Jika Anda adalah orang yang
tengah bergelut dalam niaga –terutama yang sedang memulai dagang- barangkali tulisan
ini bisa memberi Anda ide bagaimana mengatrol omzet. Ini bukan pemaparan
efisiensi modal atau semacamnya jadi bersiaplah kecewa bagi yang mengharapkan
tips-tips teoretis finansial. Saya hanya akan bercerita bagaimana sikap
berdagang membentuk citra bisnis lalu itu menjadi sangat determinan dalam
menaikkan pemasukan.
Kemarin malam, teman sekamar saya
mengeluh usai membeli sekilo pisang di tukang buah depan Masjid al-Azhar.
Pisangnya sedikit keras namun akhirnya ludes karena sudah lama kami tidak makan
pisang. Masalahnya adalah dia kesal dengan penjualnya yang bermental penjajah,
sombong dan tak mau kompromi. Teman saya mengatakan ia diusir laki-laki tambun
itu saat sedang menghitung kembalian.
“Sudah-sudah, pergi! Itu uangnya
pas 45 le!” Ia mengulang kata-kata penjual buah itu. “Loh, saya kan cuma
menghitung lagi, barangkali silap!” umpatnya sambil kemudian tertawa. Kami
memang terbiasa menertawakan perihal muskil orang Mesir yang tak dapat dicerna
nalar orang Timur kami.
“Wah, kalau beli buah memang
jangan di sana. Penjualnya menyebalkan!” saya juga pernah punya pengalaman
mengesalkan dengan pedagang buah satu itu. Dulu ia mengambil pisang, memotong
bonggol, menimbang, memasukkan dalam kantong plastik tanpa gairah berdagang,
tak berdiri sedikit pun –saya bersusah payah menceritakan prosesnya karena tak
mau menyebut rentetan tindakan ini sebagai pelayanan-. Barangkali obesitas juga
berperan dalam transaksi tidak manusiawi ini.
“Lebih baik beli di depannya,
penjual yang kurus itu, yang lapaknya nempel pagar masjid” komentar saya,
“setidaknya meski harganya sama, dia tahu bagaimana menyejukkan hati pembeli.”
Jika Anda belanja buah di sekitar
al-Azhar, saya yakin Anda akan sangat memahami apa yang saya tulis. Penjual
kurus itu memang ramah: menimbang buah pilihan Anda; melayani dengan sepenuh
hati; sesekali mengajak ngobrol, dan yang paling penting adalah ini: mau
menerima komplain. Ihwal terakhir inilah esensi dari ramah tamah dagang yang
kerap diejewantahkan menjadi jargon marketing belakangan “tak puas, uang
kembali.” Oh iya, ada satu yang lewat, kerut-kerut di pipi pak tua itu jadi
nilai lebih karena jadi pigura senyuman manis.
Barusan teman sekamar saya
membeli pisang lagi. Ia juga bertutur dengan senang bagaimana penjual kurus itu
memuaskannya. “Saya bilang saya nggak mau buah yang ini, saya maunya yang itu.
Dan dia tidak rewel.” Kami lalu sepakat dengan citra dua penjual buah depan
masjid al-Azhar di atas.
Ini adalah tips bisnis yang perlu
Anda perhatikan. Lihatlah bagaimana kerut-kerut di pipi dan sikap terhadap
pembeli dapat menjadi trading marker, lalu menaikkan omzet. Ini penting
karena barangkali di antara pembeli Anda ada yang sangat rempong dengan
hal-ihwal detil macam ini –tapi saya yakin ada-, apalagi ada kemungkinan di
antara orang-orang rempong itu ada yang hobi menulis lalu menyebarluaskannya
pada teman-teman facebook-nya.
0 komentar:
Posting Komentar