RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Minggu, 29 Maret 2015

Obrolan yang Mencegah Gila



Semalam saya bertemu dengan seorang senior, lebih spesifik lagi seorang konsul. Di sekolah kami, ikatan kedaerahan sangat kuat sehingga dengan modal kata “konsul” Anda bisa tiba-tiba diperlakukan bak saudara. Itu kata untuk memanggil teman dari daerah yang sama.

Awalnya saya kira dia hidup menderita. Yang saya tahu, ia telah bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia akademis dan hingga sekarang seperti belum menunjukkan tanda-tanda akan mengentaskan diri. Menjadi mahasiswa abadi saya pikir adalah nasib buruk. Orang-orang seperti itu biasanya akan banyak menggerutu tentang keburukan dosen, kejelekan buku diktat, atau kebobrokan sistem. Semuanya diumbar untuk menjustifikasi kegagalan diri sendiri.

Tapi saya salah, dia bukan mahasiswa abadi dengan definisi di atas. Kuliahnya lancar dan kini sedang mempersiapkan doktoral. Dengan tenang ia ngopi, sesekali tawanya pecah. Wajahnya, meski hampir berkepala tiga, tidak menunjukkan keriput, uban atau tanda-tanda penuaan dini lainnya. 

Meski terlihat santai, saat obrolan dimulai kedewasaaan intelektualnya nampak. Ia mulai berceloteh perkara-perkara berat bak cucakrowo mengoceh kala hujan turun, tak henti-henti. Sesekali, pernyataannya menimbulkan guncangan-guncangan di kepala saya.

Ini seperti menemukan oase di tengah gurun, benar-benar melegakan. Setelah bertemu banyak orang yang rata-rata berorientasi pragmatis, duit,  dan hampir-hampir membuat saya mengubah haluan. Akhirnya saya bertemu juga orang yang berpikiran sama, bahwa ada yang lebih penting dari sekedar buru-buru mapan, menikah, punya anak, dan mati. Kalau cuma begitu lantas apa beda kita dengan kambing. Ada yang lebih besar dari kenyamanan kosong: mencapai kesuksesan intelektual. 

Tapi keberhasilan intelektual tidak sama dengan sukses secara akademis. Itu bukan perihal kuliah tepat waktu, meraih ipk sempurna atau menjadi mahasiswa terbaik. Anda harus menyelesaikan perjalanan intelektual yang telah Anda mulai, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengetuk-ketuk kepala Anda setiap pagi demi membuat dunia lebih baik. Be the change you want te world to be, begitu kata Mahatma Ghandhi.

“Kita perlu punya standar keberhasilan sendiri. Saya sudah mengikuti permintaan kampus hingga menjadi mahasiswa terbaik, tetapi setelah itu saya hanya menemukan kualifikasi kampus tidak bisa bersaing dengan percaturan yang lebih besar.”

Pertemuan ini sangat saya syukuri karena meminjam istilah Kafka untuk buku, obrolan yang memecahkan kebekuan dalam kepala Anda adalah obrolan yang berkualitas. Bincang-bincang hingga larut malam itu berkualitas karena membuat saya lupa sejenak dengan rengekan dan keluhan teman-teman saya yang lain. Akhir-akhir ini, sebagian besar teman saya sedang kelimpungan karena bingung menentukan langkah akademis selanjutnya.

Kebanyakan dari mereka meraih nilai yang terlalu bagus untuk dibilang bodoh. Hanya saja ketidakmampuan menentukan orientasi akademis membuat mereka seperti orang linglung, lebih fatal lagi karena segelintir tampak belum punya juga orientasi hidup yang jelas. Obrolan semalam menyelamatkan saya dari menjadi orang-orang yang terus mengeluh dan linglung. Karena perlu Anda tahu, orang waras yang sendirian berada di kumpulan orang gila lama kelamaan dapat tertular gila.

Purnawirawan yang berjalan dari Bandara Ke Pengadilan

Malam itu saya hanya ingin sampai ke tempat tidur dan segera memejamkan mata, tapi sang sopir taksi bercerita jika ia telah berjalan kaki dari bandara ke pengadilan.


Cerita ini seharusnya ditulis enam bulan lalu, tetapi karena jaringan internet di Indonesia seperti kura-kura langka: susah ditemukan dan lambat, saya terpaksa menundanya. Malam itu adalah malam sial yang melanjutkan penerbangan yang kurang beruntung saya. Seharusnya, pulang dari Mesir ke indonesia (mungkin untuk selamanya) dijalani dengan nyaman. Karena harapan itu pula saya mencoba pesawat yang jadi sponsor club sepakbola yang sedang naik daun. Barangkali saja David Silva atau Jesus Navas tiba-tiba jadi pramugara. Tapi saya malah ketiban sial.

Pesawat delay satu jam hingga saya harus tergopoh-gopoh waktu transit. Saya kira masalah selesai di sana, tetapi di atas pesawat saya bertemu dengan orang Arab sombong dan TKW yang anaknya tertabrak lari -sudah pernah saya ceritakan sebelumnya. Nahasnya, selepas mendarat, saya menunggu bagasi hingga pukul 12 malam hanya untuk menemukannya tidak ada.

Ternyata, koper saya, karena jadwal pesawat mepet, dibawa di penerbangan selanjutnya dan itu esok hari. Saya sempat tersenyum sebentar karena pihak maskapai memberi ganti rugi ketidaknyamanan sebesar 400 ribu. Tapi saat keluar Bandara saya kembali mengelus dada karena teman yang menjemput saya tidak kelihatan batang hidungnya. Ini jakarta dan tengah malam.

Ini jakarta, kota kapitalis parah, dan benar saja: seorang supir taxi langsung mendekat sambil menawarkan jasa. Awalnya saya tidak mau karena ingin memastikan keberadaan teman saya. Tapi karena dia menawarkan handphonenya untuk menelpon, saya jadi tidak enak hati untuk tidak naik mobilnya. Apalagi teman saya memang menyarankan untuk naik taksi, pasalnya dia telah pulang akibat menunggu terlalu lama. Dia pikir saya hilang di dalam atau bagaimana. Yang jelas nasib saya malam itu adalah naik taksi Avanza.

Yang menarik dari cerita malam itu adalah perjalanan itu sendiri. Sopir itu antusias sekali bercerita. Saya baru paham di akhir bahwa antusiasme sang sopir adalah dalam rangka menuturkan nasibnya, juga barangkali sedikit permintaan tolong.

Alkisah dia adalah purnawirawan TNI. Berdasarkan ceritanya, pada zaman Suharto, tentara mempunyai dwifungsi, mereka boleh bekerja di BUMN-BUMN. Dia bekerja di Bandara. Tetapi pasca reformasi yang mengembalikan tentara ke barak-barak, tentara diberi pilihan untuk tetap bekerja atau kembali menjadi penjaga negri ini. Dia pilih bekerja dan melepas pangkatnya.

Nahasnya, meski telah mengikuti sekolah lanjutan yang setara S1, ijazahnya tidak diakui dan dibayar setaraf lulusan SMA. Dia pun melapor ke pihak berwenang. Tapi atasannya malah melaporkannya balik atas pencemaran nama baik dan dia kalah. Akibatnya dia diskors dari perusahaan dan gajinya tidak dibayarkan. Untuk menghidupi keluarganya, dia terpaksa menjadi sopir taksi.

Oh iya, namanya Purwanto. Saya tak tahu pihak mana ang benar dan salah dalam kasus ini. Tapi saya sudah berjanji dalam obrolan saya untuk bercerita pada teman-teman, bahwa dia berjalan kaki ke pengadilan dari kantor perusahaan ditemani kedua orangtuanya yang telah sepuh.

Terlepas benar atau tidaknya Pak Purwanto, cerita itu jadi menghentak kesadaran saya yang baru tiba di tanah air. Selama di Mesir saya hanya berkutat dalam dunia akademis yang meski punya sisi-sisi aneh tetap tak seabsurd kehidupan nyata. Silakan Anda-anda telusuri kebenarannya. Tugas saya telah tuntas dengan bercerita.

Penulis Jelek yang Kurang Bersyukur



Jika selama ini Anda minder karena punya tulisan tangan yang jelek, sekarang Anda boleh berharap.  Dengan bantuan grafologi, peruntungan Anda dapat berubah. Pasalnya, pakar grafologi kadang-kadang menerjemahkan tulisan jelek sebagai sesuatu yang penuh kreatifitas atau tanda kecerdasan.

Seperti belum lama ini, iseng-iseng saya kirim contoh tulisan tangan dalam program sebuah radio yang diasuh seorang teman. Saya harap kali ini analisanya berbeda dengan yang sudah-sudah. Dari kebanyakan program tebak-menebak karakter seperti zodiak, golongan darah, dll, saya bosan mendengar kata melankolis dan introvert disebut berulang-ulang. Sebelumnya saya tebak sendiri hasil analisanya, “wah, tulisannya jelek. Penulisnya pasti malas,” atau yang lebih buruk seperti begini, “wah, tulisannya tidak jelas. Ini mencerminkan masa depan penulisnya yang juga tak jelas.” Untungnya, hasilnya tidak seperti itu, jadi saya tak perlu khawatir dengan tulisan dan masa depan saya, haha.

Kata sang pakar, huruf-huruf tulisan saya lemas dan mengalir lancar. Itu pertanda kecerdasan dan daya kreatifitas yang tinggi. Saya tak paham grafologi jadi tak dapat menjelaskan apa hubungan antara lemas dan kreatifitas, apalagi antara tulisan yang mengalir dengan intelegensi.

Sebenarnya saya punya riwayat panjang perihal tulisan tangan. Waktu SD tulisan saya lumayan rapi hingga dipercaya guru-guru yang mual atau ingin pergi ke kantin untuk menulis pelajaran di papan tulis. Periode awal sekolah menengah tulisan saya semakin rapi dan berpola, ketika itu saya terobsesi menulis dengan bagus. Tapi pada akhir sma dan kuliah, ketika saya mulai banyak menulis, saya lebih memilih efisiensi.

Efisiensi dalam tulisan bagi saya adalah: menulis dengan goresan sesedikit-sedikitnya untuk pemahaman sebanyak-banyaknya. Jadi tulisan saya sekarang lebih mirip simbol-simbol yang ingin menyampaikan lebih dari susunan kata atau angka. Barangkali semacam semiologi.

Apalagi karena saya harus mengulang tulisan dalam bentuk digital, orientasi tulisan tangan saya semakin menjauh dari upaya menjadi rapi dan bagus. Dan sekarang, sebagai orang yang tulisannya jelek, saya disuruh banyak-banyak bersyukur oleh sang pakar grafologi. Akibat analisa itu, saya menjadi penulis tulisan tangan jelek yang kurang bersyukur.

Analisa selengkapnya di sini