It’s ok to be nothing. Cz I come from nothing, and will
turn back into nothing.
Aku datang dari ketiadaan. Dari
negri seberang yang APBD-nya kurang lebih setara dengan anggaran satu kabupaten
di Jawa. Dari desa yang jalannya satu taraf dengan jalan-jalan pinggiran
Bandung menjelang kemerdekaan. Dari bumi yang tiada punya cerita heroik kecuali
pesona Fatmawati, sang penjahit bendera proklamasi.
Aku muncul dari kerendahan. Dari
rumah yang penghasilannya hanya sebesar rata-rata pengeluaran. Dari rumah yang
pasaknya sama besar dengan tiang. Kadang-kadang lebih sedikit, tapi lebih
sering kurang. Dari keluarga kelas Pak Marhaen. Bedanya, Pak Marhaen beruntung
karena dijadikan inspirasi Sukarno untuk menyebut gaya sosialisnya. Kini,
siapapun tahu marhaenisme.
Aku tumbuh dari kesekadaran. Tidak terlalu miskin, tapi tak pantas disebut kaya. Tiada pula cocok disebut kelas menengah. Bagiku, menengah adalah sebutan bagi mereka yang hidupnya berkecukupan untuk segala keinginan kapitalis. Tapi, Ayah dan Ibuku tak begitu.
Dari keserbatanggungan itu aku melangkah. Selama ini sejarah hanya mencatat tinta emas untuk dua golongan manusia. Pertama, untuk mereka yang tumbuh besar dalam buai serba kecukupan. Orang-orang itu, kalau pun tidak sukses karena limpahan harta, akan berhasil karena keluarga mereka tahu bagaimana membentuk anak-cucu mereka. Terang saja, setiap harinya dicekoki petuah-petuah bijak dari buku-buku mahal. Untuk orang-orang tua kelas menuju-menengah, tak tahulah mereka alegori-alegori macam itu.
Satu lagi yang ditulis sejarah
adalah mereka dari kelas serba kekurangan. Manusia dengan himpitan macam itu
mau tak mau harus bergerak, supaya hidup. Karena itu anak-anak mereka mandiri,
juga berwatak cekatan dan berontak. Dalam pola pikir mereka hidup seluruhnya
adalah kerja keras. Maka, rintangan apa yang mampu menghalangi kesuksesan
mereka? Aku bukan dari kalangan ini.
Karena itu, aku berkembang tanpa
kelebihan. Karena aku tak hidup dalam lingkung yang memahami potensi bakat
kemudian memberikan sarana yang mendukung. Aku bahkan tak paham apapun tentang
kecenderungan, kecuali sedikit buku-buku yang memberiku sedikit rasa senang.
Horizonku pun hanya berupa kandungan buku-puku pengisi perpustakaan sekolah
dasar.
Maka, ketika aku harus kalah
bersaing dengan anak-anak para bestari, aku tak perlu mengambil hati. Mereka
lebih berhak menjadi penerus-penerus negeri. Di tangan merekalah masa depan ibu
pertiwi diperjuangkan. Dari mulut mereka, kebijaksanaan-kebijaksanaan baru
dicetuskan, ditulis, dan diabadikan. Dengan kisah perjalanan hidup mereka
nantinya buku-buku sejarah akan ditulis.
Bila ada satu dua prestasi yang
kuukir, ku anggap hadiah dari Tuhan. Tuhan maha baik. Dia tahu bahwa orang
kelas pas-pasan macam saya ini, jarang sekali dapat hadiah. Maka, sesekali Tuhan
menganugrahkan. Dia tahu, dengan ini kami akan sangat senang.
Aku hanya perlu berjalan tanpa
beban. Kesuksesan bukan tujuanku. Kegagalan bukan ketakutanku. Aku hanya ingin
bekerja untuk Tuhan agar sesekali diberi kejutan. Lagipula, aku hanya butiran
debu dalam alam raya ini.
0 komentar:
Posting Komentar