Jujur, persepsi saya terhadap wanita
mulanya berupa preseden positif. Pasalnya, tumbuh kembang saya sebagai manusia
lebih banyak dikarenakan curahan perhatian dan lindungan Ibu. Bapak mengambil
peran yang lebih sedikit karena sibuk di luar rumah. Jadi, mulanya saya menggap
semua wanita bagai Ibu–teman saya yang gemar Carl Jung bilang ini gejala odipus
complex-, yang sabar, telaten, ulet dan pemaaf. Lebih dari itu, citra Ibu dalam
benak saya tergambar sebagai sesuatu yang sempurna
Bersama berjalannya waktu, saya
mengerti jika setiap persona memiliki keunikannya masing-masing. Tidak semua
wanita seperti Ibu. Saya juga harus mengerti jika mereka memang bukan ibu saya
yang perhatian utamanya adalah anaknya. Terutama sekali, saya segera dihadapkan
dengan pengetahuan tentang rumitnya wanita.
Lalu, saat bersentuhan dengan makhluk-makhluk
halus itu, karena tersadar dengan ketidaksempurnaan dunia, saya lebih memilih
untuk berlalu, menyisakan banyak hal tak terselesaikan. Mengapa? Karena wanita
adalah misteri yang tidak untuk dipecahkan, tetapi untuk dinikmati sebagai
sebuah mahakarya. Bukankah karya seni, kawan, tetap bernilai tinggi bahkan ketika
menyisakan pertanyaan-pertanyaan?
Lagipula, usaha menyingkap wanita
adalah urusan berpeluh-peluh. Membutuhkan tenaga, pikiran, perasaan dan waktu
yang membentang. Bagi saya, itu adalah pekerjaan seumur hidup. Artinya, saya
memilih untuk tidak terjun dalam aktifitas sibuk itu sekarang, dan membiarkan
mereka dengan segala pesonanya terbang.
Maka, dalam banyak kesempatan
untuk berinteraksi dengan wanita selama ini, saya lebih terlihat seperti
pengecut. Tidak, saya bukan pengecut. Saya hanya belum menjatuhkan diri saya
pada peperangan yang seharusnya. Atau, mungkin kebijakan saya bisa diungkapkan
dengan strategi kuno ini: you may loose the battle in order to win the war.
0 komentar:
Posting Komentar