Gajah Subur bukan nama sejenis mamalia.
Ia adalah nama desa tempat kepribadianku disemai ketika belia. Terletak di
pesisir Barat pantai Sumatra. Selang-seling cemara dan kelapa memagari kampung
kami dari gulung-gulung ombak samudra Hindia. Nun jauh di Timur, bukit Barisan berjejer
membentuk benteng raksasa. Menjadi pigura untuk sang surya yang terbit setiap
pagi.
Mengenai nama aneh itu, aku sama sekali
tak tahu asal usulnya. Pak Bendi, kuncen hutan yang kabarnya punya ilmu ghaib,
bilang bahwa dahulu tempat kami adalah markas dedemit. Komplotan hantu itu dipimpin
oleh raja setan berwujud gajah raksasa.
“Akulah, eheheh, yang berhasil mengusir
komplotan makhuk halus itu, eheheh,” ujar Pak Bendi sambil terkekeh seperti biasa.
Gigi ompongnya mirip rumah transmigran yang lama ditinggal penghuninya, bolong
di sana-sini dimakan rayap. Pak Bendi selalu mengakhiri celotehnya dengan menyedot
dalam-dalam rokok kretek dengan alat hisap dari gading gajah India.
Tapi, ah, lupakan! Aku tak pernah
percaya cerita itu. Meski selain Pak Bendi, tak ada orang lain di kampong ini
yang tahu sejarah desa. Aku malah lebih maklum denga ncerita Pak Sobar, pemburu
termasyhur kampung kami. Pak Sobar sering mendapatkan buruan-buruan unik. Ia pernah
menangkap beo warna kelabu, murai berjari kaki lima, serta yang paling aneh rusa
bertanduk tiga.
Dan menurut ceritanya, asal mula nama
desa kami adalah bahwa ketika perambah hutan ingin membuka desa, mereka dicegat
seekor gajah teramat besar, seukuran truk tronton. Gajah itu mengamuk menyerang
para penebang pohon. Tujuh orang pekerja tewas diterjang sang gajah.
Aku juga tak tahu mengapa aku terlahir
di desa tepi hutan ini. Ayahku adalah lulusan STM pertanian yang berusaha mendapatkan
penghidupan yang layak. Nasib mengantar kannya bertugas menyuluh petani-petani baru
yang pekerjaan aslinya adalah berdagang atau kuli. Sementara ibu adalah sosok wanita
setia yang rela meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di salah satu sekolah
swasta Surabaya demi menemani suamit ercinta. Karena kegigihan seorang pemuda mencari
pekerjaan dan kesetiaan seorang istri itulah aku terdampar di tempat ini.
“Di tempat sunyi seperti ini kita
akan terlatih untuk lebih peka mendengar, lebih khidmat dengan alam. Di kota,
telingamu akan terbebali bising kendaraan hingga tak sempat terbuai lolong-lolong
simpanse, kerik jangkerik, bahkan kokok ayam jantan di pagi hari.” Ayah
bertutur sambil mengelus rambutku. Jawaban macam ini selalu ku dengar setiap kutanya
mengapa ayah tak ikut pindah ke kota seperti kolega-kolega pegawai negri lainnya.
Bulan lalu, Pak mantri pergi. Seminggu kemudian, bidan desa angkat kaki. Hari ini,
salah seorang guru di satu-satunya sekolah desa turut pindah kerja.
Desa kami memang terpencil,
terpisahkan 20 kilometer dari Argaraya, desa terdekat. Transportasi keluar desa
sangat susah. Hanya ada dua mobil di desa ini. Keadaan itu membuat para pegawai
yang ditempatkan di sini tak pernah betah. Biasanya mereka hanya tinggal setahun,
sekedar memenuhi persyaratan untuk mengajukan permohonan pindah tempat kerja.
“Pegawai negri sekarang bukan lagi para pengabdi
negri, tapi para lintah darat ibu pertiwi. Mereka menyedot pendapatan negri ini
dengan bekerja ala kadarnya. Tak mau berkorban demi rakyat kecil yang karena pajak
mereka, para pegawai itu digaji,” sungut Ayah mengomentari para pegawai itu. Raut
muka Ayah tampak geram.
Aku mengalami sendiri bagaimana
rasanya menjadi anak tiri ambisi-ambisi pribadi pegawai mata duitan itu.
Sekolahku tak pernah masuk pagi, padahal sebagian anak yang tinggal di seberang
sungai harus berangkat pagi-pagi sekali, ketika matahari masih berupa semburat
merah di ufuk timur. Itu pun dengan resiko terseruduk celeng yang larinya tak
bisa belok karena dikejar anjing hutan atau dipatok ular sendok yang tiba-tiba
mendesis di atas kepala, di balik rimbun dedaunan yang tak sengaja tersibak
kepala.
Belum lagi jika hujan turun,
sungai Air Ramai yang di hari-hari biasa sangat bersahabat itu –airnya sangat
jernih, batu-batu di dasarnya warna-warni, ikannya besar-besar- pasti mengamuk.
Arusnya deras menerjang-nerjang pohon dan bebatuan di tepi sungai, menghayutkan
apa saja yang tak kokoh. Teman-temanku, yang tinggal di seberang sungai, harus
manjat pohon Pukak dan bergelayutan di atas tali yang digantung melintang sungai.
Si Topa, jagoan main kasti sekolah kami, pernah sial tergelincir dan hanyut
dibawa arus sungai hingga ditemukan di lubuk Semundam, 30 kilometer dari desa
kami. Beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan.
Aku juga selalu berangkat sekolah
pagi-pagi meski tidak sepagi mereka. Usai shalat subuh dan mengaji di rumah Pak
Sulaeman, aku main badminton sebentar dengan Ayah di lapangan depan KUD
seberang rumahku. Lepas itu mandi, makan dan segera berangkat. Tapi setibanya
di sekolah para guru belum datang. Bayangkan, baru pukul 08.30 WIB kegiatan
belajar mengajar dimulai. Aku berjanji jika aku besar dan jadi penulis akan
kubeberkan semua borok mereka. Biar orang-orang tahu, bahwa di pelosok-pelosok
negri ini masih banyak anak yang tidak mendapatkan hak pendidikannya.
Kampungku sebenarnya sangat
potensial. Ada air terjung setinggi tujuh meter di ujung desa, arusnya pun
besar. Seharusnya air terjun itu bisa digunakan untuk menerangi tiga desa. Tapi
kata Ayah, proposal yang diajukan untuk membeli dynamo dan seperangkat alat
PLTA tak dikabulkan pemda. Jadilah malam-malam desa kami begitu mencekam dengan
satu dua lampu patromak yang tergantung di rumah orang-orang yang cukup berada.
Selebihnya hanya bercahayakan lampu teplok atau kaleng sarden berisi minyak
yang diberi sumbu sobekan kolor bekas.
Pernah juga singgah sebuah mobil
jip hitam di rumahku. Ada dua orang turis –semua bule bagi orang kampung kami
adalah turis- asal Australia yang turut bersama orang sewaan dari Bengkulu.
Kata Ibu mereka tengah menyelidik bebatuan di sungai belakang rumah Pak Hendri.
“Mau diapakan lubuk kami, bu?”
protesku pada Ibu setelah pada satu siang menemukan mereka mengebor
tebing-tebing tepi sungai, dan itu membuat lubuk tempat kami biasa mandi keruh.
“Mereka bilang menemukan
batubara,” jelas ibuku. Untungnya akhirnya mereka pergi dan tak pernah kembali.
Kata ibu batubaranya masih muda. Aku tak peduli kecuali bahwa lubuk kami
kembali jernih.
Kampungku juga menyimpan
kisah-kisah ironis. Jika malam purnama, muda-mudi bercengkrama di lapangan badminton
depan KUD. Di gardu samping pohon akasia yang sangat rindang. Ada satu dua yang
membawa gitar dan menyanyikan lirik-lirik roman. Beberapa rayuan gombal juga
terdengar di antara lagu. Tapi suara mereka tak ada yang merdu hingga malah
menganggu usahaku untuk tidur. Terkadang aku harus menahan otot perut yang tegang
mendengar jual beli ejekan konyol antar mereka yang saling menertawakan
malangnya nasib.
“Ah, kau buyung. Jangan pikir
dengan keahlian kau memancing ikan kau dapat meminang Yanti, adik ipar kades
kita itu, hahaha,” Aku kenal itu suara Yanto, buruh perkebunan sawit yang mukanya
penuh codet karena tertimpa setandan buah sawit.
“Hei, kau buruh sawit seumur
hidup dan terancam tujuh turunanmu jadi buruh. Pikirkan saja bagaimana agar
keturunan kau kelak tak jadi buruh sawit. Tak usah banyak cakap urusan asmara
orang!”
Lalu gelak tawa membahana,
orang-orang itu tak perlu membaca novel filosofis Albert Camus, The Myth of
Sisyphus untuk mengerti bahwa menertawakan diri sendiri adalah obat mujarab tuk
menjalani hidup yang serba miris.
***
Siang ini, aku teringat semua
cerita masa kecil itu ketika mampir sejenak di rumah makan padang di tempat
yang dulu adalah rumahku. Aku sedang dalam perjalanan ke Padang untuk
sosialisasi e-ktp. Kini KUD telah beralih menjadi bagunan kayu tempat para
buruh menginap, dan lapangan badminton berubah jadi pasar semi permanen yang
hanya ramai jika hari gajian tiba.
Di bawah akasia yang batangnya
semakin besar saja, Ahmad Musthafa –maaf lupa kuceritakan kalau nama asli
buyung begitu keren- dengan uban di mana-mana menunggui ikan-ikan hasil
tangkapannya yang ia untai dengan rautan buluh bambu. Di sampingnya, Yanto
tengah tergelak menunjuk ikan dagangan buyung. Di pinggang Yanto tersarung parang,
tangannya menggenggam galah panjang untuk memanen sawit bak prajurit memegang
tombak. Hanya itu yang dapat kuceritakan karena seluruh desaku kini telah jadi
perkebunan sawit. Kabarnya pemiliknya orang Malaysia.
0 komentar:
Posting Komentar