Hari ini hari Ayah, karena itu
dan perihal lain, saya merasa memiliki kewajiban moral untuk menulis tentang
Bapak.
Saya tak pernah punya relasi yang
terlalu hangat dengan Bapak. Sejak kecil, saya lebih nyaman dekat dengan Ibu.
Waktu kanak-kanak, saya terbiasa terbirit-birit lari ke arah ibu saat rona muka
Bapak mulai terlihat naik pitam. Bersembunyi di belakang Ibu sambil memeluk
kakinya adalah pertahanan terbaik kala itu. Selanjutnya, ibu pasti membela saya
dan saya pasti akan selamat.
Saya juga lebih suka berpergian
ke sekolah tempat Ibu mengajar daripada ikut Bapak menyusuri kebun. Saya baru
mau bersama Bapak bila diajak naik motor ke kota. Kendati demikian, di
perjalanan, saya lebih suka menatap semak di sisi-sisi jalan sembari berkhayal
daripada ngobrol dengan Bapak. Saat beranjak remaja hingga dewasa, meski tidak
lagi lari terbirit-birit, saya masih menggunakan Ibu sebagai tameng. “Sudah
boleh sama Ibu ko, Pak,” sering sekali saya ngeles begitu.
Jika kalian ingin tahu bagaimana
Bapak, mungkin karakter Ayah dalam film Laskar Pelangi sedikit memberikan gambaran.
Tentu saja tak sama persis. Bapak juga pendiam, tak banyak bicara. Tapi
hubungan saya dan Bapak tak semesra Ikal dan Ayahnya.
Bapak orangnya lugas dan spontan.
Tidak seperti saya, Bapak tidak suka puisi atau membaca cerita –saya tak pernah
melihatnya membaca buku cerita-, barangkali karena itu ia tak suka basa-basi.
Bapak menyatakan ketidaksetujuan dengan tegas, bahkan terkesan keras.
Belakangan ini saya menyadari bahwa karakter saya yang terkadang meledak-ledak persis
dengan tabiat Bapak.
Demikianlah hubungan saya dan
Bapak. Tapi saya tak hendak menyalahkan Bapak atas baik-buruk dinamika keluarga
kami. Saya mengerti, sikap dan cara asuh yang ia terapkan adalah hasil dari
pengalaman pribadi Bapak dengan orang tua serta usahanya memberikan sintesa
atas pengalaman tersebut. Faktanya, manusia kerap menerapkan tolak ukur pribadi
untuk orang lain.
Bagaimanapun, dialektika sikap bapak
dan anak jugalah yang membentuk saya hingga menjadi seperti saat ini. Tanpa
Bapak, saya tak mungkin mendapatkan akses wawasan-wawasan kontemporer. Bapak
mungkin hanya membawakan saya oleh-oleh majalah Bobo dan Bola setiap pulang
dari Kota. Tapi dari dua majalah tersebut, saya dapat mengaktualisasikan
pengetahuan-pengetahuan lama yang saya dapat dari perpustakaan sekolah Ibu.
Lebih dari itu, sikap mengalah
Bapak dalam menentukan keputusan-keputusan penting dalam hidup saya –Bapak selalu
mengiyakan lobi Ibu dalam kasus-kasus saya, seperti kuliah di mana, dll- juga
fundamental. Tanpa semua itu, barangkali jalan hidup saya bukanlah apa yang
saya tapak hari ini. Bapak memang keras, tapi beliau juga orang yang paling
membebaskan anak-anaknya menentukan jalan hidup sendiri.
Belakangan, saya menyadari,
diantara sikap Bapak, banyak sekali yang merupakan keniscayaan menjadi seorang
Ayah. Di antaranya adalah bahwa sebagai tulang punggung keluarga, yang waktunya
banyak tersita di luar rumah, sulit bagi seorang Ayah untuk menjadi sosok yang
paling dekat dengan anak-anak. Seorang Ayah harus mengorbankan keinginan
bercengkrama lebih dengan buah hati demi memberi mereka kebutuhan-kebutuhan
hidup. Saya juga baru menyadari, bahwa sikap Bapak yang tak mau diganggu
setelah pulang kerja adalah sangat manusiawi. Saya belum pernah bekerja secara
profesional, tapi terkadang saya juga sangat temperamental bila kerjaan kampus,
organisasi, dll numpuk. Selama ini, saya terlalu mengharapkan Bapak untuk
selamanya menjadi Bapak. Padahal dalam beberapa kesempatan, saya perlu
memposisikan Bapak sebagai manusia.
Mengingat itu semua terkadang
menumbuhkan keraguan saya tentang keniscayaan menjadi Bapak. Karena itu,
sebelum melangkah terlalu jauh, saya berniat memperbaiki kualitas hubungan
dengan Bapak. Barangkali sikap Bapak tak berubah, tapi masalahnya bukan itu,
sayalah yang perlu mengubah pendekatan saya terhadap Bapak. Karena cepat atau
lambat, saya akan menjadi Bapak. Dan kelak, saya harus menjadi bapak nomor satu
di dunia.
Maafkan saya, pak!
0 komentar:
Posting Komentar