Saya tidak tahu apakah Masisir memang buruk, setidaknya itu
yang saya tangkap dari pendapat senior di lingkup komunitas kecil saya. Tetapi
suatu ketika saya terhenyak ketika seorang kawan mengatakan ini, “Kamu, kan, tidak
menjangkau seluruh aktifitas Masisir.” Ya, ada sangat banyak ragam aktifitas
positif Masisir yang membuatnya tidak bisa digeneralisir sebagai komunitas
buruk. Ada sekelompok orang rajin menghafal al-Qur’an, segelintir yang menekuni
kaligrafi, belajar bahasa Arab, talaqqi, dlsb.
Kemudian, saya mencoba mencerna apa makna kata buruk yang
senior saya bilang. Barangkali, karena ia kutu buku, ia bermaksud minimnya cendekia
yang dapat berpikir secara ilmiah, berwawasan luas, dan dewasa secara
intelektual di Masisir. Tetapi bukankah di setiap komunitas, bahkan dalam
lembaga formal akademis, para intelek selalu jadi minoritas? Di kampus-kampus
tanah air, selalu lebih banyak orang yang hobi pacaran dan demo daripada mereka
yang gemar diskusi. Jadi, menghukumi Masisir sebagai sesuatu yang buruk hanya
atas premis itu bagi saya adalah kesimpulan yang tidak bijaksana.
Saya lebih setuju dengan pernyataan seseorang di buletin kita:
mari kita lihat Masisir sebagai potensi, bukan selamanya masalah. Masisir
adalah cermin Indonesia dengan keragamannya, maka kegagalan memberi solusi atas
permasalah Masisir adalah cermin ketidakmampuan kita menghadapi masyarakat
Indonesia yang majemuk.
Belum lama ini saya mendengar opini yang sedikit berbeda.
Pendapat ini lebih baik: banyak orang hebat di Masisir tetapi tidak ada yang
membumi. Well, saya bertanya-tanya apa yang ia maksud dengan membumi. Selama
ini yang saya pahami dari membumi adalah kerendahan hati.
Karena saya banyak menemukan Masisir yang tawaduk dan tidak
sombong artinya ia tak menghendaki makna ini. Barangkali ia bermaksud tidak
adanya sosok menonjol Masisir[1]
yang dikenal luas oleh Masisir dari pelbagai kalangan, mahasiswa-mahasiswi,
orang kuliahan-orang rumahan, akademisi-pebisnis, dll.
Yang ini saya setuju. Masisir, menurut saya, memang komunitas
yang berjarak dan terputus satu sama lain. Ada banyak sekali komunitas yang dengan
gengsinya mencoba menunjukkan hegemoni. Sialnya, justru keengganan untuk
merendahkan gengsi masing-masing penyebab kegagalan mereka.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana itu bisa terjadi? Saya anggap
menjawab pertanyaan ini penting untuk kita semua. Identifikasi masalah itu
ibarat pekerjaan dokter mendiagnosa penyakit, ketepatannya sangat berguna,
sebaliknya kesalahannya berakibat fatal. Sekarang saya coba menjawab pertanyaan
itu dan silakan kalian jawab sendiri-sendiri.
1.
Kegagalan PPMI sebagai organisasi Induk
Saya melihat selama ini PPMI lebih berupa event organizer untuk
kegiatan senang-senang. Lihat saja, kegiatannya kebanyakan berupa pentas
seni. Sementara kegiatan yang lebih subtansial seperti keilmuan kurang digarap
secara serius. Acara intelektual lebih banyak berupa seminar sehari dan tanpa aktifitas
lanjutan yang jelas dan teratur. Saya perhatikan beberapa kepengurusan
menganggap “mengadakan seminar ilmiah sehari” adalah pertanggungjawaban yang cukup
untuk meningkatkan intelektualitas Masisir.
Tahun-tahun belakangan ini ada perkembangan positif. Ada
kegiatan coffee break yang mempertemukan PPMI dengan Masisir. Saya pikir ini inovasi
bagus dan perlu untuk membangun pemahaman bersama dan selanjutnya memprakarsai
kegiatan yang terbangun atas mutual interest and mutual demand. Pula, Tahun ini ada
usaha mendekatkan Masisir dengan al-Azhar, tentu saja ini positif karena
sejatinya Masisir datang ke Mesir untuk belajar di al-Azhar. Selama ini, saya
lihat aktifitas organisasi sering dianggap antitesis kegiatan keazharan, tentu
saja ini perlu diubah.
Masalah lain adalah terpecahnya Masisir ke dalam kotak-kotak
politis. Ini membuat dinamika Masisir tidak sehat. Masing-masing kelompok yang
kalah secara politik tidak mau membaur dengan kalangan lainnya. Ini salah satu
faktor keterputusan interaksi.
2.
Kegagalan Media
Sebagai pegiat media, sebenarnya saya sedih menyatakan ini.
Tetapi bahwa media Masisir tidak punya kemampuan kapilaritas adalah fakta.
Media seharusnya mampu meresap ke setiap pori-pori kecil untuk kemudian membawa pengaruh. Nyatanya, berapa orang Masisir yang membaca Terobosan atau
Informatika?
Apa lacur? Barangkali insan-insan media perlu lebih serius
menggarap pekerjaan media. Namun hal ini juga disebabkan minat baca Masisir
yang rendah.
3.
Sistem Kuliah al-Azhar
Jika kuliah wajib, tentu fokus utama mahasiswa adalah kuliah,
sehingga aktifitas luar kampus adalah hiburan yang akan dipenuhi antusiasme. Disiplin
kuliah yang longgar membuat beragam kecenderungan, pikiran dan hobi seperti
mendapat legitimasi untuk menjadi fokus utama. Akibatnya setiap orang memiliki
dunia masing-masing yang tak mau diganggu gugat.
Sebenarnya saya ingin menulis bahwa KBRI juga berperan
merawat Masisir untuk terus tumbuh sebagai komunitas individual. Tetapi karena
ini bukan pekerjaan utama mereka jadi tak usah saya bahas panjang lebar.
[1]
Istilah Masisir saya gunakan untuk dua maksud: 1. Komunitas Masyarakat
Indonesia Mesir secara keseluruhan 2. Satuan Individu dari komunitas tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar