Setiap tempat menyimpan
kenangannya. Yang dinamis dan damai seperti Gontor; hijau, sejuk dan asri khas
Pare; atau yang panas tetapi santun dan menyejukkan batin, Ngayogyakarta.
Tempat-tempat itu punya sesuatu yang membangkitkann antusiasme dalam
obrolan-obrolan nostalgia. Masing-masing menyisakan cerita tentang kekonyolan
masa muda –terutama asmara, haru-biru perjuangan hidup, juga alkisah tentang
kegagalan.
Menambah Kairo dalam daftar kota
kenangan bukan sesuatu yang saya ingini. Tetapi, seperti waktu yang tak
berhenti berlalu, ia adalah kemestian. Dengan berat hati, tajamnya musim
dingin, semerbak syammunasim dan sengatan musim panas akan menambah
panjang riwayat masa lalu, berubah menjadi ingatan yang sewaktu-waktu
membumbung dalam kesendirian. Selalu ada kesyahduan setiap menjenguk yang ruang
yang tak lagi ada, membesuk tempat yang pernah dikenal.
Sepertinya baru kemarin saya
menjejak bumi Kinanah ini -di antara ancaman gagal berangkat, kebingungan
memilih kampus alternatif, dan mediator yang selalu berkata tunggu. Di satu
hari menjelang musim panas memuncak, saya dan tiga orang kawan lain akhirnya
sampai, 25 Mei 2010. Saya salah kostum waktu itu, pakai jaket super tebal untuk
mengantisipasi dingin. Untungnya sang jaket lumayan berguna bagi orang udik
seperti saya menahan dingin AC pesawat.
Lalu semuanya berjalan teramat
cepat –terkadang tanpa sempat berpikir mendalam tentang apa yang perlu saya
lakukan, daurah lughah cukup seminggu lalu saya telah muqayyad di kampus
al-Azhar. Meski diiringi dengan keheranan atas tumpulnya otak saya mengerjakan
ujian masuk. Nilai saya hanya 70an, saya tak pernah merasa sebodoh ini.
Tahun pertama dilalui dengan
adaptasi yang aneh, rumah yang diancam warga ke polisi hanya karena kamar mandi
bocor, diusir teman sekamar karena mengundang kawan-kawan main PES semalaman,
lalu terdampar di sekretariat karena tunawisma. Kemudian ujian pertama di
al-Azhar diikuti dengan kejutan yang tak disangka-sangka, revolusi Mesir pecah.
Teman-teman banyak yang pulang, dan saya tertinggal di Kairo menyaksikan
tank-tank mondar-mandir dan satu dua peluru meletup tengah malam.
Ah, sudahlah. Semua orang juga
punya ceritanya masing-masing. Kisah saya tidak lebih unik dari milik Anda-Anda
sekalian. Meski saya selalu tertarik untuk mendengar orang bertutur, selalu ada
yang dapat diendapkan dari paparan cerita. Mungkin lain kali.
Sekarang, musim panas ini, barangkali
sebaiknya saya merenung. Ada banyak hal yang perlu dipikirkan lebih tenang,
dalam, pelan-pelan dan matang. Saya sudah terlalu tua untuk melakukan hal ihwal
secara serabutan.
1 komentar:
sesekali boleh lah saya berkomentar, "iya, sudah tua. tapi belum terlalu, lebih baik kakek berjiwa muda daripada pemuda berjiwa tua. dan lebih baik telat drpd telat banget. smangat!"
Posting Komentar