Tadi
sore, seorang kawan menyapa, bertanya sekaligus menghentak saya, “mana
tulisanmu? Biasanya tiap hari.” Tentunya dia tak membentak, ini cuma percakapan
chatting yang tak ada intonasi suara. Tapi pertanyaan macam itu, bagi saya yang
dulu sangat keranjingan menulis, selalu menjadi semacam teror.
Ubun-ubun
saya seketika panas tetapi saya sudah terbiasa mencari dalih. “Saya sedang
belajar menulis cerpen.”
Pernyataan
saya benar. Saya memang tengah menggeluti tata cara menulis cerpen, tapi itu
juga sungguh-sungguh sebuah dalih (baca: alasan (yg dicari-cari) untuk
membenarkan suatu perbuatan, kbbi).
Alih-alih
berjibaku latihan menulis cerpen, saya malah terlalu terbelenggu dengan masa
lalu. Senyum-senyum sendiri menikmati satu dua cerpen yang lumayan berhasil,
dan merana dengan kegagalan saya merangkai banyak cerpen. Padahal penulis –juga
kreator-kreator lainnya-, kata AS. Laksana, haruslah terbebas dari bayang-bayang
karya terdahulu.
Barangkali
saya adalah penulis yang masih hidup dalam cakrawala pembaca. Tugas pembaca
memang mengekalkan ingatan pada apa yang mereka sukai –seperti anak muda yang
baru-baru jatuh cinta, hihi-. Tetapi urusan penulis adalah move on,
menghapus ingatan dari apa-apa yang sudah mereka bikin. Nasehat terakhir juga
saya dapat dari Sulak.
Saya
juga gagal mengejewantahkan nasehat guru menulis saya, “banyak-banyaklah
membaca, karena hanya penulis amatir yang menghasilkan tulisan lebih banyak
dari pembaca.” Masalahnya, bukannya antusias baca, saya malah lebih banyak
meratap, “kapan ya saya bisa banyak baca?” dan membiarkan waktu saya tersita
untuk renungan tak bermanfaat ini.
Menulis
sebenarnya tentang kedisiplinan. Jika pemain bola saja setiap harinya memiliki jadwal
rutin berlatih, mengapa penulis yang kerjaannya tidak main-main tidak punya waktu
khusus menulis?
Ok,
saya perlu mengakhiri keluh kesah ini namun yang lebih penting adalah bagaimana
mengakhiri kebiasaan buruk. Saya tak mau menjadi kuburan untuk mimpi-mimpi saya
sendiri. Saya tak mau di usia ketika orang-orang telah matang sebagai penulis,
kenalan-kenalan facebook masih saja memuji saya sebagai “orang yang berbakat
menulis.” Jika itu terjadi, artinya saya telah gagal menyelaraskan diri saya
dengan potensi. Masalahnya bukan malu atau tidak, ini tentang laporan
pertanggungjawaban perihal apa saja yang saya kerjakan di dunia.
0 komentar:
Posting Komentar