Ketika
masyarakat Indonesia dilanda krisis identitas, Sukarno mengajukan kopiah hitam.
Suasana Indonesia menjelang
kemerdekaan sangat rumit. Situasinya tak sesederhana bertaruh nyawa demi
mengusir penjajah kulit putih, ada masalah sosial, ekonomi, budaya, politik,
dan banyak lagi yang harus turut serta dituntaskan. Tak bisa dianaktirikan.
Kemerdekaan bukan saja perihal berkuasanya pribumi di tanah sendiri, tapi yang
lebih penting adalah bagaimana berdikari di tumpah darah pertiwi.
Masalah demi masalah itu
merupakan efek domino dari politik kaum imprealis. Penjajah memberlakukan
politik divide et impera (pecah belah dan kuasai) untuk melemahkan
kekuatan pribumi. Ulama dan santri diadu dengan para priayi dan kaum adat.
Antar suku diintimidasi untuk saling benci. Perbedaan mazhab dikompori untuk menjadi
akar perpecahan. Semua itu dalam rangka mencegah timbulnya kebersamaan dan
persatuan pribumi.
Di antara berjubel masalah,
krisis identitas adalah yang paling fundamental. Rakyat Indonesia tak tahu lagi
bagaimana mereka beridentitas. Belanda sukses menanamkan rasa inferior terhadap
budaya asli pribumi. Keadaan demikian memang merupakan tujuan utama dari misi
penjajahan, mengalahkan penduduk negara jajahan secara fisik dan mental.
Seperti diungkapkan oleh Carl Von Clausewitz dalam On War, bahwa untuk
dapat memenangkan perang, maka yang harus diutamakan dan dijadikan target
serangan adalah destruction of enemy’s will (penghancuran kemauan
lawan).
Untuk mencapai tujuan tersebut,
pemerintah kolonial melarang penggunaan bahasa Belanda oleh rakyat. Selain itu,
selaras dengan pelaksanaan politik tanam paksa, Belanda melakukan pemindahan
masal penduduk ke daerah lain dengan budaya berbeda untuk menjadi buruh. Ini
menyebabkan generasi baru dari komunitas tersebut kehilangan identitas budaya
ibunya karena tumbuh dalam lingkungan yang berbeda.
Strategi lain, untuk melepaskan
pribumi dari ikatan tradisi dan budaya, pemerintah Belanda membuat politik asosiasi.
Dalam praktiknya, politik asosiasi mengembangkan budaya barat untuk mengikis
tradisi Islam. Sehingga generasi baru pribumi tumbuh sebagai generasi yang
tidak lagi memiliki rasa tanggungjawab dan tidak mampu mempertahankan jati
diri, atau menurut istilah Erich Kahler, generasi yang tingkahnya lack of
definite style of life (tidak lagi memiliki gaya hidup yang jelas).
Rasa inferior itu begitu
berpengaruh dalam jiwa pribumi, terutama rakyat kalangan bawah. Dalam diri
rakyat timbul semacam paradigma bahwa masyarakat kulit berwarna (Asia &
Afrika) tak akan bisa mengalahkan orang kulit putih (Eropa). Bahkan, inferioritas
itu juga mendera mindset para intelektual. Efeknya, kaum intelektual jadi
benci semua hal yang berbau Indonesia, termasuk cara berpakaian. Mereka
mencemooh pemakaian blangkon, sarung, serta peci yang biasa dipakai tukang
becak dan rakyat biasa lainnya.
Tapi penyakit rendah diri ini tak
menjangkiti jiwa seorang Sukarno. Dengan bangga Sukarno memperkenalkan
pemakaian peci, dan akhirnya hingga kini -meski mulai surut- menjadi identitas
nasionalisme bangsa Indonesia. Cindy Adam, dalam biografi Bung Karno, mengutip
kata-kata Bung Karno tentang peci:
“Kita memerlukan sebuah simbol dari
kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai
oleh pekerja-pekerja bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Tapi
istilahnya berasal dari penjajah. Dalam bahasa Belanda ‘pet’ berarti
kopiah, ‘je’ akhiran untuk menunjukkan ‘kecil’, dan kata itu –peci-
sebenarnya ‘petje’. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan
memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”
Perkara peci tersebut adalah
contoh tindak nyata Sukarno mengusahakan kemerdekaan dengan memberi solusi
terhadap permasalahan yang melanda bangsa Indonesia.
Masisir dan Identitas
Masisir adalah potret mini
Indonesia. Keragaman budaya, latar belakang, paradigma, kecenderungan, serta
perbedaan lainnya mencerminkan sepenuhnya ladang perjuangan Masisir sebenarnya,
Indonesia. Dalam kebinekaan majemuk itu Masisir berdinamika.
Dalam dinamika Masisir di bumi Kinanah
ini, kita dipertemukan dengan budaya yang lebih beragam lagi dari berbagai
penjuru dunia. Setiap komunitas membawa serta ciri khas masing-masing. Tingkah
laku, karakter, makanan, bahasa, logat, dll, mencerminkan keadaan lingkungan
yang menerpa tumbuh kembang entitas tertentu. Sederhananya, semua itu terbias
dalam ragam pakaian masing-masing entitas.
Di sini kita mengenal keffiyeh,
sorban Arab, dan mulai mengerti fungsinya selain sekedar tutup kepala. Sebagian
wanita kita bahkan mulai akrab mengenakan pashmina. Lelaki-lelaki kita
mengagumi wanita-wanita Turki beserta kerudung scarf khas mereka yang
elegan. Mata kita juga terbiasa mengenali pelajar Malaysia dengan baju kurung
Melayu dan peci putih terongok di atas kepala.
Masisir sendiri masih setia dengan
pluralitas. Tak ada penanda khusus yang membuat orang mengenal manusia
Indonesia kecuali raut muka Asia. Karena itu, seringkali orang Mesir memanggil
kita dengan sebutan Shinî (orang China). Kita patut bersyukur, di ranah
akademis, secara umum kecerdasan manusia Indonesia menjadi pembeda dari
komunitas Asia Tenggara lainnya. Tapi di luar itu, terutama dari cara
berpakaian, kita tak dikenal dengan baik.
Akhir-akhir ini, bersamaan dengan
merebaknya demam batik di Indonesia, sebagian Masisir mulai akrab dengan baju
batik. Ini adalah perkembangan bagus. Masisir mulai memiliki ikon diferensial.
Tapi batik tak dikenali di musim dingin, karena kita harus mengenakan pakaian
berlapis yang menutupi pengenaan batik.
Maka, memopulerkan kembali
pengenaan kopiah hitam dapat menjadi solusi. Hingga saat ini, kopiah hitam
masih menjadi bagian dari pakaian resmi nasional. Presiden -juga para mentri,
dll- selalu mengenakan kopiah hitam sebagai aksesoris foto resmi . Kopiah hitam
pun, seperti kata Sukarno, adalah asli milik bangsa kita. Pemakaiannya di
kalangan rakyat Indonesia telah membudaya. Lagipula, kopiah hitam lebih
nasional dari tutup kepala khas daerah, blangkon misalnya, sekaligus lebih
praktis.
Dalam beberapa kesempatan, reaksi
teman-teman dari negara lain sangat positif mengenai pengenaan kopiah hitam
ini. Bahkan, beberapa kali kopiah hitam yang saya kenakan dipuji oleh dosen
pengajar. Saya telah membuktikan sendiri kesan Sukarno bahwa kopiah hitam
memberikan kesan anggun dan gagah. Lagipula, di negri orang lain, terutama
karena kita dihadapkan dengan budaya-budaya dari bangsa lain, kata-kata Sukarno
berikut menjadi relevan, “Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian
Indonesia.”
0 komentar:
Posting Komentar