Sebenarnya Pamuk memaparkan
dialektika, pergulatan Barat dan Timur yang tegang. Dalam novelnya, Kar (The
Snow) Pamuk menuturkan dialog-dialog
dengan seorang komunis, sekularis, nasionalis fasis, calon ekstremis,
muslim moderat, dll.
Proyek pendekatan ini memang
menjadi fokus Pamuk. Dalam My Name Is Red, ia bahkan membuka karya besarnya
dengan ayat al-Qur’an: “dan milik Allah lah Barat dan Timur.” Bagi saya,
pemilihan masalah ini memang cerdas, modernitas dan globalisasi memang telah membawa
generasi muda muslim pada masalah kebimbangan identitas, pertentangan
nilai-nilai Islam dan Barat.
Tetapi Pamuk tidak saja membawa
misi didaktisme dangkal. Pamuk dihargai karena datang dengan kualitas.
Novelnya penuh dengan informasi-informasi yang kaya dan dalam. Dalam My Name Is
Red, detail-detail seni miniatur Turki abad pertengahan diselipi juga dengan
pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang jiwa. Ia juga bereksperimen dengan
teknik-teknik sastra post-modern, realisme magis.
Meski begitu, ia bukan seorang
yang gampang silau begitu saja pada semua yang mentereng dari Barat. Pergulatan
asmara ia suguhkan dengan kedalaman yang elegan, bukan erotisme yang norak. Dalam
soal lain, ia sendiri mengatakan, “saya tak mau menggambarkan kaum Islamis
sebagai orang jahat, seperti Barat melabeli mereka.” Dalam The Snow, seorang
ekstremis yang menembak direktur sekolah diceritakan Pamuk lantaran sang
direktur melarang muridnya memakai jilbab hingga ia bunuh diri. Ia mengambil
gambar yang lebih luas dari kedua sisi. Ia tidak seperti penulis-penulis Barat
berdarah Indonesia yang gemar nyinyir dengan apa saja yang berbau Islam
sementara mereka tak mengetahui hakikatnya.
Maka, menjadi Pamuk untuk saat
ini adalah sintesa: sebuah solusi bagi polemik orang-orang yang mau terjun
dalam dunia tulis menulis, yang hendak menyampaikan kebaikan-kebaikan agamanya
dalam wadah tulisan tetapi bingung dengan aliran mainstream yang sedang
menghegemoni.
0 komentar:
Posting Komentar