“Pulanglah, nak, pulang!”
“Tapi kemana, bu?”
“Ke Hatimu!”
Ini bukan gombalan Andre Taulani
di OVC atau gurauan Stand Up Comedy-nya Dodit. Ini adalah pengajewantahan
sederhana atas kegundahan pelik orang-orang yang hendak dan mesti pulang tetapi
tak tahu kemana, saya termasuk salah satunya.
Saya tak punya “kampung halaman”,
tempat yang dikenal baik bentuk pepohonan, aroma udara, kejernihan air sungai,
beserta jenis ikan-ikannya. Tempat kita
merasa nyaman dengan orang-orangnya, yang menyuguhkan senyum dan sapaan saat
berpapasan di jalan, dan mengundang kita mampir saat lewat depan rumah mereka.
Orang tua saya baru pindah rumah
ke desa yang baru. Desa yang keadaannya sudah lebih baik dari kampung masa
kecil saya dihabiskan. Sekarang sudah ada listrik PLN jadi Bapak tidak perlu
menghidupkan mesin genset setiap pukul lima sore, dan saya bisa nonton tivi
kapan tanpa lebih dahulu membeli bensin. Jalan depan rumah sudah diaspal sehingga
Ibu tak usah khawatir Bapak tidak pulang karena cuaca buruk. Ibu juga tak perlu
memasak dengan kompor minyak tanah karena seratus meter dari rumah sudah ada
penjual tabung gas.
Tetapi saya belum kenal dengan
orang-orangnya. Saya baru satu bulan tinggal di sana setelah pulang dari
pondok, sebelum saya harus pergi ke bumi Kinanah ini. Jadi saya perlu belajar
dari dasar bagaimana bergaul dengan mereka, obrolan-obrolan yang menarik di
antara mereka, guyonan-guyonanapa yang membuat mereka tertawa, dan terutama
perihal apa yang tak boleh dikatakan karena akan menyinggung perasaan orang
kampung sini. Saya juga tak punya teman di sana.
Teman-teman saya ada di kampung
lama. Tapi terakhir kali saya ke sana, kebanyakan sudah tak ada. Ada yang, kata
Ayahnya, disekolahkan kerabat di Jawa. Ada yang kerja jadi buruh di Bekasi.
Sebagian kecil, terutama yang perempuan, masih bertahan di kampung, tetapi
sudah membopong momongan. Yang menyedihkan, orang-orang kampung lama pun sudah
pangling dengan perawakan saya. Mereka melihat saya layaknya orang asing yang
berkunjung. Tiga tahun lalu, seorang bapak paruh baya menyipit-nyipitkan mata
melihat saya di jalanan. Ini saya Pak, yang dulu menangis karena terpeleset
jemuran kopi saat berlari-lari di halaman rumah bapak. Tapi bapak itu tidak
ingat juga.
Sebenarnya saya punya satu
kampung lain yang istimewa, kampung damai, pondok tempat saya menghabiskan masa
remaja dalam dinamika. Tetapi lupakan! Teman-teman satu angkatan sudah banyak
keluar, hanya tersisa beberapa gelintir. Santri-santrinya pun sudah regenerasi,
pastinya tak banyak yang mengenal saya. Mereka akan melihat saya sebagai orang
luar yang membawa pengaruh buruk bagi kepondokmodernan. Hanya ada dua tipe
alumni di pondok saya, mereka yang telah jadi orang besar dan dibanggakan, satu
lagi cecunguk-cecunguk yang dianggap produk gagal.
Bagaimanapun, saya mesti pulang.
Orang pergi untuk kembali dan pengembara tak patut berdiam terlalu lama. Tapi
kemana?
Karena kita tak punya tempat,
mari pulang ke hati masing-masing. Mari kembali pada nurani dalam menentukan
langkah-langkah selanjutnya perjalanan hidup ini. Karena hati yang membumi
selalu menemukan orang-orang yang membukakan pintu. Hati yang berani tak punya
tempat yang ditakuti. Hati yang yakin dan tekun selekasnya kan dapat tempat
yang menaungi.
0 komentar:
Posting Komentar