian dia tersenyum lebar.
“Aku tak pernah tahu wanita. Ibuku meninggal ketika melahirkan. Aku diasuh di seorang preman dalam penjara. Masa mudaku habis di sekolah asrama yang seluruh siswanya adalah lelaki. Aku hanya ingin mengenal wanita. Terimakasih hadiahnya!”

Mata Wanita kuyu, dia teringat kata-kata Pria dahulu, “Penyesalan terbesar adalah ketika tersadar bahwa perbuatan kita dibangun atas pandangan yang salah.”


Jumat, 07 Juni 2013

Bertemu al-Faraby

Aku dipaksa berlutut dengan tangan terikat, mata pedang terasa dingin di tengkukku. Mau tak mau aku gentar juga, aku belum pernah dihadapkan pada situasi pertaruhan hidup mati seperti ini. Rambut-rambut kudukku berdesir, nafas menyengal, telapak kaki hingga sebatas lutut dengan sendirinya bergetar. Tapi sang filosof yang berdiri satu depa samping kiriku malah tersenyum-senyum.

“Jangan bohong! Aku tahu persis, kulit warna tanah liat kering orang ini serupa dengan kulit Ratu Ahia. Hamba sudah melihat mumi Ratu Ahia di taman Semiramis paduka. Orang ini dari Nusantara, dia pasti mata-mata Mongol!” orang tua berjanggut putih mengerut-ngerutkan dahinya, mencoba meyakinkan yang dipanggilnya paduka, telunjuknya mengacung ke mukaku.

“Tapi banthal-nya dari goni, labih masuk akal mengatakannya sebagai pengintai Romawi. Ia barangkali berasal dari Timur, tapi orang Timur tak akan memakai goni.” Orang tua lain berjanggut merah bara memukul-mukulkan tongkat kayunya ke pahaku. Aih, ini celana jeans, bukan goni, batinku. Dan kalian perlu tahu bahwa di zamanku semua orang Timur mengekor apa saja yang dikenakan Barat, termasuk jeans ini.
Yang dipanggil paduka kini menatap sang filosof, ronanya meminta penjelasan.

“Kau adalah anggota masyarakat yang baik Abu Nasr, setidaknya kau tulis begitu di bukumu. Abbasiyah sedang dalam ancaman, aku harap kau bertindak bijaksana!”

Namun sang filosof lagi-lagi hanya tersenyum, “Maaf paduka, hamba tak mengikuti perkembangan politik. Namun menurut hemat hamba, kalau pun Abbasiyah dalam bahaya, maka itu karena orang-orang Turki, Kurdi, Persia dan keturunan Buwaih, bukan bahaya dari luar.”

Serentak seisi istana gaduh, semua orang mencabut pedangnya. Segera sang raja mengangkat tangan, mengisyaratkan hadirin untuk tenang.

“Teruskan!”

“Biar anak muda ini membela dirinya, paduka!” sang filosof memegang bahuku, sang raja hanya mengangguk.

“Hamba memang dari Nusantara, Paduka, ta..pi bukan ma..ta-ma..ta. Hamba datang dari masa de..pan. Mongol ketika itu hanyalah negara kecil, tak punya ke..kua..tan.”  Aku terbata karena disela sengal. Ku tarik nafas agar kata-kataku selanjutnya teratur.

“Hamba benar-benar tak punya ikatan dengan Romawi. Satu-satunya alasan hamba datang ke masa ini adalah karena hamba ingin mengalahkan Romawi, yang ketika itu sudah berpindah ibukota ke Amerika. Matahari sudah terbit dari Barat di masa hamba hidup, paduka. Semua orang melihat Barat seperti menyaksikan matahari menyingsing. Hamba hanya ingin belajar filsafat dari pak tua ini, ada beberapa muskil yang perlu dijelaskannya.” Huftt, aku lega karena akhirnya bisa menaklukkan rasa gentarku.

“Tapi orang ini mengendap-endap di dinding istana, prajurit memergokinya!” Si janggut putih mendengus, nampak tak puas dengan keteranganku. Ia terlihat bernafsu sekali ingin memenggal kepalaku.

“Paduka, hamba jamin anak muda ini bukan mata-mata. Kepala hamba jaminannya. Dia benar-benar datang dari masa lalu, tapi hamba tak bisa menjelaskan dengan gamblang saat ini bagaimana itu bisa terjadi. Fisika telah berkembang luar biasa di masa itu tuanku!” Sang filosof membuka-buka lembaran buku.

“Barangkali penjelasan sederhananya adalah relativitas waktu paduka, pelajaran yang bagi hamba sendiri masih menyisakan beberapa perkara muskil,” Sang filosof menutup bukunya. “Ah, bukankah hamba sudah menjanjikan untuk menunjukkan perkembangan qanun hamba tuanku. Hamba sudah berhasil menemukan masalahnya, ternyata jarak antar dawai pada percobaan sebelumnya terlalu lebar!” Tangan sang filosof mengambil sesuatu di keranjang, lalu mengeluarkan alat semacam gitar atau kecapi.

“Ah, benarkah? Kalau begitu mari kita lihat bagaimana hasilnya.” Sang raja nampak sumringah, hadirin yang lain pun ikut melongo, mendekatkan pandang pada barang di tangan sang filosof.

Sang filosof siap memainkan alatnya, tapi ia tiba-tiba berhenti sejenak, menoleh ke arahku. Ia lalu merogoh sakunya dan memampatkan kapas di telingaku. Hei, kenapa kau sumpal telingaku. Aku juga ingin mendengar musik kalian, sergahku dalam hati. Aku hanya bisa merenggut tak karuan, tanganku masih terikat.

Lalu aku menyaksikan dawai-dawai dipetik pelan, ia hanya memakai telunjuk dan ibu jari, tangan filosof mengedar seperti gerakan menekan tuts piano. Aku tak bisa mendengar apa-apa. Tapi aku heran karena semua orang dalam ruangan itu tertawa. Beberapa bahkan terpingkal, memegang perut, terjengkang.

Kemudian jari tangan sang filosof mendadak bergerak cepat, kali ini seluruh jarinya ambil bagian, meliuk-liuk seperti gerakan tarian samba. Dan, hei, ini aneh, semua orang serta merta menangis. Sepertinya sedang dinyanyikan lagu syahdu. Kucoba goyang-goyangkan badan untuk melepas ikatan, demi mengambil penyumbat telinga. Aku ingin turut mendengarkan keajaiban ini. Namun usahaku sia-sia. Ini simpul mati.

Sang filosof seperti mengerti maksudku. Ia memandangku, melotot. Matanya seperti bola bilyar yang siap meluncur jatuh. Air mukanya menyuruhku untuk diam. 

Lalu ia pindahkan alat musiknya, leher alat itu didekatkan ke mulutnya. Hei, dia memainkan kecapi seperti main seruling saja, meski tangannya juga ikut bermain. Aku melihat fret kecapi tidak rata, tetapi cekung beberapa milimeter, di dasarnya ada semacam pita. Mungkin itu yang ditiup sang filosof. Ah, alat ini memang aneh.

Tapi keanehan terbesar adalah ketika aku sadar bahwa sekelilingku tiba-tiba jadi taman tidur. Semua orang yang tadi meneteskan air mata kini terlelap. Sang raja tersandar di singgasananya, kepalanya mengayun-ayun. Pengawal yang menjagaku tak dinyana sudah tersungkur, mulut mereka terbuka, sepertinya mendengkur. Tangan mereka mendekap gagang tombak. Sementara dua orang tua berjenggot lebat tadi terduduk di kursinya, badan mereka terhuyung ke depan namun tak jatuh karena tertahan perut yang besar. Kembang kempis nafas membuat perut mereka terlihat seperti bola basket yang coba di tenggelamkan, turun dan selanjutnya naik. Aku hendak tertawa melihat pemandangan ini. Tapi buru-buru mulutku di sekap.

Sang filosof melepaskan kapas kemudian berbisik, “diam! Ayo kita pergi!”

Kami berjingkat-jingkat agar tak membangunkan mereka. Aku berjalan dengan raut tergantungi banyak pertanyaan. Sesampainya kami di alun-alun, sang Filosof langsung berujar,

“Kamu harus kembali ke masa depan! Ingat, kalian harus pakai pakaian kami jika ingin kembali lagi!” Lalu ia meraih tanganku, menekan tombol mesin waktu di perglangan tanganku.

“Hei, aku belum selesai denganmu!” Aku kaget karena dia tiba-tiba mengirimku kembali, padahal ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan.

Kakiku mulai tercerabut. Argh, sakitnya luar biasa. Tapi kesempatan bertemu sang filosof harus dimanfaatkan.

“Faraby, dapatkah kau terangkan bagaimana teori emanasi?”

Argh, tak terperi sakitnya. Kini sel-sel badanku mulai terlepas.


“Biarlah misteri tetap menjadi misteri!” Faraby tersenyum, dan itu adalah hal terakhir yang kuingat.