Pareidolia
Membahas
karya Umar adalah berbicara tentang makna. Berbeda dengan penulis picisan macam
saya, Umar sudah beranjak jauh dari karya romansa cengeng, dan lebih tertarik
mengangkat tema-tema yang membawa sastra sebagai sarana olah masyarakat, semacam
realisme sosialis.
Dalam
karya-karya penulis, entah disengaja atau tidak kita dapat melihat obsesi
memampatkan cerita dengan perkara-perkara pintar: perbincangan tentang
teori-teori psikologi, analisa penyakit-penyakit kejiwaan, dlsb. Dalam cerpen
kali ini, penulis ingin berbicara tentang pareidolia -fenomena
psikologis yang melibatkan stimulus samar-samar dan acak (seringkali
sebuah gambar atau suara) yang dianggap penting-. Pekerjaan semacam ini, adalah upaya yang
sangat berpeluh-peluh jika dilakukan orang yang tidak ahli bercerita.
Kemampuan
cerdas ini dibantu dengan kecenderungan penulis yang memang telah banyak
bergelut dengan Freud, C.G Jung, psikoanalisa dan masalah kejiwaan lain –harap
tidak disalah artikan, haha-
Kedewasaan
penulis nampak dalam tema apik yang dia bawakan, potret dinamika pengusutan
korupsi di tanah air. Umar beimajinasi tentang Bupati Malang –malangnya dia berasal
dari kota itu- yang terbukti korup lewat satu praktik psikoanalisa.
Penulis
nampak hati-hati menuliskan cerita ini, terbukti dari tidak adanya muskil
kecuali beberapa detil kecil cerita yang sedikit tak berkenan dengan logika.
Tapi secara keseluruhan, kita tak bisa mengharapkan lebih dari contoh tulisan
yang sangat matang untuk ukuran kita-kita ini.
Tentang
Sukma, Potongan Awan, dan Gadis Bernama Nabeela
Membaca
cerpen Fitra ini mengingatkan saya dengan senandung Melayu. Kata-katanya penuh
puitika khas lagu Melayu yang penuh perasaan. Kalimat-kalimatnya pun menyeret saya
pada dunia di mana semuanya adalah irama
yang mendayu-dayu. Mari kita lihat kalimat-kalimat berikut: aku mencintai
malam lantaran malu pada terang. Lantaran ketakutanku pada siang, yang pernah
menangkap basah rasa yang dalam… Amboi! Saya yakin ini muncul dari garapan
dan pertimbangan yang serius, jika tidak, artinya kita menemukan bakat sastra
yang luar biasa pada diri penulisnya.
Kekuatan
kata-kata penulis juga terejewantah pada sisi lainnya, kepiawaian meramu majas.
Lihatlah bagaimana Fitra menggambarkan suasana pagi di tepi Laut Mediterania
dengan kanvas yang tertimpa cairan cat biru: Kala itu, di paginya laut
Mediterania, langit dan pantai seperti ketumpahan cat cair biru…, lihat
pula bagaimana dia mengungkapkan riuhnya suara ombak sebagai sesuatu yang rusuh
: dengarkan pula rusuhnya gulungan ombak yang berkejaran.
Penulis
sendiri mengatakan bahwa kemahiran membuat perbandingan macam itu diperoleh
dari polah unik sang ponakan, Tania. “Barangkali karena masih kecil, kali ya!”
jelasnya diakhiri dengan senyum. Menurut saya, ya, penulis sangat perlu
memelihara keluguan anak kecil melihat hal-ihwal -segala sesuatu yang belum
selesai didefinisikan dan perlu selalu ditanyakan-.
Jika
ada ihwal yang menjadi catatan merah, mungkin hanya karena penulis terlalu
masyuk dengan pemilihan kata-kata, hingga secara tak sengaja melewatkan
unsur-unsur lain yang perlu dimatangkan, terutama alur cerita.
Terakhir,
saya berharap upaya-upaya kecil macam ini menjadi pemantik bara semangat dalam
rangkaian besar proses belajar menulis kita.
0 komentar:
Posting Komentar