RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Sabtu, 11 Desember 2010

Untuk Sahabat


Ini tentang sahabat, dan mimpinya yang menjadi kenyataan. Aku begitu tergelitik untuk menulis ini karena aku merasa ada pelajaran yang bisa kita petik dari cerita yang kutuliskan.

Namanya Farid, sebenarnya itu adalah nama pemberian dari Ustadnyanya saat di pondok, aku lebih dahulu mengenalnya sebagai Fesa, nama aslinya Nofesa. Bukannya tak ada yang menarik dari dirinya sehingga tak kujelaskan kepribadiannya dengan panjang lebar, namun ia hanyalah pribadi yang selalu tenang dalam kesahajaannya, rojulun ma’rufun bikhusu’ihi. Dan justru itu yang membuatku selalu nyaman bila bersamanya, selain senyuman tipis yang tak pernah lekang terkembang dari raut wajahnya.

Ia berasal dari Ipuh, kota kecil di provinsi Bengkulu ( aku selalu mengherankan sebagian orang yang masih bertanya kepadaku dimana letak Bengkulu, padahal Bengkulu sudah menjadi provinsi sejak 18 november 1968), tak jauh dari rumahku. Aku mengenalnya karena ayah kami satu profesi sesama pegawai negri kecil yang harus merantau jauh dari daerah asal.

Madinah al Munawwaroh, nama kota itu. Kota yang kutahu selalu diimpikan oleh Fesa, aku mengetahuinya dari obrolan-obrolan kami. Dari sanapun aku menangkap bahwa mimpinya telah menjadi sebuah obsesi dan bahkan menjadi bagian dari hidupnya. Sepertinya hari-harinya selalu dipenuhi dengan bayang-bayang kota tercinta itu. Dan kutahu malam-malamnya sering dihiasi dengan bayangan abstrak kota itu, karena hanya terlukis dalam alam mimpi. Karena itu pula aku yakin, bahwa suatu saat dia memang akan menginjakkan kaki di kota itu, sebagai pelajar Universitas Ummul Quro, seperti harapannya.

Namun aku juga tahu (sebelum kejadian yang membuatku menulis ini), jalannya menuju impiannya seperti mustahil, anak itu hanyalah lulusan sebuah pondok kecil di pinggiran jawa tengah dengan kemampuan bahasa arab yang minim. Yang aku tahu, orang-orang yang termasuk kategori pandai di pondokkupun (pondok yang diakui banyak universitas di timur tengah), beruntung bila dapat lolos seleksi. Apalagi untuk mengikuti ujian seleksi langsung (muqobalah) harus berangkat langsung ke Madinah, tentunya dengan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan Farid termasuk dalam golongan orang yang tidak mampu untuk itu . Meskipun begitu aku selalu katakan kepadanya: “Percayalah! Quranmu akan menghantarkanmu kesana!”.

Dahulu, perkataanku itu hanyalah pemanis bibir, untuk membuatnya tetap menjaga harapannya.

Cerita ini bermula dari chatting ku dengan salah seorang temanku yang masih tinggal di pondok. Ya, seperti biasa, malam-malam menanti visaku banyak kuhabiskan dengan hanya chatting . Dan syukurnya, chattingku malam itu bermanfaat. Dari Chatting itu aku mendapatkan informasi bahwasanya hari-hari itu sedang berlangsung acara Dauroh (seminar) oleh para Syeikh dari madinah yang akan diakhiri dengan ujian seleksi ke Madinah. Wah, kesempatan emas, pikirku. Mungkin ini adalah jalan Farid untuk menggapai mimpinya.

Malam itu juga aku langsung menghubunginya, mengutarakan rencanaku. Paginya, dengan sepeda motor yang bisa dibilang butut dia menghampiriku di kosan temanku di sekitar kawasan UIN Sunan Kalijaga Jogja, untuk berangkat menuju Ponorogo. Hmph, bagiku ini terlihat lucu. Kami belum perrnah ke Ponorogo dengan mengunakan sepeda motor, meskipun aku pernah 5 tahun di Ponorogo. Tapi dari wajah Farid aku melihat bahwa keinginannya tak bisa dibendung. Well, we gotta go!

Jalanan berkelok-kelok Wonogiri dengan jurang di satu sisi dan tebing tinggi di sisi lainnya kami libas dengan kecepatan tinggi, karena kami harus tiba sebelum pendaftaran ditutup sore ini. Yang membuatku tambah terenyuh dan salut terhadap lelaki ini adalah, bahwa dia tahu kapan saat untuk berhenti karena kewajiban sebagai muslim, sholat lima waktu. Ketika adzan Dzuhur berkumandang,

“ Mas, sholat dulu ya!”, subhanallah, semoga sholatnya selalu menjaganya.

Bukan tanpa halangan, kami harus bertanya ke beberapa orang untuk memastikan kami di jalan yang benar menuju Ponorogo. Sempat beberapa kali berputar-putar di daerah yang sama, dan yang membuatku menahan nafas, kami hampir terperosok ke jurang karena tak mengenal jalan dan melaju dengan kecepatan tinggi. Saat beristirahat sejenak setelah hampir masuk jurang aku berkata,

“ Allah tahu niat dan tujuanmu rid, mungkin itu yang menyelamatkan kita”

“ Amin mas, semoga saja begitu” jawabnya.

Tiba di kota Ponorogo, kami langsung menuju Gontor 2, tempat dimana dauroh diadakan. Setelah sebelumnya shloat Ashar, kami langsung menuju ke kantor panitia. Kali ini biar aku yang urus, kataku pada Farid.

“ Dari mana mas?” aku bersyukur ustadz yang satu ini tak mengenaliku, aku kan alumni tahun lalu, batinku.

“ Dari Bengkulu Ustadz”, jawabku cepat, aku tahu jawaban ini bisa sedikit membantu. Secara aku tahu sedikit tentang hal-hal teknis semacam ini.

“ Sebenarnya untuk yang dari luar sudah ditutup mas kemarin,” keterangan ini hampir membuat semuanya sia-sia,

“ Tapi berhubung antum datang dari jauh, mungkin kita bisa konsultasikan ke syeikhnya, jika beliau bersedia, kami persilakan mengikuti ujian. Namun jika tidak, kami tidak bisa membantu.” Jelas ustadz itu lebih lanjut.

Pasti bisa lagi kali ini, batinku. Semenjak perjalanan tadi seolah ada sesuatu yang membuatku yakin jika semua rintangan pasti kan terselesaikan. Karena aku sudah menyaksikan sendiri betapa semuanya hanyalah mimpi kemarin malam, dan kini kita sudah separuh perjalanan.

“ Persyaratannya sudah lengkap mas?” Alamak, pertanyaan ini menyadarkanku, bahwa ada satu persyaratan penting yang belum kami punya,

“ Tazkiyah (semacam surat rekomendasi ) belum punya ustadz,” selorohku.

“ Ok, begini saja, kita akan lobi syeikhnya untuk menguji antum. Tetapi antum urus dulu persyaratan yang belum lengkap.” Hmm, baiklah.

“Rid, sekarang kita ke warnet, tadi aku sudah suruh temanku mengirim contoh Tazkiyah”, come on rid, semangat, jangan biarkan hal-hal teknis menghalangi tujuan muliamu.

“Nanti minta ke siapa mas tazkiyahnya?,” tanya Farid.

“ Ke ustadz senior aja, ada beberapa yang alumni Madinah, Ust Dihyah di ISID, terus Ust Iskarom di Al Azhar.” Jawabku menenangkannya.

Beberapa trouble kembali hadir merintangi, dari kesulitan ngeprint Tazkiyah (maklum Ponorogo), Ust Dihyah yang tak ada di rumah (sempat ketar-ketir yang ini, karena selain beliau aku kurang tahu siapa lagi alumni Madinah yang masih mengajar di Gontor, dan lagi beliau termasuk orang ternama yang pasti Tazkiyahnya akan dipertimabangkan), hingga Tazkiyahnya yang kata Ust Iskarom berbahasa tidak jelas (gimana sih nurtriono ini (aku minta contoh surat dari nurtriono, temanku yang juga akan ke Madinah)), untungnya, Ust Iskarom berbaik hati membuatkan Tazkiyah untuk Farid dengan tulisan tangan beliau.

Tepat sebelum adzan maghrib kami menyerahkan persyaratan. Alhamdulillah, tugasku selesai, setelah maghrib Farid yang harus ujian, kali ini aku tak bisa bantu.

Itulah kisah perjalanan kami, sudah sangat lama. Namun ingatanku kembali segar ketika aku melihat status temanku di facebook bahwa ia lulus ke Madinah. Seketika itu juga aku ingat Farid, akupun meminta situs yang mengabarkan pengumuman kelulusan. Ketika kudapati nama Farid Novesa, kusadari kala itu dengan sebenar-benarnya bahwa Allah memang Maha besar. Ia lulus. Betapa mimpi itu kini bukanlah sekedar bunga tidur. Alhamdulillahirabbilalamin.

Beberapa hari yang lalu aku chat dengan Farid, dia kini sudah di Madinah, kota tempat labuhan semua mimpinya. Dia mengajakku untuk kesana, dia cerita betapa damainya sholat di masjid Nabawi. Hatiku tersentuh mendengar semua itu. Nikmati saja kedamaian itu kawan, semoga hawa madinah membuat senyummu semakin bersahaja. Biarlah aku disini, berjuang dengan caraku sendiri. Biar kesemrawutan Kairo mendidikku untuk menjadi lelaki kuat, biar problematika membuatku beranjak dari sekedar anak manja. Seperti apa yang dulu pernah kita simpulkan dari perbedaan kita: Tujuan kita sama, meski dengan jalan berbeda.

Missing you, if you are here.

Truly yours