(Sebuah Opini atas buku al-Tibr
al-Masbûk fi Nashihah al-Mulûk)
Keadilan, menurut al-Ghazzali, merupakan
syarat mutlak berlangsungnya sebuah rezim. Negara akan eksis selama keseimbangan
dalam masyarakat terjamin. Hilangnya kesinambungan sosial adalah penyebab
pertama chaos. Ujung-ujungnya, kekuasaan runtuh. Kekuasaan dapat
bertahan di tangan kafir, tapi tidak di genggaman lalim, begitu kutip
al-Ghazzali sabda Rasullah SAW di bab pertama.
Konon, buku ini adalah
persembahan al-Ghazzali untuk Sultan
Muhammad Malik Syah, sultan Seljuk setelah Tughril dan Alp Arselan. Sumbangsih
bukan melulu ketaatan yang pasrah, kritik membangun juga termasuk dedikasi.
Konten buku yang naskah aslinya
ditulis dalam bahasa Parsi ini lebih banyak berupa cerita-cerita. Intinya -yang
terletak pada petuah-petuah- dibiarkan al-Ghazzali tersembunyi di belantara
kidung-kidung. Memang ada beberapa nasihat yang diutarakan secara gamblang di
pangkal setiap bab. Tapi itu adalah ihwal normatif sehingga jauh dari kesan
menggurui.
Al-Ghazzali menulisnya dengan
santun, tapi juga sangat didaktis. Pembaharu Islam abad ke lima ini mendudukkan
Sultan sebagai seorang bestari, yang dengan sendirinya mampu menyimpulkan
alegori-alegori.
Sebanarnya, hikayat-hikayat itu
tidak rumit. Orang awam pun dapat memahaminya dengan mudah. Misalnya tamsil
berikut:
Syahdan, Khosrou I adalah raja
Persia yang adil lagi bijaksana. Begitu agungnya raja dinasti Sassaniyah ini,
hingga ia dijuluki jiwa yang kekal (Anusyirwan). Diceritakan bahwa Anusyirwan
memerintahkan punggawa kerajaannya untuk naik ke puncak tertinggi dari kota.
Dari tempat itu mereka memperhatikan setiap rumah. Apabila terdapat rumah yang
tak mengepulkan asap, mereka mendatanginya. Menanyakan masalah. Jika tengah
dilanda musibah, raja datang membantu. Bila sedang didera kefakiran, raja
memberi sedekah.
Ah, cerita di atas akan terbaca
sebagai dongeng jika kita baca sekarang. Kini, hampir mustahil ditemukan
pengulangan kisah. Para penguasa sepertinya lupa –atau benar-benar tidak tahu-
apa yang seharusnya mereka lakukan. Masyarakat pun pelan-pelan mulai terjangkit
amnesia tak wajar ini. Entah, mungkin karena terlalu lama tak mengecap
kesejahteraan. Walhasil, blusukan yang sebenarnya biasa saja kini jadi
fenomena.
Masih banyak riwayat-riwayat
lain. Tapi saya tak mau mendedah semua. Karena masyuk cerita tersebut justru
akan jadi utopia sarkastik. Nyinyir menyindir keadaan kita. Mari kembali pada
buku.
Buku yang ada di tangan saya
edisi terjemahan bahasa Arab. Penerjemahnya –tidak meperkenalkan diri namun
ditengarai salah satu murid al-Ghazzali- mengaku telah berupaya sebaik mungkin
dalam menerjemah. Tentunya, edisi terjemahan berbeda dengan bila al-Ghazzali
menulis langsung berbahasa Arab. Al-Ghazzali dikenal sebagai ensikopedian,
tetapi dengan kualitas kelas satu di masing-masing bidang. Bahkan dari karyanya
yang bercorak tasawuf, Ihya’ ‘ulûmuddin, seorang mahasiswa al-Azhar
dapat menulis thesis tentang balaghah.
Pelajaran dapat diambil bukan
saja dari teks. Konteks penulisan buku tersebut juga bermakna. Al-Ghazzali
mengajari kita bagaimana seharusnya peran cendekiawan terhadap pemerintah.
Al-Ghazzali menjalankan peran kritis tanpa mengiris.
Kini, saya tak melihat hubungan
antara raja –atau presiden untuk saat ini- dan cendekiawan bisa seromantis kala
itu. Dalam sistem demokrasi yang lumrah saat ini, penguasa jarang mendengar suara
dari luar. Jangan dengarkan, itu oposisi, demikian paradigma yang terbangun. Penguasa
dan oposan berlomba adu bijak dalam setiap kasus. Pemerintah dan kalangan luar
pemerintah berada dalam dua titik kontras. Produk Barat ini, di beberapa titik
–seperti Jokowi tuturkan pada Alberthiene Endah di buku memoar resminya- kering
dan kaku. Sementara, pada hakikatnya, Timur memiliki budaya pengentasan masalah
yang menyejukkan.
Secara tidak langsung,
Al-Ghazzali juga mengkritisi cendekiawan yang mati fungsi. Zaman al-Ghazzali
banyak ulama yang lebih memilih menjadi penjilat raja daripada menjalankan
fungsi penasehat. Kondisi yang tak jauh beda dengan sekarang. Dalam Ihya,
al-Ghazzali menulis:
“Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan
para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan
kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa
dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi
penguasanya.”
Barangkali,
kita perlu mengerem nafsu kritik pada penguasa. Sedikit introspeksi mungkin
akan membantu. Apakah kita sudah menjalankan fungsi sebagai rakyat yang baik.
Sebagai rakyat yang tidak melulu mengharapkan keuntungan dari pekerjaan para
pemimpin. Jika tidak, boleh jadi keadilan dan kesejahteraan memang utopia. Agaknya
kita perlu membangkitkan al-Ghazzali dari liang kubur.
1 komentar:
wah antap nie,
Posting Komentar