RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 27 Juni 2014

Tentang Masisir dan Relasi Kita yang Putus-Putus



Saya tidak tahu apakah Masisir memang buruk, setidaknya itu yang saya tangkap dari pendapat senior di lingkup komunitas kecil saya. Tetapi suatu ketika saya terhenyak ketika seorang kawan mengatakan ini, “Kamu, kan, tidak menjangkau seluruh aktifitas Masisir.” Ya, ada sangat banyak ragam aktifitas positif Masisir yang membuatnya tidak bisa digeneralisir sebagai komunitas buruk. Ada sekelompok orang rajin menghafal al-Qur’an, segelintir yang menekuni kaligrafi, belajar bahasa Arab, talaqqi, dlsb.

Kemudian, saya mencoba mencerna apa makna kata buruk yang senior saya bilang. Barangkali, karena ia kutu buku, ia bermaksud minimnya cendekia yang dapat berpikir secara ilmiah, berwawasan luas, dan dewasa secara intelektual di Masisir. Tetapi bukankah di setiap komunitas, bahkan dalam lembaga formal akademis, para intelek selalu jadi minoritas? Di kampus-kampus tanah air, selalu lebih banyak orang yang hobi pacaran dan demo daripada mereka yang gemar diskusi. Jadi, menghukumi Masisir sebagai sesuatu yang buruk hanya atas premis itu bagi saya adalah kesimpulan yang tidak bijaksana.

Saya lebih setuju dengan pernyataan seseorang di buletin kita: mari kita lihat Masisir sebagai potensi, bukan selamanya masalah. Masisir adalah cermin Indonesia dengan keragamannya, maka kegagalan memberi solusi atas permasalah Masisir adalah cermin ketidakmampuan kita menghadapi masyarakat Indonesia yang majemuk.

Belum lama ini saya mendengar opini yang sedikit berbeda. Pendapat ini lebih baik: banyak orang hebat di Masisir tetapi tidak ada yang membumi. Well, saya bertanya-tanya apa yang ia maksud dengan membumi. Selama ini yang saya pahami dari membumi adalah kerendahan hati.

Karena saya banyak menemukan Masisir yang tawaduk dan tidak sombong artinya ia tak menghendaki makna ini. Barangkali ia bermaksud tidak adanya sosok menonjol Masisir[1] yang dikenal luas oleh Masisir dari pelbagai kalangan, mahasiswa-mahasiswi, orang kuliahan-orang rumahan, akademisi-pebisnis, dll.

Yang ini saya setuju. Masisir, menurut saya, memang komunitas yang berjarak dan terputus satu sama lain. Ada banyak sekali komunitas yang dengan gengsinya mencoba menunjukkan hegemoni. Sialnya, justru keengganan untuk merendahkan gengsi masing-masing penyebab kegagalan mereka.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana itu bisa terjadi? Saya anggap menjawab pertanyaan ini penting untuk kita semua. Identifikasi masalah itu ibarat pekerjaan dokter mendiagnosa penyakit, ketepatannya sangat berguna, sebaliknya kesalahannya berakibat fatal. Sekarang saya coba menjawab pertanyaan itu dan silakan kalian jawab sendiri-sendiri.

1.      Kegagalan PPMI sebagai organisasi Induk

Saya melihat selama ini PPMI lebih berupa event organizer untuk kegiatan senang-senang. Lihat saja, kegiatannya kebanyakan berupa pentas seni. Sementara kegiatan yang lebih subtansial seperti keilmuan kurang digarap secara serius. Acara intelektual lebih banyak berupa seminar sehari dan tanpa aktifitas lanjutan yang jelas dan teratur. Saya perhatikan beberapa kepengurusan menganggap “mengadakan seminar ilmiah sehari” adalah pertanggungjawaban yang cukup untuk meningkatkan intelektualitas Masisir.

Tahun-tahun belakangan ini ada perkembangan positif. Ada kegiatan coffee break yang mempertemukan PPMI dengan Masisir. Saya pikir ini inovasi bagus dan perlu untuk membangun pemahaman bersama dan selanjutnya memprakarsai kegiatan yang terbangun atas mutual interest and mutual demand. Pula, Tahun ini ada usaha mendekatkan Masisir dengan al-Azhar, tentu saja ini positif karena sejatinya Masisir datang ke Mesir untuk belajar di al-Azhar. Selama ini, saya lihat aktifitas organisasi sering dianggap antitesis kegiatan keazharan, tentu saja ini perlu diubah.

Masalah lain adalah terpecahnya Masisir ke dalam kotak-kotak politis. Ini membuat dinamika Masisir tidak sehat. Masing-masing kelompok yang kalah secara politik tidak mau membaur dengan kalangan lainnya. Ini salah satu faktor keterputusan interaksi.

2.      Kegagalan Media 

Sebagai pegiat media, sebenarnya saya sedih menyatakan ini. Tetapi bahwa media Masisir tidak punya kemampuan kapilaritas adalah fakta. Media seharusnya mampu meresap ke setiap pori-pori kecil untuk kemudian membawa pengaruh. Nyatanya, berapa orang Masisir yang membaca Terobosan atau Informatika?

Apa lacur? Barangkali insan-insan media perlu lebih serius menggarap pekerjaan media. Namun hal ini juga disebabkan minat baca Masisir yang rendah. 

3.      Sistem Kuliah al-Azhar

Jika kuliah wajib, tentu fokus utama mahasiswa adalah kuliah, sehingga aktifitas luar kampus adalah hiburan yang akan dipenuhi antusiasme. Disiplin kuliah yang longgar membuat beragam kecenderungan, pikiran dan hobi seperti mendapat legitimasi untuk menjadi fokus utama. Akibatnya setiap orang memiliki dunia masing-masing yang tak mau diganggu gugat.

Sebenarnya saya ingin menulis bahwa KBRI juga berperan merawat Masisir untuk terus tumbuh sebagai komunitas individual. Tetapi karena ini bukan pekerjaan utama mereka jadi tak usah saya bahas panjang lebar.


[1] Istilah Masisir saya gunakan untuk dua maksud: 1. Komunitas Masyarakat Indonesia Mesir secara keseluruhan 2. Satuan Individu dari komunitas tersebut.

Selasa, 17 Juni 2014

Pilih Aktifitas Anda Sendiri!



Seleksi alam mengatakan, makhluk yang paling fleksibel beradaptasi adalah yang akan bertahan. Demikian pula Masisir.

“Masisir adalah lingkungan yang buruk!” pernyataan itu saya dengar dari senior saya. Saya sempat mengamini pendapat tersebut karena saya sendiri menemukan banyak orang sulit berkembang di sini –barangkali saya termasuk. Padahal, masa-masa S1 adalah saat untuk meningkatkan persona, terutama dalam bidang intelektual. Atas dasar itu, bagaimana memanfaatkan empat tahun ini–atau lebih bagi yang berkehendak- sangat krusial.

Mengapa demikian? Karena jika kita melewatkan empat tahun ini tanpa aktifitas yang mengatrol kualitas diri, kita akan dihadapkan dengan problema hidup yang semakin kompleks ketika lulus. Upaya peningkatan diri akan semakin sulit usai Lc, ketika tuntutan kemandirian finansial dan hasrat melankoli semakin mendesak. Jika tidak percaya, tanyalah senior-senior yang tengah dilanda kebimbangan mengenai kelanjutan studi mereka.

Maka, sebelum formalitas menyita mayoritas waktu sehingga melupakan apa yang lebih penting dilakukan. Ada baiknya kita –atau kalian- berpikir tentang beberapa hal.

1.        Kenali al-Azhar dan Mesir!

Siapa pun Anda, terlepas dari apa latar belakang dan motivasi yang mengantarkan Anda ke bumi Kinanah ini, al-Azhar adalah yang membuat Anda melangkah sejauh ini. Maka, segala sesuatu yang berkenaan dengan aktifitas harus menaruh al-Azhar sebagai pertimbangan utama. Untuk itu, sebelum mengambil langkah lebih jauh, kenali al-Azhar terlebih dahulu. Every your single decision must be based on what al-Azhar is, not what it’s not. Tanyakan kepada kyai-kyai, ustadz-ustadz, alumni, atau siapa dan apa saja yang dapat memberikan Anda pengetahuan yang utuh tentang al-Azhar.

Pengetahuan tentang Mesir juga penting. Bagaimana keadaan alamnya, karakter masyarakat, birokrasi, bahasa, adat dll. Karena akan berhubungan langsung dengan aktifitas kita.

2.       Kenali diri Anda!

Sebenarnya ini adalah perkara mendasar manusia dimana saja. Di sini, masing-masing harus menjawab pertanyaan, “who am i?” 

Jika Anda adalah seorang yang cepat menghafal atau tekun, mengikuti daurah-daurah tahfidz adalah keputusan yang tepat. Jika Anda adalah orang yang gemar membaca, Anda perlu mencari lingkungan yang mengakomodir kegiatan itu, sekaligus memberikan gambaran tentang buku-buku apa yang diprioritaskan untuk dibaca selama empat tahun ini. Ada banyak sekali buku. Anda tidak bisa menentukan pilihan dengan membacanya satu persatu.

Jika Anda adalah orang yang disiplin, Anda tak terlalu membutuhkan lingkungan, tetapi jika Anda orang moody dan sulit mengatur diri sendiri, Anda perlu mencari komunitas yang menjaga Anda pada ritme aktifitas, atau Anda akan membusuk.

3.       Membuat Program Kegiatan

Setelah mengenal al-Azhar dan diri Anda sendiri. Penting untuk membuat program untuk aktifitas selama empat tahun di Mesir –atau lebih buat yang berkenan-. Jika tidak, silakan bersiap-siap kebingungan memilih aktifitas yang sangat beragam dalam dinamika Masisir. Semuanya akan terlihat menarik, terlihat penting, tapi sejatinya tidak benar-benar demikian. Kalaupun begitu, Anda hanya perlu memilih satu rangkaian kegiatan yang mengantarkan pada tujuan hidup.

Untuk membuat program ini, silakan berdiskusi dengan orang tua dan senior yang paham keadaan Masisir. Karena mereka lebih mengerti keadaan. Jangan terburu-buru! Lebih baik memberikan waktu lebih untuk berpikir daripada bekerja serabutan nanti.

4.       Stand strong on your principles!

Setelah semuanya, poin ini adalah senjata Anda dalam ranah praktik. Karena ada kalanya kegigihan Anda digoncang pelbagai hal yang dapat menyelewengkan Anda dari tujuan awal.

Tulisan ini ditulis agar adik-adik kelas tidak mengalami penyesalan seperti yang dialami penulis.

Sabtu, 14 Juni 2014

Bagaimana Sepakbola Merupa Cinta



Jika ada hal menarik lain di dunia ini selain cinta, adalah sepakbola. Andrea Hirata

Barangkali lantaran hari-hari ujian yang membuat kepala cenat-cenut, badan panas dingin, dan tidur tidak nyenyak telah lewat. Barangkali karena piala dunia yang di Brasil sendiri menyebabkan rumah-rumah kaum papa digusur segera dimulai. Barangkali sebab Real Madrid baru saja mendapatkan La Decima, saya ingin menulis tentang sepakbola.

Tak semua orang suka sepakbola, seperti tak semua orang yang gemar komentar tentang bola bisa bermain bola. Pernah seorang teman saya terang-terangan gerah, heran, mungkin juga geli melihat polah suporter sepakbola yang –menurutnya- berlebihan. Dia bilang, kecuali Ronaldo adalah orang Indonesia, tak ada alasan logis untuk meluapkan euforia atas kesuksesannya. Juga tak ada tempat untuk keriangan-keriangan sepakbola yang lain.

Saya, sebagai pemerhati bola yang tidak bisa main bola, tertawa saja. Bagi saya, manfaat sepakbola justru karena ia memberi keriangan cuma-cuma bagi mereka yang di alam nyata terlalu sering dikecewakan dunia. Ia adalah ruang leluasa dimana siapa saja boleh membangun fantasinya. Misalnya, saya membangun dunia subyektif dimana menjadi Madridista adalah segalanya, dan hal-ihwal yang berhubungan dengan Barcelona –sebagus apapun tiki-taka dan tito-tata mereka- adalah seluruhnya perkara cela.

Perihal semacam itu sah-sah saja dalam sepakbola tapi Anda sama sekali tak boleh melakukannya dalam dunia nyata, kecuali Anda adalah orang berpikiran sempit. Ia setaraf dengan nonton film korea, bermain musik, dlsb. Maka, menghukumi sepakbola sebagai sesuatu yang terlalu serius justru menyalahi hakikat sepakbola sendiri. Bersama sepakbola, kita dapat melupakan dengan hati ringan perkara-perkara nyata yang berlebihan, untuk kemudian kembali bijaksana.

Bagi saya, ada alasan lain menggemari sepakbola. Ia adalah panggung yang menayangkan dinamika kehidupan manusia seutuhnya, dalam skala yang diperkecil tentunya dan dengan label ketidakseriusan tadi. Melalui sepakbola kita bisa menyerap seni menjalani hidup di sela-sela tawa. Di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran yang barangkali sama persis dengan yang Anda temukan dalam pelajaran etika.

Dari sana saya mencerna perkara-perkara yang mungkin terlihat remeh, tapi bagi saya punya peran penting dalam upaya memaknai hidup yang semakin hari semakin berat. Anda tentu akan takjub jika tahu kisah hidup Ronaldo, kisah seorang anak miskin dari pulau tengah laut berjarak ribuan kilometer dari Portugal yang akhirnya menjadi bintang. Tentang kekuatan hati Messi yang dulu dianggap cebol, Ronaldo yang logatnya medok menurut orang-orang Lisboa, atau Ribery yang harus menahan malu atas ejekan codet di mukanya. “Luka ini membuat saya lebih kuat menjalani hidup,” kata Ribery.

Dari sepakbola pula, Anda dapat menyaksikan pelajaran moral penting yang barangkali ditayangkan secara lebih lambat dalam hidup yang sebenarnya. Misalnya tentang kegigihan. Anda dapat bayangkan bagaimana proses Ronaldo mendapatkan Ballon d’or kedua tahun ini –dan kemungkinan besar ketiga tahun depan- setelah menjalani empat tahun yang sulit. Atau Sergio Ramos yang tahun ini boleh berpuas diri setelah menjalani hari-hari menjadi pesakitan –tendangan penaltinya dijadikan guyonan sarkas-. Di alam nyata, pelajaran tentang kegigihan macam ini barangkali hanya akan Anda pahami setelah melewati puluhan tahun, atau bahkan seumur hidup.

Contoh lain tentang pentingnya bersikap dengan tepat. Piala dunia ini, Descamps tidak membawa Nasri padahal ia tahun ini bermain hebat di City. Saya lantas membaca komentar Mancini tentang Nasri yang seolah membenarkan putusan Descamps, “Dia tidak mengerti bahwa setiap saat kita dituntut memberikan yang terbaik, termasuk soal sikap.” Perkara macam ini juga, di kehidupan sebenarnya, bisa jadi hanya dimengerti ketika kita telah merasakan asam garam kehidupan yang cukup. Tapi sepakbola menyajikannya dengan instans, ia macam panggung mini kehidupan.

Ada banyak perkara lain yang menurut saya bisa berserakan dalam pentas sepakbola. Pentingnya menguasai detil, manajemen personal, komunikasi intrapersonal, dll. Semua itu dapat anda cerna sembari menikmati denyut adrenalin yang dipermainkan pertandingan. Mungkin juga ketegangan yang menyenangkan seperti dua final terakhir Real Madrid. Orang bilang hal terakhir sering ditemukan dalam cinta. Barangkali itu juga yang dimaksud Andrea Hirata.

On Women and Their Unfinished Things




Jujur, persepsi saya terhadap wanita mulanya berupa preseden positif. Pasalnya, tumbuh kembang saya sebagai manusia lebih banyak dikarenakan curahan perhatian dan lindungan Ibu. Bapak mengambil peran yang lebih sedikit karena sibuk di luar rumah. Jadi, mulanya saya menggap semua wanita bagai Ibu–teman saya yang gemar Carl Jung bilang ini gejala odipus complex-, yang sabar, telaten, ulet dan pemaaf. Lebih dari itu, citra Ibu dalam benak saya tergambar sebagai sesuatu yang sempurna

Bersama berjalannya waktu, saya mengerti jika setiap persona memiliki keunikannya masing-masing. Tidak semua wanita seperti Ibu. Saya juga harus mengerti jika mereka memang bukan ibu saya yang perhatian utamanya adalah anaknya. Terutama sekali, saya segera dihadapkan dengan pengetahuan tentang rumitnya wanita.

Lalu, saat bersentuhan dengan makhluk-makhluk halus itu, karena tersadar dengan ketidaksempurnaan dunia, saya lebih memilih untuk berlalu, menyisakan banyak hal tak terselesaikan. Mengapa? Karena wanita adalah misteri yang tidak untuk dipecahkan, tetapi untuk dinikmati sebagai sebuah mahakarya. Bukankah karya seni, kawan, tetap bernilai tinggi bahkan ketika menyisakan pertanyaan-pertanyaan?

Lagipula, usaha menyingkap wanita adalah urusan berpeluh-peluh. Membutuhkan tenaga, pikiran, perasaan dan waktu yang membentang. Bagi saya, itu adalah pekerjaan seumur hidup. Artinya, saya memilih untuk tidak terjun dalam aktifitas sibuk itu sekarang, dan membiarkan mereka dengan segala pesonanya terbang.

Maka, dalam banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan wanita selama ini, saya lebih terlihat seperti pengecut. Tidak, saya bukan pengecut. Saya hanya belum menjatuhkan diri saya pada peperangan yang seharusnya. Atau, mungkin kebijakan saya bisa diungkapkan dengan strategi kuno ini: you may loose the battle in order to win the war.

Jumat, 13 Juni 2014

Being Mature Is a Choice



Apa yang harus saya lakukan musim panas ini? Mungkin merenung. Ya, merenung. Ada banyak hal yang saat ini perlu dipikirkan lebih tenang, dalam, dan matang karena mengenai masa depan dengan pertaruhan yang riskan.

Seharusnya saya senang karena ujian semester delapan telah usai –semoga ini ujian terakhir-, saya bisa menikmati jalan-jalan, nonton piala dunia, dan terutama kembali pada hobi saya yang terhalang aktifitas ujian: berpetualang di dunia maya mencari tahu apa saja. Namun sepertinya, khusus edisi ini, saya perlu sedikit menyisihkan waktu untuk berpikir akan beberapa hal. Pasalnya, saya kini berada di ujung masa studi dimana kesalahan membuat keputusan akan fatal, sekaligus dalam usia yang telah kadaluarsa untuk mengerjakan segala sesuatu secara serabutan.

Empat tahun yang saya lalui di sini tidaklah buruk, meski seharusnya bisa dilalui dengan hasil yang jauh lebih baik. Dari hari-hari yang dilalui di sini, saya menjadi lebih dewasa bersikap, khususnya dalam hubungan intrapersonal dengan keluarga, dan wanita. Memang semua orang menjadi dewasa dengan pertambahan usia, dan menjadi lebih baik dalam sedikit medan tentunya mengkhawatirkan. Tapi saya juga di sini dapat menilai lebih bijak potensi sejati diri sendiri, mengerti kekuatan karakter, dan mendapat world view yang matang. Bagi saya, tiga hal terakhir bukan perkara remeh.

Hal pertama membantu saya memilah langkah yang lebih cocok untuk diri sendiri dalam mengarungi dunia ini. Hal kedua memantapkan etos kerja. Hal ketiga, membuat saya lebih enjoy menyikapi dua perkara yang kerap menjerumuskan, sukses atau gagal.

Tapi seperti saya sudah bilang, seharusnya saya dapat mengakhiri dengan lebih baik. Itu jika jauh-jauh hari sebelum menginjakkan kaki di sini, saya telah menyiapkan langkah-langkah konkrit untuk dilakukan di sini. Masalahnya, saya datang kesini tanpa pengetahuan yang obyektif tentang Masisir dan enggan menyesuaikan diri dengan cepat dengan lingkungan baru ini. Tentu saja ini sangat fatal. Saya pulang hampir dengan tangan hampa, kalau saja saya tidak memaksakan diri mengikuti kegiatan-kegiatan yang setidaknya membuat saya memahami wacana dan tanggungjawab sebagai alumni Mesir.

Karena itu, hari-hari ini saya harus memastikan, saya tidak mengulang kesalahan mendasar itu. Sekarang adalah usia yang terlampau tua untuk terpeleset kesalahan kanak-kanak macam itu. A failure to plan is a plan to fail. Seperti seorang dokter akan membahayakan nyawa orang jika salah mendiagnosa penyakit, kegagalan kita mendefisikan diri sendiri akan mengancam nilai berlangsungnya hidup kita.

Sekarang saya perlu sedia mempelajari keadaan, dan meningkatkan kemampuan beradaptasi. Jika saya benar-benar ingin ke Prancis, saya harus mengerti suasana negara Napoleon itu sekaligus bersedia mengambil langkah-langkah adaptasi. Bukan hanya dengan cuaca dingin, bea hidup yang mahal, atau bahasa baru. Tetapi juga menghadapi kultur baru, cara pandang baru dan orang-orang baru.

Saya perlu mengejewantahkan visi besar saya dalam misi yang lebih jelas dan realistis, serta mengerjakan aktifitas yang mendukung dengan teratur dan konsisten. Semakin hari, cita-cita harus berubah semakin terang dan detil. Karena kita tak ingin lagi menganggapnya sekedar bunga tidur anak-anak. Ini adalah tanggungjawab manusia dewasa. Jika cita-cita adalah perkara yang boleh direvisi, maka tanggungjawab tidak dapat melenceng dari garis-garis yang telah berlaku.

Dengan semua itu, tak berarti saya menjadi terlalu kaku dalam kehidupan ini. Seperti saya sudah sampaikan, sekarang saya lebih rileks menghadapi dunia yang penuh kemungkinan-kemungkinan. Saya hanya membawa diri saya pada titik usaha, dan di luar batas itu, saya serahkan semuanya. Saya harap, kebijakan ini sudah cukup dewasa untuk usia yang hampir 25. Tapi saya juga menyediakan diri untuk terus belajar.