Semalam saya bertemu dengan
seorang senior, lebih spesifik lagi seorang konsul. Di sekolah kami, ikatan
kedaerahan sangat kuat sehingga dengan modal kata “konsul” Anda bisa tiba-tiba
diperlakukan bak saudara. Itu kata untuk memanggil teman dari daerah yang sama.
Awalnya saya kira dia hidup menderita.
Yang saya tahu, ia telah bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia akademis dan
hingga sekarang seperti belum menunjukkan tanda-tanda akan mengentaskan diri. Menjadi
mahasiswa abadi saya pikir adalah nasib buruk. Orang-orang seperti itu biasanya
akan banyak menggerutu tentang keburukan dosen, kejelekan buku diktat, atau
kebobrokan sistem. Semuanya diumbar untuk menjustifikasi kegagalan diri
sendiri.
Tapi saya salah, dia bukan
mahasiswa abadi dengan definisi di atas. Kuliahnya lancar dan kini sedang
mempersiapkan doktoral. Dengan tenang ia ngopi, sesekali tawanya pecah.
Wajahnya, meski hampir berkepala tiga, tidak menunjukkan keriput, uban atau
tanda-tanda penuaan dini lainnya.
Meski terlihat santai, saat
obrolan dimulai kedewasaaan intelektualnya nampak. Ia mulai berceloteh
perkara-perkara berat bak cucakrowo mengoceh kala hujan turun, tak henti-henti.
Sesekali, pernyataannya menimbulkan guncangan-guncangan di kepala saya.
Ini seperti menemukan oase di
tengah gurun, benar-benar melegakan. Setelah bertemu banyak orang yang
rata-rata berorientasi pragmatis, duit,
dan hampir-hampir membuat saya mengubah haluan. Akhirnya saya bertemu
juga orang yang berpikiran sama, bahwa ada yang lebih penting dari sekedar buru-buru
mapan, menikah, punya anak, dan mati. Kalau cuma begitu lantas apa beda kita
dengan kambing. Ada yang lebih besar dari kenyamanan kosong: mencapai
kesuksesan intelektual.
Tapi keberhasilan intelektual
tidak sama dengan sukses secara akademis. Itu bukan perihal kuliah tepat waktu,
meraih ipk sempurna atau menjadi mahasiswa terbaik. Anda harus menyelesaikan
perjalanan intelektual yang telah Anda mulai, menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang mengetuk-ketuk kepala Anda setiap pagi demi membuat dunia lebih baik. Be
the change you want te world to be, begitu kata Mahatma Ghandhi.
“Kita perlu punya standar
keberhasilan sendiri. Saya sudah mengikuti permintaan kampus hingga menjadi
mahasiswa terbaik, tetapi setelah itu saya hanya menemukan kualifikasi kampus
tidak bisa bersaing dengan percaturan yang lebih besar.”
Pertemuan ini sangat saya syukuri
karena meminjam istilah Kafka untuk buku, obrolan yang memecahkan kebekuan
dalam kepala Anda adalah obrolan yang berkualitas. Bincang-bincang hingga larut
malam itu berkualitas karena membuat saya lupa sejenak dengan rengekan dan
keluhan teman-teman saya yang lain. Akhir-akhir ini, sebagian besar teman saya
sedang kelimpungan karena bingung menentukan langkah akademis selanjutnya.
Kebanyakan dari mereka meraih
nilai yang terlalu bagus untuk dibilang bodoh. Hanya saja ketidakmampuan
menentukan orientasi akademis membuat mereka seperti orang linglung, lebih
fatal lagi karena segelintir tampak belum punya juga orientasi hidup yang jelas.
Obrolan semalam menyelamatkan saya dari menjadi orang-orang yang terus mengeluh
dan linglung. Karena perlu Anda tahu, orang waras yang sendirian berada di kumpulan
orang gila lama kelamaan dapat tertular gila.
0 komentar:
Posting Komentar