Apa yang harus saya lakukan musim
panas ini? Mungkin merenung. Ya, merenung. Ada banyak hal yang saat ini perlu
dipikirkan lebih tenang, dalam, dan matang karena mengenai masa depan dengan
pertaruhan yang riskan.
Seharusnya saya senang karena
ujian semester delapan telah usai –semoga ini ujian terakhir-, saya bisa
menikmati jalan-jalan, nonton piala dunia, dan terutama kembali pada hobi saya
yang terhalang aktifitas ujian: berpetualang di dunia maya mencari tahu apa
saja. Namun sepertinya, khusus edisi ini, saya perlu sedikit menyisihkan waktu
untuk berpikir akan beberapa hal. Pasalnya, saya kini berada di ujung masa
studi dimana kesalahan membuat keputusan akan fatal, sekaligus dalam usia yang
telah kadaluarsa untuk mengerjakan segala sesuatu secara serabutan.
Empat tahun yang saya lalui di
sini tidaklah buruk, meski seharusnya bisa dilalui dengan hasil yang jauh lebih
baik. Dari hari-hari yang dilalui di sini, saya menjadi lebih dewasa bersikap,
khususnya dalam hubungan intrapersonal dengan keluarga, dan wanita. Memang
semua orang menjadi dewasa dengan pertambahan usia, dan menjadi lebih baik
dalam sedikit medan tentunya mengkhawatirkan. Tapi saya juga di sini dapat
menilai lebih bijak potensi sejati diri sendiri, mengerti kekuatan karakter,
dan mendapat world view yang matang. Bagi saya, tiga hal terakhir bukan perkara
remeh.
Hal pertama membantu saya memilah
langkah yang lebih cocok untuk diri sendiri dalam mengarungi dunia ini. Hal
kedua memantapkan etos kerja. Hal ketiga, membuat saya lebih enjoy menyikapi
dua perkara yang kerap menjerumuskan, sukses atau gagal.
Tapi seperti saya sudah bilang,
seharusnya saya dapat mengakhiri dengan lebih baik. Itu jika jauh-jauh hari
sebelum menginjakkan kaki di sini, saya telah menyiapkan langkah-langkah
konkrit untuk dilakukan di sini. Masalahnya, saya datang kesini tanpa
pengetahuan yang obyektif tentang Masisir dan enggan menyesuaikan diri dengan
cepat dengan lingkungan baru ini. Tentu saja ini sangat fatal. Saya pulang
hampir dengan tangan hampa, kalau saja saya tidak memaksakan diri mengikuti
kegiatan-kegiatan yang setidaknya membuat saya memahami wacana dan
tanggungjawab sebagai alumni Mesir.
Karena itu, hari-hari ini saya
harus memastikan, saya tidak mengulang kesalahan mendasar itu. Sekarang adalah
usia yang terlampau tua untuk terpeleset kesalahan kanak-kanak macam itu. A
failure to plan is a plan to fail. Seperti seorang dokter akan membahayakan
nyawa orang jika salah mendiagnosa penyakit, kegagalan kita mendefisikan diri
sendiri akan mengancam nilai berlangsungnya hidup kita.
Sekarang saya perlu sedia
mempelajari keadaan, dan meningkatkan kemampuan beradaptasi. Jika saya
benar-benar ingin ke Prancis, saya harus mengerti suasana negara Napoleon itu
sekaligus bersedia mengambil langkah-langkah adaptasi. Bukan hanya dengan cuaca
dingin, bea hidup yang mahal, atau bahasa baru. Tetapi juga menghadapi kultur
baru, cara pandang baru dan orang-orang baru.
Saya perlu mengejewantahkan visi
besar saya dalam misi yang lebih jelas dan realistis, serta mengerjakan
aktifitas yang mendukung dengan teratur dan konsisten. Semakin hari, cita-cita
harus berubah semakin terang dan detil. Karena kita tak ingin lagi
menganggapnya sekedar bunga tidur anak-anak. Ini adalah tanggungjawab manusia
dewasa. Jika cita-cita adalah perkara yang boleh direvisi, maka tanggungjawab
tidak dapat melenceng dari garis-garis yang telah berlaku.
Dengan semua itu, tak berarti
saya menjadi terlalu kaku dalam kehidupan ini. Seperti saya sudah sampaikan,
sekarang saya lebih rileks menghadapi dunia yang penuh kemungkinan-kemungkinan.
Saya hanya membawa diri saya pada titik usaha, dan di luar batas itu, saya
serahkan semuanya. Saya harap, kebijakan ini sudah cukup dewasa untuk usia yang
hampir 25. Tapi saya juga menyediakan diri untuk terus belajar.
0 komentar:
Posting Komentar